SURAU.CO – Kubah Hijau, atau Qubbatul Khadhra, merupakan salah satu ikon paling terkenal dalam dunia Islam. Kubah ini menjulang megah di atas Masjid Nabawi, tepat di atas makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jutaan Muslim di seluruh dunia langsung mengenalinya sebagai simbol Kota Madinah. Namun, banyak orang belum mengetahui sejarahnya. Kubah ini ternyata bukan bagian dari bangunan asli masjid. Kisahnya terbentang melalui perjalanan sejarah yang panjang selama berabad-abad.
Kesederhanaan Makam Nabi di Awal Mula
Untuk memahami asal-usul Kubah Hijau, kita perlu menilik kembali masa wafatnya Rasulullah. Para sahabat memakamkan beliau di dalam kamar Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Mereka tidak memakamkannya di area pemakaman umum. Dua sahabat terdekatnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab, juga dimakamkan di lokasi yang sama. Saat itu, kamar ‘Aisyah berada persis di samping Masjid Nabawi.
Selama lebih dari enam abad, tidak ada bangunan khusus di atas makam mulia tersebut. Kamar ‘Aisyah tetap dalam bentuknya yang sederhana. Kondisi ini sejalan dengan prinsip Islam yang melarang membangun struktur di atas kuburan. Para sahabat dan generasi setelahnya sangat menjaga wasiat ini. Mereka sepenuhnya memahami bahwa kemuliaan seseorang tidak bergantung pada kemegahan makamnya.
Pembangunan Struktur Pertama oleh Dinasti Mamluk
Sejarah mencatat, Sultan Mamluk Al-Manshur Qalawun as-Salihi pertama kali membangun struktur di atas makam Nabi. Beliau melakukannya pada tahun 678 Hijriah. Beliau memerintahkan para pekerjanya untuk mendirikan sebuah kubah dari kayu. Bangunan awal ini belum memiliki warna yang spesifik.
Struktur kubah pertama ini terbilang sangat sederhana. Para pekerja membangun bagian bawahnya berbentuk persegi. Sementara itu, bagian atasnya mereka bentuk menjadi segi delapan. Konstruksinya terbuat dari kerangka kayu yang kemudian mereka lapisi dengan lempengan timah. Lapisan ini berfungsi untuk melindunginya dari cuaca. Inilah cikal bakal dari Kubah Hijau yang kita saksikan hari ini.
Renovasi dan Perubahan Warna
Seiring berjalannya waktu, para sultan setelahnya melakukan beberapa kali perbaikan. Sultan An-Nashir Hasan bin Muhammad Qalawun dan Sultan Asyraf Sya’ban bin Husain bin Muhammad tercatat pernah merenovasinya. Namun, sebuah peristiwa besar memicu perubahan yang signifikan.
Pada tahun 886 H, kebakaran hebat melanda Masjid Nabawi. Musibah ini menghanguskan banyak bagian masjid, termasuk kubah kayu tersebut hingga runtuh. Setelah tragedi ini, Sultan Al-Asyraf Qaytbay mengambil langkah penting. Beliau memerintahkan pembangunan kembali kubah itu dengan material yang lebih kuat.
Kali ini, Sultan Qaytbay membangunnya dengan struktur bata yang kokoh. Tujuannya agar kubah menjadi lebih tahan lama dan tidak mudah terbakar. Kemudian, beliau melapisinya dengan cat berwarna putih. Beberapa waktu setelahnya, para penerusnya mengubah warnanya menjadi biru.
Lahirnya Sang Ikon: Kubah Menjadi Hijau
Warna hijau yang begitu ikonik baru muncul jauh di kemudian hari. Perubahan ini terjadi pada masa Kesultanan Utsmaniyah. Pada tahun 1253 Hijriah (sekitar 1837 Masehi), Sultan Mahmud II mengeluarkan perintah bersejarah. Beliau memerintahkan agar kubah tersebut dicat dengan warna hijau.
Sejak saat itulah, orang-orang mulai mengenalnya sebagai Kubah Hijau atau Qubbatul Khadhra. Para penguasa setelahnya terus mempertahankan warna hijau ini dalam setiap renovasi hingga hari ini. Warna tersebut kini menjadi identitas visual yang tak terpisahkan dari Masjid Nabawi.
Dengan demikian, Kubah Hijau bukanlah warisan langsung dari zaman Nabi. Para pemimpin Muslim menambahkannya sebagai penanda bersejarah berabad-abad kemudian. Sejarahnya menunjukkan evolusi arsitektur dan penghormatan umat terhadap makam Rasulullah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
