Sosok
Beranda » Berita » Ketika Gus Baha Bahas Ushul Fiqih dan Al-Qur’an

Ketika Gus Baha Bahas Ushul Fiqih dan Al-Qur’an

Gus Baha bahas ilmu usuhul fiqih dan al Auran
Gus Baha jelaskan pentingnya ushul fiqih sebagai kunci utama memahami Al-Qur'an agar relevan dengan teladan Nyai Durroh Nafisah Ali.

SURAU.CO Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Bahaudin Nursalim atau Gus Baha kembali m,enegaskan tentang pentingnya ilmu. Dalam tausiyahnya di Yogyakarta, Gus Baha  menyebut penguasaan Al-Qur’an harus sejalan dengan pemahaman ushul fiqih. Sebab leduanya menjadi fondasi penting bagi kehidupan umat Islam.

Pesan mendalam tersebut beliau sampaikan dalam sebuah acara Majelis Tahlil almarhumah Ny. Hj. Durroh Nafisah Ali yang berlangsung di Yayasan Ali Maksum, Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.“Tradisi ahli Qur’an dan ahli ushul fiqih itu saling menyatu. Kalau itu dipahami dengan benar, semaan lancar, analisis fiqih juga lancar,” kata Gus Baha di hadapan para jamaah pada (3/7) lalu. Menurutnya, tradisi pesantren selalu menyatukan dua disiplin ilmu tersebut.

Selanjutnya Gus Baha menekankan pemisahan kedua ilmu ini berbahaya. Umat bisa terjebak dalam pemahaman tekstual yang kaku. Hal ini dapat membuat ajaran Islam terasa dangkal. Padahal, Al-Qur’an diturunkan sebagai penjaga peradaban hingga akhir zaman. Ushul fiqih menjadi alat untuk menjaga relevansinya.

Teladan Nyata dari Nyai Durroh Nafisah

Gus Baha tidak hanya berbicara teori. Ia memberikan contoh konkret dari sosok yang dalam peringatan Nyai Durroh Nafisah Ali. Almarhumah merupakan putri dari KH Ali Maksum, Rais ‘Aam PBNU periode 1981–1984. Sosok Nyai Durroh merepresentasikan perpaduan sempurna antara Al-Qur’an dan fiqih. “Bulik Durroh itu, masak aja sambil nderes Al-Qur’an. Kalau ditanya kenapa begini-begitu, jawabannya selalu nyambung antara Qur’an dan fiqih,” ungkap Gus Baha mengenang.

Kisah ini menunjukkan bagaimana keilmuan meresap dalam aktivitas sehari-hari. melansir laman nu.or.id, Gus Baha menegaskan bahwa di masa lalu, kealiman seseorang tidak pernah terpisah dari hafalan Al-Qur’an. Keduanya menjadi satu paket yang tidak terpisahkan. “Dulu itu enggak ada orang yang cuma hafal Qur’an tanpa jadi alim. Sebaliknya, enggak ada yang alim kalau enggak hafal Qur’an. Kalau disebut alim, ya pasti hafal Qur’an juga,” tegasnya.Keduanya membentuk pribadi muslim yang cerdas, bijaksana, serta beradab. “Keduanya saling melengkapi. Dan contoh nyatanya ya Bulik Durroh,” tambahnya.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Kedalaman Pemikiran

Untuk memahami kedalaman pemikiran Gus Baha, penting mengenal perjalanannya. Gus Baha lahir dengan nama Bahauddin. Nama ayahnya, Nur Salim, sering disematkan di belakang namanya. Praktik ini lazim di kalangan ulama untuk melengkapi nama tunggal.

Perjalanan intelektualnya terasah sejak kecil. Ayahnya KH. Nur Salim, seorang penghafal Al-Qur’an yang mendidiknya sejak kecil. Setelah menuntaskan hafalan Al-Qur’an, Gus Baha melanjutkan pendidikannya. Sang ayah menitipkannya ke Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang. Pada pesantren ini Gus Baha menimba ilmu langsung pada ulama karismatik, KH. Maimoen Zubair.

Di Pesantren Al-Anwar, Gus Baha mendalami ilmu fiqih secara intensif. Kurikulum di sana memang sangat menekankan penguasaan fiqih. Kitab-kitab seperti Fathu al-Qarib dan Fathu al-Mu’in menjadi rujukan utama. Inilah yang membentuknya menjadi seorang pakar fiqih yang mumpuni.

Namun, setelah kembali ke masyarakat, kepakarannya meluas. Kajian-kajian yang beliau sampaikan justru membuatnya terkenal sebagai ahli tafsir Al-Qur’an. Keahliannya membuat banyak kalangan maupun lembaga akademis memintanya bergabung. Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta bahkan menjadikannya bagian dari tim ahli tafsir dengan terlibat dalam penulisan tafsir Al-Qur’an pada universitas tersebut.

Gus Baha adalah produk murni peradaban pesantren. Ia tidak pernah menempuh pendidikan formal atau belajar di luar negeri. Namun, kapasitas keilmuannya mendpatkan pengakuan yang luas. Dengan gaya khasnya, Gus Baha juga menyisipkan humor dalam berbagai ceramah maupun pengajiannya. Ia berkelakar tentang adab anak-anak kiai di pesantren. “Kalau sudah alim, ya karena meniru. Kalau belum alim, ya sopan dulu saja, sambil belajar,” ucapnya suatu ketika. Gus Baha menutup pengajiannya dengan mengulang pesan utamanya. Penguasaan Al-Qur’an dan ushul fiqih adalah fondasi.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement