Beranda » Berita » Gelar Haji; Apakah benar hanya di Indonesia?

Gelar Haji; Apakah benar hanya di Indonesia?

berangkat haji
ilustrasi perjalanan ibadah haji tempoe doloe

Indonesia memiliki tradisi unik dalam penyematan gelar Haji atau Hajjah di depan nama seseorang yang telah menunaikan ibadah haji.

Bagaimanakah sebenarnya gelar haji ini dapat disematkan kepada nama seseorang jemaah haji yang pulang dari Mekah?. Untuk itu mari kita simak ulasannya. 

Asal Gelar Haji

Frasa Haji berasal dari bahasa Arab Ḥajj yang berarti perjalanan ibadah ke Mekah. Karena beban fisik dan biaya yang besar maka orang yang sukses pulang dari Mekah dianggap pahlawan dan pantas mendapatkan gelar.

Secara kultural, gelar ini menunjukkan penghormatan atas jerih payah dan pengorbanan untuk pergi berhaji. Gelar ini juga menandakan status sosial tinggi di masyarakat Nusantara.

Perjalanan haji masa dulu sangat menantang dan penuh risiko. Jamaah harus mengarungi lautan besar, badai, perompak, dan gurun pasir luas. 

Kitab Fathul Mu’in: Pilar Fikih Syafi’i yang Terus Hidup di Dunia Pesantren

Banyak ulama dan tokoh masyarakat sejak kerajaan Nusantara dulu bersusah payah untuk menunaikan haji. Selain menunaikan ibadah tentunya mendapatkan legitimasi religius dan sosial di masyarakat. Contohnya, KH. Ahmad Dahlan menimba ilmu dan haji di Mekah tahun 1883, lalu mendapatkan gelar Haji sebelum kembali ke Indonesia.

Haji di Masa Kolonial

Pada awal abad ke 20, penjajah Belanda mewaspadai terhadap pengaruh spiritual dan paham Pan-Islamisme dari jemaah haji.

Mereka membuka konsulat jenderal di Arabia pada tahun 1872 untuk mencatat perjalanan jamaah yang berasal dari Hindia-Belanda.

Belanda juga mengeluarkan Staatsblad (Ordonansi Haji) pada tahun 1903 dan penerapan penyematan gelar resmi kepada jemaah yang pulang dari ibadah di Mekah. Penyematan gelar ini bukan penghargaan semata, tapi juga alat kontrol dari Belanda. 

Beberapa tokoh besar seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, HOS Tjokroaminoto dan Samanhudi pulang dari Mekah membawa semangat perjuangan dan perubahan sosial. Akibatnya Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan kontrol kepada mereka para jamaah. 

Haji dalam Fathul Qorib: Perjalanan Lahir dan Batin Menuju Keikhlasan

Makna Religius, Sosial dan Kultur

Gelar ini mewakili pencapaian spiritual yang signifikan. Penyematannya terhadap nama jamaah haji menegaskan bahwa seseorang telah menyempurnakan rukun Islam.

Selain itu, gelar haji juga menjadi alat simbol sosial. Hal ini mendorong keinginan masyarakat untuk menunaikan ibadah haji.

Meskipun, beberapa ulama Arab menolak gelar ini karena bisa mengundang riya dan tidak berasal dari tradisi Nabi. 

Apakah Penyematan Gelar Haji Hanya di Indonesia?

Penyematan gelar Haji dan Hajjah di depan nama seseorang bukan hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara lain juga mengenal penyematan gelar ini, meskipun dengan bentuk dan makna berbeda.

Di Turki, orang yang telah menunaikan ibadah haji diberi gelar Hacı di depan namanya. Misalnya, seorang bernama Ali akan dipanggil Hacı Ali.

Gegara Kuota Haji, KPK Diseret Ke Pengadilan

Di wilayah Balkan dan Eropa Timur , digunakan istilah Hadži atau Hadzhy. Gelar ini digunakan dalam konteks sosial dan agama sejak era Ottoman. Selain itu, di Afrika Barat seperti Nigeria dan Ghana, digunakan gelar Alhaji bagi pria dan Alhaja bagi wanita. Gelar ini sangat populer terutama di kalangan Muslim suku Hausa dan Fulani.

Di beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei juga dikenal penyematan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji. Namun konteksnya berbeda dari Indonesia, karena tidak terkait kontrol kolonial, melainkan sebagai penghormatan budaya modern.

Gelar Haji di Indonesia 

Namun, hanya di Indonesia penyematan gelar haji secara administratif dan sosial begitu masif. Nama resmi di dokumen kependudukan, papan nama rumah, hingga undangan pernikahan sering menyertakan gelar H. atau Hj.

Bahkan, sebagian ulama Timur Tengah menilai penggunaan gelar ini berpotensi mengarah pada riya atau pamer amal.  Orang yang telah berhaji tidak menambahkan gelar itu dalam nama mereka sehari-hari. Maka mereka menganjurkan cukup Allah saja yang mengetahui amal haji seseorang.

Meski begitu, di Indonesia gelar ini telah menjadi bagian dari tradisi keagamaan dan budaya lokal. Penyematan gelar ini merupakan wujud penghormatan sosial sekaligus kebanggaan kolektif umat Islam Indonesia.

Dengan demikian, penyematan gelar haji tidak eksklusif milik Indonesia, namun di Indonesia-lah praktik ini paling meluas dan formal. Penyematan ini menjadi ciri khas Islam Nusantara yang mencerminkan akulturasi antara ajaran agama dan budaya lokal.

Gelar Haji di Indonesia memiliki akar religius dan budaya, serta sejarah panjang sejak era Hindia-Belanda. Tradisi ini lahir dari penghormatan dan kontrol kolonial. Hingga kini gelar ini tetap lestari dan berkembang sebagai simbol spiritualitas, status sosial, dan budaya Islam Nusantara. *TeddyNS


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement