Sejarah
Beranda » Berita » Menyalakan Semangat Juang ala Opu Daeng Risaju

Menyalakan Semangat Juang ala Opu Daeng Risaju

Opu Daeng Risaju
Opu Daeng Risaju

SURAU.CO – Di balik sejarah panjang perjuangan kemerdekaan Indonesia, kita menemukan sosok-sosok luar biasa yang jarang disebut, tetapi menyalakan semangat yang tak kunjung padam. Salah satunya adalah Opu Daeng Risaju, perempuan tangguh dari Tanah Luwu, Sulawesi Selatan. Meski namanya tidak sepopuler pahlawan nasional lain, ia telah menorehkan keberanian, keteguhan iman, dan pengorbanan yang layak kita teladani.

Famajjah—nama kecil Opu Daeng—lahir pada tahun 1880 di lingkungan keluarga bangsawan Kerajaan Luwu. Dianugrahi gelar “Opu”, simbol martabat tinggi dalam adat Bugis. Sejak kecil, ia menyerap nilai-nilai Islam dan adat setempat yang kuat. Sebagai bangsawan, ia berkesempatan hidup nyaman dan jauh dari pergolakan politik. Namun, hatinya terusik setiap kali menyaksikan penderitaan rakyat jelata yang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan dan penjajahan Belanda.

Suara Perempuan dari Tanah Luwu

Alih-alih tenggelam dalam status kenyamanan, Opu Daeng Risaju memilih meninggalkan kenyamanan itu demi menyuarakan kemerdekaan bersama rakyat. Pada usia 47 tahun, ketika sebagian orang mulai memperlambat langkah—ia justru mempercepat gerakan perjuangannya.

Ia kemudian bergabung dengan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), organisasi modernis yang lantang menuntut keadilan dan kemerdekaan. Keputusan ini menunjukkan bahwa perjuangan sejati tak mengenal usia maupun jenis kelamin. Melalui PSII, ia aktif menyampaikan ceramah kebangsaan di berbagai forum pengajian. Dari mimbar ke mimbar, ia membangkitkan keberanian rakyat untuk melawan kolonialisme. Semangatnya menginspirasi terutama kalangan perempuan, yang selama ini tersingkir dari ruang perjuangan.

Meskipun banyak pihak yang mencibir langkahnya—termasuk keluarganya sendiri—Opu Daeng tidak goyah. Ia meyakini jalan hidupnya berpihak pada kebenaran.

Mustafa Kemal Ataturk: Modernisasi dan Perkembangan Islam Modern

Namun, setiap perjuangan membawa konsekuensi. Aparat kolonial mulai mengawasi gerak-geriknya, membatasi aktivitasnya. Mereka menyensor pidato-pidatonya dan akhirnya menangkapnya pada tahun 1934, dengan tuduhan menghasut rakyat. Penangkapan ini menjadi awal dari fase gelap dalam perjalanan perjuangannya.

Tahun 1940, petugas kolonial menyeretnya dengan kaki terantai. Mereka tidak hanya menyiksanya secara brutal, tetapi juga memaksanya berjalan puluhan kilometer dalam keadaan terikat. Puncaknya, mereka membuangnya ke Boven Digoel, wilayah pembuangan yang dikenal sebagai “neraka para pejuang.”

Pahlawan Sunyi: Ketika penghargaan bukan tujuan

Di tanah lanskap, tubuhnya semakin melemah. Penyiksaan mengakibatkan pendengarannya hilang. Kendati demikian, dia tidak menyerah. Ia tetap berdakwah kepada sesama penghuninya, menulis pesan perjuangan, dan memberi semangat kepada mereka yang hampir putus asa. Keyakinannya terhadap kemerdekaan Indonesia tak pernah surut. Ia percaya bahwa bangsa ini pasti merdeka.

Setelah kemerdekaan benar-benar tercapai, kita melihat banyak nama pahlawan dikumandangkan dalam upacara dan diabadikan dalam monumen. Namun, nama Opu Daeng Risaju luput dari sorotan. Buku pelajaran pun jarang menyebut jasanya. Padahal, pengorbanannya melampaui nalar kewajaran.

Tidak banyak yang tahu bahwa di sudut rumah sederhana di Palopo, seorang pejuang sejati pernah mengabdikan hidupnya untuk negeri. Tahun 1964, ia mengembuskan napas terakhirnya di usia 84 tahun. Kepergiannya sunyi—tanpa  tanpa upacara besar. Meski begitu, ia telah menyelesaikan amanah cinta kepada negeri.

Peran Pemikiran Al-Farabi; Pencerahan Filsafat Yunani dan Barat

Kisah perjuangan Opu Daeng Risaju menunjukkan bahwa, gelar bangsawan tidak membuatnya berpangku tangan, duduk manis di dalam rumah mewah. Justru, dia ikut turun langsung ke medan perjuangan melawan penjajahan, hingga rela mengorbankan gelar kebangsawanannya untuk berjuang mewujudkan kemerdekaan.

Lalu, apa yang bisa kita teladani dari sosok ini? Bukan sekedar keberaniannya yang mencolok, melainkan ketulusan niatnya yang dalam. Ia tidak menginginkan atau mendambakan penghargaan. Sebaliknya, ia memilih berjuang karena cinta. (Heniwati)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement