Sejarah
Beranda » Berita » Dinamika Aliran Pemikiran Islam

Dinamika Aliran Pemikiran Islam

pemikirislam
ilustrasi aktivitas di dinasti ummayah saat perkembangan aliran islam

Surau.co. Islam tidak hanya berisi aspek ritual, tetapi juga memiliki kekayaan pemikiran yang berkembang sepanjang sejarahnya. Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW, umat Islam menghadapi tantangan dalam memahami dan meneruskan ajaran agama secara kontekstual dan rasional.

Dinamika pemikiran ini melahirkan beragam aliran yang terbentuk oleh respon terhadap persoalan sosial, politik, hukum, dan teologi. Artikel ini akan membahas secara komprehensif aliran-aliran utama dalam pemikiran Islam, termasuk asal-usul, karakteristik, persamaan, dan perbedaan di antara mereka.

Pemikiran Islam Setelah Nabi Muhammad Wafat

Wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632 M menjadi awal mula perkembangan pemikiran Islam secara mandiri. Ketika wahyu telah berhenti, ijtihad menjadi kebutuhan untuk menjawab persoalan umat dalam berbagai bidang.

Pada masa Khulafaur Rasyidin, pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah dan interpretasi terhadap Al-Qur’an dan Sunnah menjadi fondasi utama. Namun, perbedaan pandangan mengenai kepemimpinan pasca Nabi menimbulkan konflik yang melahirkan aliran besar seperti Sunni, Syiah, dan Khawarij.

Pemikiran Islam dibangun di atas dua dasar utama: wahyu (Al-Qur’an dan Hadis) serta akal. Akal digunakan dalam proses ijtihad untuk memahami dan menerapkan wahyu dalam konteks sosial tertentu.

Karakter pemikiran Islam juga ditandai oleh semangat keadilan, keseimbangan antara individual dan masyarakat, serta etika dalam kehidupan. Dalam bidang hukum, teologi, dan filsafat, karakter ini diwujudkan dalam keragaman metode dan pendekatan.

Aliran-Aliran Pemikiran Utama dalam Islam

1. Mu’tazilah: Rasionalisme dalam Islam

Mu’tazilah muncul pada awal abad ke-8 M dan didirikan oleh Wasil bin Atha’, murid Hasan al-Basri yang keluar dari majelis karena perbedaan pendapat teologis. Aliran ini dikenal sebagai pelopor rasionalisme dalam Islam, menekankan peran akal dalam memahami wahyu.

Mereka memiliki lima prinsip teologi: tauhid, keadilan Tuhan, janji dan ancaman, posisi di antara dua posisi (al-manzilah baina al-manzilatain), serta amar makruf nahi mungkar. Mu’tazilah berjaya pada masa Khalifah Al-Ma’mun dan menjadikan rasionalitas sebagai pendekatan utama, bahkan menyebabkan Mihnah (inkuisisi) terhadap ulama tradisionalis seperti Imam Ahmad bin Hanbal.

2. Qadariyah: Kebebasan Kehendak Manusia

Qadariyah merupakan aliran teologis yang muncul pada akhir abad ke-7 M dengan tokoh utama Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi. Mereka menekankan bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan bertanggung jawab atas tindakannya.

Qadariyah menolak pandangan bahwa Tuhan menentukan seluruh takdir manusia secara mutlak, karena hal itu bertentangan dengan konsep keadilan ilahi.

Mustafa Kemal Ataturk: Modernisasi dan Perkembangan Islam Modern

Pemikiran Qadariyah menjadi cikal bakal lahirnya aliran Mu’tazilah yang lebih sistematis. Ide-ide tentang kebebasan kehendak ini juga menjadi diskusi utama dalam filsafat Islam tentang hubungan antara kehendak Tuhan dan tanggung jawab moral manusia.

3. Jabariyah: Determinisme Mutlak dalam Islam

Jabariyah merupakan aliran yang mengajarkan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas sama sekali. Seperti, segala sesuatu termasuk perbuatan manusia, ditentukan sepenuhnya oleh kehendak Allah.

Tokoh utama Jabariyah adalah Jahm bin Safwan wafat pada 746 M. Ia terkenal karena pandangannya bahwa manusia seperti wayang yang digerakkan oleh Tuhan. Aliran ini meyakini bahwa tidak ada daya dan upaya manusia selain dari Allah (la haula wa la quwwata illa billah) secara mutlak.

Jabariyah sempat mendapatkan tempat di masa Dinasti Umayyah. Meskipun begitu, sebagian doktrin Jabariyah memengaruhi aliran pemikiran sufistik yang menekankan totalitas penyerahan diri kepada Tuhan.

4. Ahlus Sunnah wal Jamaah: Jalan Tengah Islam

Ahlus Sunnah wal Jamaah (ASWJ) muncul sebagai arus utama umat Islam yang menolak ekstremisme baik dari Qadariyah maupun Jabariyah. Pendekatan mereka mengutamakan keseimbangan antara akal dan teks, dengan loyalitas pada Al-Qur’an, Hadis, ijma’, dan qiyas.

Tokoh utama ASWJ dalam bidang teologi adalah Abu al-Hasan al-Ash’ari, yang menggabungkan metode rasional moderat dengan prinsip tradisional. Dalam bidang hukum, ASWJ berkembang melalui empat mazhab fiqh: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Peran Pemikiran Al-Farabi; Pencerahan Filsafat Yunani dan Barat

Pendekatan moderat ini mempromosikan toleransi, keterbukaan terhadap perbedaan, dan penguatan ukhuwah Islamiyah.

Kesamaan dan Perbedaan Pemikiran Islam

Semua aliran dalam Islam sepakat atas prinsip dasar: tauhid, risalah Nabi Muhammad, dan kehidupan akhirat. Kesamaan juga ditemukan dalam penghormatan terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan moral tertinggi.

Perbedaan terutama muncul dalam metodologi dan pendekatan terhadap ayat-ayat mutasyabihat serta penafsiran doktrin takdir dan keadilan. Mu’tazilah dan Qadariyah lebih rasionalis, sementara ASWJ bersifat moderat dan tekstualis.

Dalam fiqh, perbedaan antar mazhab juga bersifat praktis, seperti perbedaan dalam tata cara ibadah atau penetapan hukum sosial. Keragaman ini justru menjadi kekayaan intelektual Islam dan membuktikan bahwa Islam mampu beradaptasi dengan berbagai konteks budaya.

Pemikiran Islam di Era Modern

Era modern membawa tantangan baru bagi umat Islam: globalisasi, ilmu pengetahuan, hak asasi manusia, dan demokrasi. Di sinilah muncul tokoh pembaruan seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Fazlur Rahman yang menyerukan reformasi pemikiran Islam.

Di sisi lain, kelompok progresif mendorong reinterpretasi ajaran Islam melalui maqashid syari’ah untuk menjawab isu kontemporer.

Pemikiran Islam masa kini sangat beragam: dari yang tekstual konservatif hingga progresif rasionalis. Dialog dan toleransi menjadi kunci agar keragaman ini tidak berubah menjadi konflik ideologis.

Pemikiran Islam berkembang sebagai hasil dari refleksi mendalam terhadap wahyu dan realitas sosial. Aliran-aliran seperti Mu’tazilah, Qadariyah, dan Ahlus Sunnah wal Jamaah mewakili berbagai pendekatan dalam memahami hubungan manusia dan Tuhan.

Perbedaan tersebut bukan untuk dipertentangkan, tetapi sebagai bagian dari dinamika dan kekayaan intelektual Islam. Pemahaman yang inklusif terhadap sejarah pemikiran Islam dapat memperkuat solidaritas umat dan memperkaya peradaban. *TeddyNs


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement