Seorang pemimpin memegang tanggung jawab besar. Kebijakannya dapat memengaruhi nasib banyak orang. Namun, keahlian teknis dan kecerdasan strategis saja tidak cukup. Fondasi terpenting seorang pemimpin terletak pada karakternya. Di sinilah konsep tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa menjadi relevan. Ketika seorang pemimpin berangkat dari proses ini, ia membangun kepemimpinan yang kokoh, adil, dan inspiratif.
Tazkiyatun nafs adalah sebuah perjalanan spiritual dalam Islam. Tujuannya untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela. Sekaligus menghiasinya dengan akhlak yang mulia. Proses ini bukan hanya untuk individu dalam ibadah personal. Ia juga menjadi cetak biru untuk membentuk seorang pemimpin otentik yang berintegritas. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10).
Ayat ini menegaskan bahwa keberuntungan sejati lahir dari jiwa yang suci. Bagi seorang pemimpin, keberuntungan ini berarti kesuksesan dalam memimpin dengan benar dan diridai. Proses ini memiliki tiga tahapan utama: Takhalli, Tahalli, dan Tajalli. Mari kita bedah bagaimana setiap tahapan membentuk karakter seorang pemimpin.
1. Takhalli: Mengosongkan Wadah dari Kotoran
Tahap pertama adalah Takhalli. Ini berarti mengosongkan atau membersihkan diri dari penyakit hati. Seorang calon pemimpin harus secara aktif membuang sifat-sifat negatif. Sifat tersebut seperti kesombongan, iri hati, serakah, dan ambisi buta.
Kesombongan membuat pemimpin tidak mau mendengar kritik. Ia merasa keputusannya selalu paling benar. Akibatnya, ia bisa mengambil langkah yang merugikan tim atau rakyatnya. Sifat serakah mendorongnya pada korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Ia lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada kesejahteraan bersama.
Dengan melakukan takhalli, seorang pemimpin melatih kerendahan hati. Ia membuka diri untuk masukan. Ia belajar mengakui kesalahan. Ia juga membentengi diri dari godaan kekuasaan yang merusak. Proses ini adalah fondasi. Tanpa wadah yang bersih, sifat-sifat baik tidak akan bisa mengisi jiwa seorang pemimpin.
2. Tahalli: Menghiasi Diri dengan Akhlak Mulia
Setelah wadah jiwa bersih, tahap selanjutnya adalah Tahalli. Ini adalah proses menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji (akhlakul mahmudah). Seorang pemimpin mulai mengisi jiwanya dengan nilai-nilai luhur.
Beberapa sifat kunci yang harus dimiliki adalah:
-
Kejujuran (Shiddiq): Ucapannya dapat dipercaya. Tindakannya selaras dengan kata-katanya. Integritas ini membangun kepercayaan dari orang-orang yang dipimpinnya.
-
Keadilan (Adil): Ia tidak memihak. Kebijakannya didasarkan pada kebenaran dan kemaslahatan umum. Ia tidak mendahulukan kelompok atau kerabatnya.
-
Kesabaran (Sabar): Dalam memimpin, ia akan menghadapi tekanan dan tantangan. Kesabaran membuatnya tetap tenang. Ia dapat mengambil keputusan dengan kepala dingin, bukan dengan emosi.
-
Syukur (Syukur): Ia menghargai kontribusi timnya. Ia tidak mengklaim kesuksesan seorang diri. Rasa syukur ini menciptakan lingkungan kerja yang positif dan solid.
Proses tahalli mengubah seorang manajer menjadi pemimpin sejati. Ia tidak hanya memberi perintah, tetapi juga memberi teladan. Karakternya menjadi sumber inspirasi bagi orang lain untuk berbuat baik.
3. Tajalli: Terbukanya Cahaya Kebijaksanaan
Tahap puncak dari tazkiyatun nafs adalah Tajalli. Secara spiritual, ini berarti terbukanya tirai gaib antara hamba dengan Tuhannya. Jiwanya merasakan kehadiran Ilahi dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam konteks kepemimpinan, tajalli mewujud dalam bentuk kebijaksanaan dan visi yang mendalam. Seorang pemimpin yang mencapai level ini memiliki intuisi yang tajam. Keputusannya tidak hanya berdasarkan data dan analisis. Ada kearifan yang menuntunnya.
Ia mampu melihat gambaran besar. Visi yang ia tawarkan bukan hanya soal target duniawi. Ia mengarahkan timnya menuju tujuan yang lebih mulia dan bermakna. Pemimpin seperti ini memancarkan ketenangan. Kehadirannya memberikan rasa aman dan harapan. Orang-orang mengikutinya bukan karena takut atau terpaksa, tetapi karena mereka percaya pada integritas dan kebijaksanaannya.
Kesimpulan
Pada akhirnya, kepemimpinan yang efektif bukan tentang seberapa tinggi jabatan seseorang. Ini adalah tentang seberapa bersih jiwanya. Perjalanan tazkiyatun nafs menawarkan sebuah peta jalan yang jelas. Dengan membersihkan diri (takhalli), menghiasi diri (tahalli), dan mencapai puncak kesadaran (tajalli), seorang pemimpin dapat memimpin dengan hati nurani. Ia menjadi rahmat bagi lingkungannya, membawa kebaikan, dan meninggalkan warisan yang abadi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
