Di era modern, banyak orang berlomba mengejar kekayaan. Mereka percaya materi adalah kunci utama menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Namun, seorang pemikir besar dari abad ke-14, Ibnu Khaldun, menawarkan perspektif yang jauh lebih kompleks. Baginya, kekayaan bukanlah tujuan akhir. Ia justru bisa menjadi pedang bermata dua yang menentukan nasib sebuah peradaban.
Ibnu Khaldun tidak menolak pentingnya harta. Ia memandangnya sebagai komponen vital dalam kehidupan manusia. Namun, sudut pandangnya bersifat fungsional, bukan akumulatif. Harta adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menjalankan perintah agama. Tanpanya, manusia akan kesulitan bertahan hidup dan beribadah dengan baik.
Memahami Fungsi Asli Kekayaan
Dalam mahakaryanya, Muqaddimah, Ibnu Khaldun mendefinisikan kekayaan (al-māl) secara praktis. Ia melihatnya sebagai segala sesuatu yang manusia peroleh dan manfaatkan. Fungsi utamanya adalah sebagai alat penunjang kehidupan. Harta membantu kita mendapatkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Lebih dari itu, ia juga menjadi wasilah atau perantara untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi.
Pandangan ini menempatkan kekayaan pada posisi yang semestinya. Ia bukan tuan yang harus dipuja, melainkan pelayan yang harus dikelola. Ibnu Khaldun menjelaskan hal ini dengan sangat gamblang:
“Sesungguhnya kekayaan (al-māl) bagi pemiliknya hanyalah sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kekayaan bukanlah tujuan akhir (ghāyah) dari segalanya.”
Kutipan ini menjadi inti dari seluruh gagasannya. Ketika manusia memahami bahwa harta hanyalah alat, ia akan menggunakannya secara bijak. Ia akan memanfaatkannya untuk kebaikan diri, keluarga, dan masyarakat. Tujuannya bukan sekadar menumpuk angka di rekening, melainkan mencapai kesejahteraan holistik.
Jebakan Kemewahan: Awal dari Kehancuran
Di sinilah analisis Ibnu Khaldun menjadi sangat relevan dan tajam. Ia tidak hanya berbicara tentang moral individu. Ia mengamati pola sejarah dan melihat bahaya besar ketika kekayaan berubah menjadi tujuan. Menurutnya, ketika suatu masyarakat terlalu fokus pada pengumpulan harta, mereka akan terjebak dalam kemewahan (at-taraf).
Kemewahan yang berlebihan melahirkan dampak destruktif.
-
Melemahkan Solidaritas Sosial: Masyarakat menjadi individualistis. Semangat gotong royong dan kepedulian (ashabiyah) terkikis karena setiap orang sibuk dengan urusan materinya sendiri.
-
Melahirkan Generasi yang Lemah: Generasi yang lahir dalam kemewahan cenderung manja. Mereka tidak memiliki semangat juang dan ketangguhan seperti generasi pendirinya.
-
Memicu Keruntuhan Moral: Fokus pada kenikmatan duniawi sering kali membuat orang melupakan nilai-nilai etika dan spiritual. Korupsi dan ketidakadilan pun merajalela.
Bagi Ibnu Khaldun, ini bukan sekadar teori. Ini adalah siklus peradaban yang terus berulang. Sebuah dinasti atau negara bangkit karena memiliki solidaritas yang kuat dan gaya hidup sederhana. Namun, setelah mencapai puncak kejayaan, mereka mulai tenggelam dalam kemewahan. Pada akhirnya, kemewahan itulah yang meruntuhkan mereka dari dalam. Kekayaan yang seharusnya menjadi penopang, justru menjadi racun yang mematikan.
Menemukan Kesejahteraan Sejati di Luar Materi
Lalu, di mana letak kesejahteraan sejati (as-sa’ādah)? Menurut Ibnu Khaldun, kesejahteraan sejati adalah kondisi yang seimbang. Ia tercapai ketika manusia mampu menggunakan harta sebagai alat untuk kebaikan, tanpa diperbudak olehnya. Kesejahteraan bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, melainkan bagaimana kita menggunakan apa yang kita miliki.
Kesejahteraan sejati lahir dari:
-
Pemenuhan Kebutuhan Dasar: Menggunakan harta untuk hidup layak.
-
Ketaatan Spiritual: Memanfaatkan kekayaan untuk ibadah, seperti zakat dan haji.
-
Kontribusi Sosial: Menggunakan sumber daya untuk membantu sesama dan membangun masyarakat.
Pandangan Ibnu Khaldun ini memberikan tamparan keras bagi budaya konsumerisme modern. Ia mengingatkan kita bahwa pengejaran harta tanpa batas adalah jalan menuju kehampaan, baik bagi individu maupun peradaban. Kekayaan bisa membeli kenyamanan, tetapi tidak bisa membeli kebahagiaan sejati atau menjaga keberlangsungan sebuah bangsa. Pada akhirnya, warisan terbesar bukanlah harta yang ditumpuk, melainkan nilai dan kontribusi yang kita berikan kepada dunia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
