SURAU.CO- Zakat triliunan tapi kemiskinan masih menjerit menjadi ironi sosial yang terus membayangi negeri ini. Di satu sisi, semangat berzakat umat Islam begitu tinggi hingga dana yang terkumpul mencapai angka fantastis. Namun, di sisi lain, suara jeritan kaum miskin belum juga mereda. Fenomena ini menyimpan banyak pertanyaan: di mana letak masalahnya? Apakah pada pengelolaan, distribusi, atau pemanfaatannya?
Pengelolaan Modern dan Tantangan Implementasi
Zakat triliunan telah berhasil dihimpun oleh lembaga-lembaga resmi seperti BAZNAS dan LAZ. Namun, tantangan pengelolaan zakat di era modern tidaklah ringan. Berdasarkan data BAZNAS tahun 2024, potensi zakat nasional mencapai lebih dari Rp300 triliun per tahun, namun yang berhasil dihimpun baru sekitar Rp30 triliun.
Masalah pertama terletak pada rendahnya tingkat literasi zakat di kalangan muzaki (pemberi zakat). Banyak yang belum paham kewajiban zakat di luar zakat fitrah, seperti zakat penghasilan, zakat pertanian, dan zakat perdagangan. Hal ini membuat potensi besar belum tergarap optimal.
Kedua, sistem pelaporan dan transparansi lembaga zakat masih belum seragam. Meskipun ada lembaga yang sudah terverifikasi dan menggunakan teknologi digital, sebagian lainnya masih konvensional dan minim akuntabilitas. Akibatnya, kepercayaan publik belum sepenuhnya pulih.
Distribusi Zakat dan Kesenjangan Prioritas Mustahik
Distribusi zakat seharusnya tepat sasaran, khususnya kepada delapan asnaf (golongan penerima zakat) sesuai Al-Qur’an (QS. At-Taubah: 60). Namun, kemiskinan masih menjerit karena banyak program zakat yang bersifat konsumtif, bukan produktif. Mustahik menerima bantuan tunai atau sembako sesaat, namun tidak keluar dari lingkaran kemiskinan.
Zakat yang didistribusikan secara produktif, seperti bantuan modal usaha mikro, pelatihan keterampilan, atau pemberdayaan ekonomi keluarga, masih belum menjadi arus utama. Banyak lembaga lebih fokus pada distribusi menjelang Ramadan atau Iduladha, yang sifatnya temporer dan tidak berkelanjutan.
Selain itu, masih terdapat tumpang tindih bantuan sosial dari pemerintah dengan program zakat. Hal ini menimbulkan ketidakefisienan dan ketidaktepatan sasaran karena tidak adanya integrasi data antara negara dan lembaga zakat.

Ilustrasi Pembayaran zakat
Harapan Baru Pemberdayaan Ekonomi
Munculnya zakat digital melalui fintech dan platform crowdfunding memberi harapan baru. Melalui aplikasi seperti Gopay Zakat, KitaBisa, dan layanan dompet digital lainnya, umat Islam bisa berzakat hanya dalam beberapa klik. Teknologi ini memperluas akses muzaki dan membuka peluang inovasi distribusi.
Namun, potensi ini akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan sistem pelaporan yang transparan dan evaluasi berbasis dampak. Pengelolaan zakat perlu menerapkan prinsip good governance, audit terbuka, serta melibatkan masyarakat dalam monitoring.
Contoh sukses seperti program ZChicken oleh BAZNAS, yang memberdayakan mustahik dengan gerobak ayam goreng, menunjukkan bahwa zakat produktif bisa menjadi solusi. Sayangnya, program semacam ini masih minim dibanding besarnya dana yang terkumpul.
Solusi Terpadu: Kolaborasi dan Kebijakan Negara
Untuk menjawab ironi “zakat triliunan tapi kemiskinan masih menjerit”, diperlukan sinergi antara lembaga zakat, masyarakat sipil, dan pemerintah. Pemerintah bisa memberikan insentif pajak lebih luas bagi muzaki, memfasilitasi integrasi data mustahik nasional, dan membuat regulasi distribusi yang berpihak pada pemberdayaan.
Lembaga zakat juga harus meningkatkan kompetensi amil (pengelola zakat), mengadopsi teknologi audit berbasis blockchain untuk transparansi, serta menggandeng kampus dan inkubator bisnis untuk mendesain program ekonomi mustahik jangka panjang.
Yang tak kalah penting adalah edukasi umat tentang pentingnya zakat sebagai solusi struktural kemiskinan, bukan sekadar ritual tahunan. Kampanye zakat harus bergeser dari pendekatan emosional menjadi pendekatan rasional dan strategis.
Waktunya Reorientasi untuk Pemberdayaan
Meningkatnya jumlah zakat yang terkumpul setiap tahun seharusnya sejalan dengan berkurangnya jumlah fakir miskin di negeri ini. Namun, jika zakat triliunan tapi kemiskinan masih menjerit, maka waktunya kita merefleksi ulang. Perlu ada reorientasi besar-besaran: dari zakat konsumtif menjadi zakat transformatif, dari seremonial menjadi struktural.
Zakat adalah instrumen keadilan sosial dalam Islam. Tapi jika tidak dikelola dengan baik, zakat hanya akan menjadi angka statistik, bukan solusi nyata. (Hen)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
