Surau.co — Bila anda berjalan menyusuri Kampung Menjangan di Cirebon, mungkin anda akan terpaku sejenak ketika menemukan bangunan mirip kelenteng, tapi ternyata itu masjid. Atau, saat melintasi alun-alun utara Yogyakarta, kamu mungkin akan menemukan Masjid Gedhe Kauman yang mirip bangunan Jawa.
Di Nusantara, masjid-masjid tua lainnya banyak yang beratap tumpang layaknya pura Bali atau rumah joglo Jawa. Bahkan akulturasi dengan lebih dari dua budaya juga terjadi. Seperti Masjid Demak yang mencakup nilai islam, hindu dan budha.
Masjid Tidak Punya Bentuk Pakem
Berbagai contoh di atas, adalah bukti keunikan bangunan masjid. Tempat sujud umat Islam yang tak dibatasi bentuk tunggal. Dalam ajaran islam, tidak ada syariat yang mewajibkan masjid harus berkubah, harus punya menara, atau dihiasi kaligrafi khas Arab.
Sejak awal, Rasulullah tidak pernah memberi aturan baku soal desain masjid. Saat Rasullullah membangun Masjid Nabawi di Madinah misalnya, bentuknya hanya bangunan sederhana dari pelepah kurma dan tanah liat. Tidak ada ornamen rumit, tidak pula menara menjulang. Bahkan, atapnya pun sebagian besar terbuka.
Kesederhanaan itu bukan karena keterbatasan zaman semata, tapi mencerminkan ruh Islam itu sendiri. Menekankan aspek fungsional, bersih, dan inklusif.
Fungsi Sebagai Esensi
Islam tidak mengatur bagaimana rupa masjid secara fisik, tapi amat menekankan bagaimana fungsinya. Masjid haruslah tempat yang suci, menghadap kiblat, tenang, dan memudahkan umat dalam ibadah. Dalam konteks hari ini, misalnya dengan menyediakan pengeras suara, sajadah, tempat wudhu, hingga sarung atau mukena untuk jamaah musafir.
Jika kubah mempermudah akustik suara imam, silakan. Jika ornamen memperindah suasana tanpa berlebihan, tak ada larangan. Tapi bila semua itu menjadi ajang kemewahan dan perlombaan gengsi, maka ruh masjid akan hilang.
Islam Buka Ruang Akulturasi
Islam membuka ruang luas bagi budaya lokal untuk hadir dalam arsitektur rumah ibadahnya. Alhasil, seiring penyebaran Islam ke berbagai wilayah, masjid mulai menyerap identitas budaya setempat. Di Rusia misalnya, ada Masjid yang lebih mirip dengan Gereja.
Di sinilah keindahan Islam terasa. Ajaran ini bisa meresap tanpa menghapus. Ia hadir, menyatu dengan akar budaya lokal, lalu menjadikannya bagian dari harmoni global Islam.
Dengan demikian, masjid sejatinya bukan hanya bangunan mati. Ia adalah wajah dialog antara Islam dan budaya. Ketika Islam datang, ia tidak menghapus, tapi menyentuh pelan-pelan, memberi ruh baru pada arsitektur lokal.
Maka, tak heran jika wajah masjid berbeda di tiap daerah. Itu karena Islam tidak datang untuk menyeragamkan bentuk, melainkan menyatukan arah. Yakni dengan sujud kepada-Nya.
Ulama Beda Pendapat Terkait Kemegahan
Terkait tren membangun masjid secara megah, ulama berbeda pendapat. Mazhab Syafi dan Hambali berpendapat makruh. Mereka beralasan bahwa keindahan yang ada di dalam masjid dapat mengganggu ketenangan hati orang yang shalat.
Mereka berhujjah dengan hadits Nabi yang diriwayatkan Anas bin Malik. Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Mereka membangun masjid-masjid dan mereka menjadikannya remeh”.
Sementara dalam Mazhab Hanafi berpendapat boleh membangun dan memperindah dengan tujuan mengagungkan masjid. Selama tidak menggunakan harta dari baitul mal. Mereka berpegang pada kisah Umar bin Khatab yang membangun Masjidil Haram dan menghiasinya pada masa beliau menjadi khalifah.
Kemudian dalam Mazhab Maliki, berpendapat memperbagus bangunan masjid dan menghiasinya sebagai sunah. Namun mereka memakruhkan hiasan masjid bila dipasang pada arah kiblat karena dapat mengganggu konsentrasi orang yang shalat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
