Opinion
Beranda » Berita » Mata Air yang Terlupakan: Sebuah Cermin Kepekaan Sosial dan Kepedulian Lingkungan.

Mata Air yang Terlupakan: Sebuah Cermin Kepekaan Sosial dan Kepedulian Lingkungan.

Mata Air yang Terlupakan: Sebuah Cermin Kepekaan Sosial dan Kepedulian Lingkungan

Mata Air yang Terlupakan: Sebuah Cermin Kepekaan Sosial dan Kepedulian Lingkungan.

Di suatu sudut jalan pedesaan, di balik semak-semak yang merambat liar, mengalir mata air kecil dari sebuah pipa sederhana. Air jernih itu menetes tanpa henti ke tanah, membentuk kubangan dangkal yang menampung sisa-sisa jejak manusia. Bekas botol plastik, pembungkus makanan, dan serpihan sampah lainnya berceceran, seolah menjadi saksi bisu akan abainya kita terhadap nikmat Allah yang begitu nyata: air.

Foto ini, walau sederhana, menyimpan begitu banyak pesan moral, spiritual, dan sosial. Ia mengajak kita merenung dalam-dalam tentang bagaimana kita memperlakukan nikmat, dan bagaimana seharusnya kita merespons amanah Allah atas bumi ini.

1. Nikmat Air yang Sering Terlupakan

Air, Sumber kehidupan. Tidak ada makhluk yang dapat bertahan tanpa air. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:

> “Dan Kami ciptakan dari air segala sesuatu yang hidup…”
(QS. Al-Anbiya: 30)

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Namun sayangnya, manusia sering lalai. Ketika air mengalir lancar dari keran, kita lupa bersyukur. Ketika hujan turun deras, kita malah mengeluh. Ketika melihat mata air alami seperti dalam gambar, kita tidak lagi takjub, apalagi merasa perlu menjaga.

Padahal, bagi sebagian saudara kita di tempat yang jauh, setetes air adalah kehidupan. Mereka berjalan berkilo-kilometer hanya untuk mendapatkan air bersih. Mereka menyimpan air seperti menyimpan emas. Sementara kita, membuang, mencemari, bahkan merusak sumber air tanpa merasa berdosa.

2. Ketika Sampah Merusak Kesucian Alam

Gambar ini juga menyorot masalah besar yang kita hadapi: krisis kepedulian. Di sekitar mata air itu, terlihat jelas sampah berserakan. Bukan hanya mencemari pandangan, tapi juga mencemari hati. Mengapa di tempat yang seharusnya suci dan alami, manusia tega meninggalkan jejak kotor?

Rasulullah ﷺ mengajarkan:

> “Iman itu ada 70-an cabang… yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim)

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Jika membuang duri di jalan saja dihitung sebagai bagian dari iman, bagaimana dengan menjaga kebersihan lingkungan? Menjaga air tetap suci? Menghindari pembuangan sampah di tempat umum?

Sayangnya, kesadaran ini mulai pudar. Padahal dalam Islam, alam bukan hanya tempat tinggal, tapi juga amanah. Kita adalah khalifah di bumi, bukan perusak.

3. Hikmah dari Sebuah Pancuran

Pancuran kecil ini bisa menjadi cermin bagi jiwa kita. Ia terus mengalir, tak peduli ada yang memanfaatkannya atau tidak. Ia memberi, tak menuntut balas. Begitulah seharusnya seorang Muslim bersikap: menjadi sumber manfaat, meski tidak disorot, meski tak dipuji.

Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

> “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Pancuran itu tidak bersuara, tapi ia bicara dengan tetesan-tetesannya. Ia berkata: “Aku ini anugerah. Tapi lihatlah bagaimana manusia memperlakukanku…”

4. Dakwah Lingkungan: Menghidupkan Tanggung Jawab Sosial

Kita sering membatasi dakwah hanya pada mimbar, ceramah, atau majelis ilmu. Tapi dakwah juga bisa hadir dalam bentuk menjaga kebersihan mata air. Menanam pohon. Mengajak orang untuk tidak buang sampah sembarangan. Membuat papan kecil bertuliskan: “Jagalah Air Ini, Karena Ia Menjaga Hidupmu.”

Dakwah dengan amal-Dakwah dengan keteladanan

Pendidikan Islam yang sejati mencakup semua aspek kehidupan. Termasuk dalam hal menjaga lingkungan. Rasulullah ﷺ sendiri adalah contoh terbaik dalam memperlakukan alam. Ia melarang menebang pohon sembarangan, melarang buang air di tempat umum, dan memerintahkan untuk tidak menyiksa hewan atau membuang makanan.

5. Mengembalikan Nilai Sakral Alam

Foto ini bisa menjadi pengingat bahwa setiap jengkal tanah punya nilai. Setiap tetes air punya makna. Jika kita kembali menghidupkan rasa takjub terhadap ciptaan Allah, kita tidak akan tega mengotorinya.

Dalam budaya Minangkabau, ada ungkapan:

“Alam takambang jadi guru.”
(Alam terbentang adalah guru)

Artinya, dari alam kita belajar. Tapi hari ini, alam yang harus belajar bersabar karena kebodohan kita.

6. Solusi Kecil, Dampak Besar

Dari satu pancuran, kita bisa mulai gerakan perubahan:

Bersihkan sekitar mata air setiap pekan.
Pasang papan edukasi tentang pentingnya air bersih.
Ajak anak-anak mengenal sumber air dan cara menjaganya.
Buat sistem penampungan sederhana agar air tidak terbuang sia-sia.

Mungkin kecil. Tapi perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil yang konsisten.

7. Refleksi Diri: Sudahkah Kita Bersyukur?

Melihat foto ini, mari bertanya pada diri sendiri:

Sudahkah aku bersyukur atas air yang kupakai setiap hari?
Sudahkah aku menjaga lingkungan sekitarku?
Sudahkah aku menjadi bagian dari solusi, bukan hanya penikmat?

Karena sungguh, syukur bukan hanya di lisan. Tapi juga di tangan yang membersihkan. Di mata yang peduli. Di langkah yang menjaga.

Penutup: Sebuah Doa di Tepi Pancuran

Ya Allah,
Engkau turunkan air dari langit sebagai rahmat-Mu.
Engkau pancarkan dari bumi sebagai kasih sayang-Mu.
Jadikan kami hamba-hamba-Mu yang pandai bersyukur.
Yang menjaga amanah-Mu di bumi ini.
Yang tidak merusak, tapi memperbaiki.
Yang tidak membuang, tapi memelihara.
Yang tidak acuh, tapi penuh cinta.

Aamiin.

📸 Catatan Gambar

Sumber foto ini adalah pancuran air alami dari pipa sederhana di pinggir jalan desa. Meski kecil, airnya mengalir terus. Sebuah potret tentang keberkahan, yang layak dijaga dan disyukuri bersama. (Tengku Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement