Opinion
Beranda » Berita » Usia 40 Tahun: Waktunya Malu kepada Allah, Bukan Dunia

Usia 40 Tahun: Waktunya Malu kepada Allah, Bukan Dunia

Usia 40 Tahun: Waktunya Malu kepada Allah, Bukan Dunia

Usia 40 Tahun: Waktunya Malu kepada Allah, Bukan Dunia

Dalam kehidupan modern yang penuh dengan tekanan sosial dan tuntutan pencapaian materi, banyak dari kita merasa malu ketika belum bisa memiliki rumah, mobil, pakaian baru, atau menikmati makanan mewah. Padahal, seharusnya rasa malu yang lebih besar itu bukanlah kepada manusia karena belum memiliki dunia, melainkan kepada Allah karena kita lalai memperbaiki hubungan dengan-Nya—terutama ketika usia telah menginjak 40 tahun.

Usia 40 bukanlah usia biasa. Ia adalah usia kematangan, kedewasaan, dan masa pertanggungjawaban. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan secara khusus tentang usia ini:

> “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku kembalimu. Dan jika seseorang telah mencapai usia 40 tahun, ia berdoa: ‘Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat beramal saleh yang Engkau ridhai dan berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Ayat ini menunjukkan bahwa usia 40 tahun adalah titik balik spiritual yang seharusnya ditandai dengan syukur, amal saleh, tobat, dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Bukan Malu Tak Punya Dunia, Tapi Malulah Jika Tak Kenal Rabbmu

Kita sering merasa malu ketika:

Masih memakai baju yang sama selama bertahun-tahun.
Belum bisa beli rumah atau mobil.
Tidak bisa makan di restoran mewah.

Padahal itu semua bukanlah tolok ukur keberhasilan di sisi Allah. Dunia hanyalah tempat persinggahan sementara, bukan tujuan akhir. Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Dunia ini penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Malu yang sejati bukan karena tak punya dunia, tapi ketika:

Sudah 40 tahun, tapi belum bisa bangun Subuh.
Sudah dewasa, tapi tak mampu hadir shalat berjamaah di masjid.
Sudah banyak waktu berlalu, tapi belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik.
Saat orang lain telah memahami tauhid, kita masih tenggelam dalam syirik kecil.
Orang lain sudah hafal satu juz, kita masih hanya tahu surat Al-Ikhlas.
Ketika pembahasan hadits dimulai, kita hanya bisa terdiam bingung.

Ini adalah kondisi yang seharusnya menimbulkan rasa malu, bukan kepada manusia, tapi kepada Rabb semesta alam.

40 Tahun: Usia Introspeksi dan Revolusi Diri

Banyak Nabi diangkat kenabiannya pada usia 40 tahun. Rasulullah ﷺ sendiri mendapatkan wahyu pertama di usia ini. Ini bukan kebetulan. Ini adalah pengingat bahwa usia tersebut adalah masa puncak kekuatan dan permulaan tanggung jawab yang lebih besar.

Bila hingga usia 40 kita masih tenggelam dalam dunia dan belum juga punya bekal akhirat, kapan lagi akan berubah?

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Mari kita introspeksi:

Sudahkah kita punya waktu khusus setiap hari untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an?
Seberapa jauh kita memahami makna tauhid, syirik, dan berbagai bentuk ibadah?
Apakah kita sudah bisa mengajarkan agama ini kepada anak dan keluarga?
Apakah kita sudah merasa nikmat dalam ibadah, atau sekadar rutinitas kosong?
Malu Itu Iman, Tapi Letakkan pada Tempatnya

Rasa malu adalah bagian dari iman. Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Malu itu bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun malu yang benar adalah ketika:

Kita sadar telah lama hidup namun belum bertaubat dari dosa-dosa lama.
Kita tahu shalat itu wajib, tapi masih terlambat atau bahkan bolong-bolong.
Kita paham pentingnya ilmu, tapi tak juga menyisihkan waktu untuk belajar agama.
Kita merasa malu karena tak paham hadits, padahal sering mengabaikan kajian.

Sementara itu, jangan merasa minder hanya karena:

Belum punya rumah besar.
Masih naik motor tua ke masjid.
Anak-anak belum kuliah di luar negeri.
Gaji pas-pasan dan tak bisa pamer di media sosial.
Itu semua tak akan pernah jadi penentu kemuliaan di sisi Allah.

> “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Bangkit di Usia 40: Memulai Tak Harus Menunggu Muda

Mungkin sebagian dari kita merasa: “Saya sudah terlalu tua untuk mulai belajar.” Tapi itu adalah bisikan syaitan. Justru saat ini, ketika akal lebih matang dan hati lebih tenang, kita lebih siap untuk mendalami ilmu agama.

Kisah banyak ulama menunjukkan bahwa memulai tak harus di usia muda:

Al-‘Izz bin ‘Abdissalam baru benar-benar mendalami ilmu syar’i saat usianya sudah mendekati 40 tahun.
Ibnu Hazm belajar fiqh setelah dewasa karena sebelumnya lebih fokus pada sastra.

Maka, tak ada alasan untuk menyerah. Jangan tunda!

Mulailah belajar membaca Al-Qur’an, meski terbata-bata.
Ikuti majelis ilmu, meski hanya seminggu sekali.
Perbaiki shalat, niatkan bangun Subuh sebagai awal revolusi spiritual.
Dekatkan diri pada ulama, bukan pada akun-akun palsu di media sosial.
Kawal diri dan keluarga, agar hidup kita lebih bermakna dan penuh berkah.

Penutup: Doa Orang Umur 40 Tahun

Mari kita amalkan doa yang disebutkan dalam Al-Qur’an ketika usia mencapai 40 tahun:

> “رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ”

“Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat beramal saleh yang Engkau ridhai; dan berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Semoga tulisan ini menjadi pemantik untuk tidak lagi sibuk mengejar dunia sampai lupa persiapan pulang ke akhirat. Jangan malu karena miskin dunia, tapi malulah ketika miskin iman. (Tommy Dangau/Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement