IHSAN: PUNCAK KEBAIKAN, MENGAPA ADA YANG ALERGI?
Ihsan adalah kata yang begitu dalam maknanya dalam tradisi Islam. Ia bukan sekadar berbuat baik, tetapi puncak dari seluruh bentuk kebaikan. Dalam hadis Jibril yang masyhur, Rasulullah ﷺ mendefinisikan ihsan sebagai:
> “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka ketahuilah bahwa Dia melihatmu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah dimensi tertinggi dalam perjalanan iman seorang muslim. Namun anehnya, justru ketika seseorang mulai hidup dengan semangat ihsan, sebagian orang malah menunjukkan sikap alergi. Entah dengan menuduh sok suci, munafik, atau bahkan mencibir dengan sinis: “Ustaz jadi-jadian”, “Gaya agamis”, atau “Fanatik!”
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kebaikan yang seharusnya menginspirasi justru memancing resistensi?
1. Antara Cermin dan Luka Batin
Ihsan adalah cahaya. Dan cahaya, sebagaimana cermin, bisa memantulkan wajah yang selama ini bersembunyi di balik topeng. Orang yang hidup dalam gelap kebiasaan buruk akan terusik bila tiba-tiba ada seseorang yang hidupnya menjadi cahaya. Ia menjadi semacam pengingat, tanpa perlu berkata-kata.
Cermin tidak pernah menyakiti. Tapi orang yang terluka batinnya, akan merasa terganggu ketika harus melihat bayangannya sendiri yang tak sesuai harapan. Maka, kehadiran orang yang berusaha muhsin (berbuat ihsan), bisa memicu rasa tidak nyaman, bahkan penolakan.
2. Dosa yang Membentuk Tameng
Penyebab lain mengapa orang bisa “alergi” pada kebaikan adalah karena dominasi maksiat dalam hidupnya. Hati yang dipenuhi dosa akan kehilangan sensitivitas terhadap kebenaran. Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Sesungguhnya seorang hamba, apabila dia melakukan suatu dosa, maka akan ditorehkan satu titik hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, meninggalkannya dan memohon ampun, maka hatinya akan dibersihkan…” (HR. Tirmidzi, hasan sahih)
Maka tak heran, seseorang yang doyan maksiat akan merasa resah, bahkan muak ketika melihat orang lain berbuat baik. Bukan karena kebaikannya salah, tapi karena hatinya sedang tertutup untuk menerimanya.
Seperti dalam kutipan di gambar:
“Kumaha deui manehna? Keur doyan maksiat, mereun euy.”
(Apa lagi sebabnya? Mungkin karena sedang menikmati maksiat.)
3. Ketika Hati Menentukan Takdir
Dalam Hadits Qudsi yang disebutkan dalam gambar:
> “Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku…”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ayat ini menegaskan bahwa sikap hati manusia sangat menentukan hubungannya dengan Allah. Bila hati bersih, maka prasangkanya kepada Allah akan baik. Tapi bila hatinya keruh oleh iri, dengki, sombong, atau syahwat, maka ia akan memandang kebajikan dengan kecurigaan.
Orang yang hatinya gelap akan selalu memandang sinis kepada yang terang. Sementara yang hatinya terang, akan selalu berprasangka baik, termasuk kepada mereka yang sedang berjuang menjadi lebih baik.
4. Perjalanan Ihsan: Sulit Tapi Indah
Menjadi pelaku ihsan memang tidak mudah. Karena kita hidup di zaman yang kebaikan sering dipelintir, dan keburukan diberi panggung megah. Namun, orang yang memegang prinsip ihsan akan tetap berdiri, bahkan ketika semua orang menertawakannya.
Allah SWT berfirman:
> “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.”
(QS. Al-Baqarah: 195)
Dan ini janji yang cukup untuk menjadi penenang bagi siapa pun yang ingin istiqamah di jalan kebaikan, meski ditolak dan disalahpahami.
5. Fenomena “Alergi Kebaikan” di Zaman Modern
Di era digital hari ini, kita bisa menyaksikan langsung bagaimana orang yang menebar kebaikan sering mendapat respons negatif. Mulai dari para dai di TikTok yang dijuluki “ustaz seleb”, sampai ibu-ibu pengajian yang dianggap “terlalu agamis”.
Sebagian masyarakat kita masih terjebak dalam mentalitas ironi: ketika orang berubah jadi lebih baik, yang diingat adalah masa lalunya. Sedangkan yang berbuat maksiat justru dibela atas nama “hak pribadi”.
Padahal Islam tidak pernah menuntut seseorang harus sempurna, tetapi terus bergerak menuju ihsan. Sayangnya, perubahan ini seringkali membuat orang-orang sekitar merasa terancam atau tertinggal, lalu memutuskan untuk mencibir ketimbang ikut berubah.
6. Solusi: Kembali pada Hati yang Bersih
Satu-satunya cara agar kita tidak menjadi bagian dari mereka yang “alergi terhadap ihsan” adalah menjaga hati tetap bersih. Caranya? Banyak:
Taubat setiap hari, meski kita merasa tak melakukan dosa besar.
Bersahabat dengan orang-orang saleh, karena mereka adalah penjaga semangat.
Kurangi konsumsi konten duniawi, karena hati yang penuh dunia, sempit menerima cahaya akhirat.
Doakan orang-orang yang berubah jadi lebih baik, bukan menghakimi mereka.
Karena kebaikan sejati bukan hanya berbuat baik, tapi juga mendukung orang lain dalam kebaikannya.
7. Kesimpulan: Ihsan Adalah Jalan Pendekatannya
Ihsan bukan sekadar status spiritual, tapi cara hidup. Ia adalah bagaimana kita bekerja, berinteraksi, bahkan berpikir – semua dilakukan dengan seolah-olah Allah sedang menyaksikan. Maka siapa pun yang hidup dengan semangat ihsan, layak menjadi inspirasi, bukan ejekan.
Bila ada yang merasa “alergi”, boleh jadi bukan karena kebaikannya yang salah, tapi karena hatinya belum siap menerima cahaya. Dan tugas kita bukan membalas sinisme dengan kemarahan, tetapi tetap istiqamah dalam kebaikan.
Sebagaimana Allah berfirman:
> “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah dengan yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”
(QS. Fussilat: 34)
Mari kita terus belajar menjadi pribadi muhsinin, agar keberadaan kita tidak hanya menjadi berkah bagi diri sendiri, tapi juga cermin yang menginspirasi sekitar. Bila pun ada yang alergi, biarkan waktu dan kasih sayang Allah yang mengobatinya.
Penutup: Jalan ihsan adalah jalan mulia. Ia memang terjal dan kadang sepi. Tapi ia juga jalan yang langsung menuju cinta Allah. Maka jangan gentar bila ditertawakan, dicibir, atau disalahpahami. Karena yang penting bukan bagaimana manusia menilaimu, tapi bagaimana Allah memandang hatimu.
“Lakukan kebaikan, meski tak dilihat manusia. Karena sesungguhnya Allah selalu melihatmu.”
— (Refleksi Ihsan). (Tengku Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
