SURAU.CO – Azan memanggil kaum Muslimin untuk menunaikan shalat lima kali sehari. Seruan agung ini menjadi penanda masuknya waktu ibadah di seluruh dunia. Namun, azan bukan sekadar pengumuman biasa. Ia merupakan sebuah ibadah mulia yang memiliki aturan dan syaratnya sendiri. Agar panggilan shalat ini sah dan bernilai pahala, seorang muazin harus memenuhi beberapa kondisi penting.
Memahami syarat sahnya azan sangatlah fundamental. Hal ini memastikan kita melaksanakan syiar Islam sesuai dengan tuntunan syariat. Para ulama telah merumuskan syarat-syarat ini berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah. Berikut adalah panduan lengkap mengenai syarat-syarat tersebut.
1. Muazin Harus Muslim dan Berakal
Syarat pertama dan paling mendasar adalah kondisi pribadi sang muazin. Pertama, seorang muazin wajib beragama Islam. Azan dari seorang non-Muslim tidak sah, karena azan adalah ibadah yang memerlukan niat dan keimanan dari pelakunya.
Selain itu, ia juga harus berakal sehat atau ‘aqil. Artinya, ia mampu membedakan hal yang baik dan buruk. Seseorang yang kehilangan akal sehat, seperti orang gila, tidak dapat mengumandangkan azan yang sah. Hal ini karena ia tidak memiliki kesadaran penuh atas ibadah yang ia lakukan.
2. Muazin Harus Seorang Laki-Laki
Syariat menetapkan bahwa muazin haruslah seorang laki-laki. Para ulama sepakat bahwa azan dari perempuan tidak sah untuk jamaah laki-laki. Hal ini karena suara perempuan bukanlah untuk diperdengarkan secara luas dalam konteks panggilan ibadah umum. Namun, perempuan boleh mengumandangkan iqamah untuk shalat di kalangan sesama perempuan, dengan syarat suaranya tidak terdengar oleh laki-laki yang bukan mahram.
3. Azan Tepat Pada Waktunya
Seorang muazin harus mengumandangkan azan tepat pada waktunya. Fungsi utama azan adalah memberitahu bahwa waktu shalat telah tiba. Oleh karena itu, muazin wajib menyerukan azan setelah waktu shalat masuk. Azan yang ia kumandangkan sebelum waktunya tidak akan sah.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata:
“Tidak sah adzan sebelum waktunya berdasarkan dalil-dalil berikut: (1). Karena adzan adalah pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat. Maka tidak boleh dilakukan sebelum waktunya. (2). Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika waktu shalat telah tiba, maka hendaklah salah seorang dari kalian beradzan untuk kalian.” [HR. al-Bukhari]”
Syariat hanya memberikan satu pengecualian untuk azan Subuh. Muazin boleh mengumandangkan azan pertama sebelum fajar untuk membangunkan orang yang tidur.
4. Menggunakan Lafal Bahasa Arab
Islam menetapkan azan sebagai ibadah tauqifiyah. Ini berarti syariat telah mengatur tata caranya secara baku dan tidak dapat diubah. Karena itu, muazin wajib menggunakan lafal azan dalam bahasa Arab, persis seperti yang Rasulullah ajarkan. Menerjemahkan lafal azan ke bahasa lain akan membuatnya tidak sah sebagai azan syar’i, meskipun mungkin bisa berfungsi sebagai pengingat waktu.
5. Mengikuti Urutan yang Benar (Tertib)
Muazin harus melafalkan kalimat-kalimat azan secara tertib. Ia tidak boleh mengubah urutan yang telah ditetapkan oleh syariat. Ia harus memulai dengan takbir (Allahu Akbar) dan mengakhirinya dengan tahlil (La ilaha illallah). Jika muazin keliru dalam urutannya, ia harus mengulang azan tersebut dari awal agar sah.
6. Menjaga Kesinambungan (Muwalat)
Terakhir, muazin wajib menjaga muwalat atau kesinambungan. Artinya, ia tidak boleh membuat jeda yang terlalu lama di antara kalimat-kalimat azan. Ia hanya boleh berhenti sejenak untuk mengambil napas. Jika seorang muazin berhenti lama di tengah-tengah karena urusan lain, azannya menjadi batal. Ia harus mengulanginya dari awal agar seruan tersebut terdengar sebagai satu kesatuan yang utuh.
Dengan memenuhi semua syarat ini, seorang muazin menyempurnakan panggilan agungnya. Azan tersebut bukan hanya menjadi penanda waktu shalat, tetapi juga menjadi sebuah ibadah yang mendatangkan pahala dan keberkahan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
