SURAU.CO. Kita sering mendengar nasihat bijak. Jangan menghakimi buku dari sampulnya. Jangan pernah membicarakan atau menghina orang lain. Sebab, kita tidak tahu nasib mereka di masa depan. Nasihat ini sangat relevan dalam kehidupan sosial. Terlebih lagi, ajaran Islam secara tegas melarangnya.
Sebuah kisah dari ulama sufi menjadi bukti nyata akan hal ini. Pelajaran di dalamnya sangat mendalam. Kisah ini menyoroti pentingnya menjaga lisan. Ia juga mengingatkan tentang rahmat Allah yang tak terduga.
Pemandangan Ganjil di Pemakaman
Syekh Abdul Wahab As Tsaqafi, seorang sufi besar, berbagi sebuah kisah. Suatu hari, ia melihat pemandangan yang ganjil. Sebuah keranda pemakaman diusung oleh sedikit orang. Hanya ada tiga laki-laki dan seorang perempuan. Hati sang Syekh tergerak oleh rasa iba. Ia merasa ada yang tidak beres dengan pemandangan itu.
Syekh Abdul Wahab segera mendekat. Ia lalu meminta izin untuk ikut membantu. Ia mengambil alih posisi perempuan yang memanggul keranda. Kini mereka berlima berjalan menuju pemakaman. Mereka kemudian menyalatkan jenazah itu. Lalu menguburkannya dengan layak.
Setelah semua selesai, rasa penasaran teringat sang Syekh. Ia mendekati perempuan tadi dengan penuh hormat.
“Siapakah jenazah ini?” tanya Syekh Abdul Wahab.
Perempuan itu tampak ragu untuk menjawab. Dengan suara terbata-bata, ia berkata, ”Dia adalah puteraku.”
Jawaban itu membuat Syekh semakin ingin tahu. Ia kembali bertanya dengan lembut. “Apakah kamu tidak mempunyai tetangga?”
Perempuan itu pun menjawab, ”Punya, tetapi mereka berpikir rendah.”
Mendengar hal itu, Syekh Abdul Wahab penasaran dan bertanya lagi, ”Mengapa bisa begitu dan apa yang terjadi?”
Pertanyaan itu membuat perempuan tersebut terkesiap. Setelah hening sejenak, dia berkata, ”Dia adalah waria.”
Hati Syekh Abdul Wahab merasa sedih mendengarnya. Ia sangat kasihan kepada ibu tersebut. Setelah sang ibu tenang, Syekh kembali ke rumahnya. Beberapa waktu kemudian, perempuan itu datang ke rumah sang Syekh. Beliau memberikan uang, buah labu, dan pakaian sebagai bentuk bantuan.
Rahmat Allah bagi yang Terhina
Pada malam harinya, Syekh Abdul Wahab bermimpi. Ia melihat sosok yang sangat bersinar. Wajahnya berseri-seri. Sosok itu mengenakan pakaian serba putih. Ia menemui Syekh dan mengucapkan terima kasih. Akibatnya Syekh Abdul Wahab merasa bingung dengan mimpi itu.
Selanjutnya Syekh Abdul Wahab bertanya kepada orang tersebut, ”Siapa kamu?”
Kemudian lali-laki itu menjawab, “Saya adalah waria yang telah engkau kubur di siang hari itu. Allah SWT. Telah memberikan rahmat kepadaku karena banyak orang yang menganggapku rendah.”
Mimpi ini memberikan pemahaman mendalam bagi Syekh. Adanya hinaan dari manusia justru bisa membuka pintu rahmat Tuhan. Hal ini selaras dengan wahyu Allah kepada Nabi Daud as.
Menurut satu pendapat bahwa Allah SWT telah menurunkan wahyu kepada Nabi Daud as., ”Katakanlah kepada mereka, sesungguhnya Aku (Allah) menciptakan mereka bukan untuk mendapatkan keuntungan, tetapi Allah menciptakan mereka agar mereka dapat mengambil keuntungan dari-Ku.”
Larangan Menghina Orang Lain
Untuk itu kisah di atas menjadi pengingat yang kuat untuk tidak meremehkan siapa pun. Kedudukan seseorang di sisi Allah adalah rahasia-Nya. Penilaian kita sebagai manusia sangatlah terbatas. Allah SWT menegaskanlarangan menghina orang lainini secara jelas. Perintah tersebut tertuang dalam Al-Qur’an.
Allah berfirman dalam Surat Al-Hujurat ayat 11:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ١١
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak memahami, merekalah orang-orang zalim.” (QS Al-Hujurat [49]: 11)
Tentang kisah Syekh Abdul Wahab dan jenazah waria bukan sekadar cerita. Kemudian pelajaran dari kisah ini adalah tentang akhlak dan kemanusiaan dan mengajarkan tidak menghina orang lain. Selain itu kisah ini mendorong kita untuk berprasangka baik.
Penghakiman manusia sangat dibatasi oleh pengetahuan. Namun, hanya Allah Taa’la yang mengetahui isi hati dan akhir nasib seseorang. Tugas kita adalah menyebarkan kebaikan dan kasih sayang. Pada akhirnya manusia bukan menjadi hakim atas kehidupan orang lain. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
