MUJUR LALU MELINTANG PATAH: Renungan tentang Ujian di Balik Kemujuran
Peribahasa Melayu ini sarat makna dan penuh pelajaran. “Mujur lalu, melintang patah” mengandung arti bahwa jika keberuntungan berpihak, maka segala rintangan dapat diatasi; yang datang menghalang pun akan “patah” menghadapi tekad dan jalan yang benar. Ia menggambarkan kekuatan orang yang berada dalam situasi menguntungkan — tidak hanya dari segi dunia, tapi juga dari segi keyakinan, adab, dan spiritualitas.
Tapi peribahasa ini tak hanya soal keberuntungan. Ia juga bicara tentang keberanian melawan yang batil, kekuatan keyakinan yang menembus penghalang, dan prinsip kebenaran yang tak dapat dikalahkan oleh halangan apa pun.
1. Apa Itu “Mujur”?
Dalam pandangan umum, “mujur” sering dimaknai sebagai untung, nasib baik, atau keberuntungan. Namun dalam Islam, kemujuran bukanlah soal untung-untungan semata, tapi lebih kepada taufik dari Allah, hasil dari amal saleh dan ketakwaan, sebagaimana dalam firman Allah:
> “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Maka kemujuran sejati bukan milik orang yang beruntung secara duniawi, tapi orang yang diberi pertolongan Allah dalam setiap urusannya.
2. Melintang Patah: Menghadang Kebenaran? Bersiaplah Remuk
Dalam bagian kedua peribahasa ini, kita diingatkan: jika seseorang menghalangi jalan kebenaran atau kebaikan, maka ia akan “patah” sendiri. Ini bukan ajakan kekerasan, tapi gambaran bahwa kebenaran selalu punya jalan, dan siapa yang menentangnya akan kalah — bukan karena kekuatan manusia, tapi karena dukungan dari Tuhan semesta alam.
Lihatlah Nabi Musa ‘alaihissalam. Ia dihalangi oleh Firaun, dijerat oleh tipu daya penyihir dan tentara. Namun karena ia berada di jalan yang benar, semua halangan “patah” — bahkan laut pun terbelah untuknya.
> “Sesungguhnya tentara Firaun adalah golongan yang dikalahkan.” (QS. Ash-Shaffat: 173)
3. Keteguhan Orang Benar: Kunci Mematahkan Halangan
Orang yang berjalan dalam kebenaran, walaupun tampak lemah, memiliki daya hancur terhadap kebatilan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Janganlah kamu menganggap rendah dirimu. Katakanlah kebenaran walaupun pahit.”
(HR. Ibnu Hibban)
Keberanian untuk terus maju dalam jalan yang benar — itulah “mujur” hakiki. Dan siapa pun yang berani menghalangi jalan tersebut, tanpa sadar sedang “melintang” di hadapan hukum Allah. Maka cepat atau lambat, ia akan “patah”.
4. Kisah-Kisah yang Menghidupkan Peribahasa Ini
a. Abu Bakar ash-Shiddiq
Ketika kaum Quraisy menghalangi dakwah Nabi Muhammad ﷺ, Abu Bakar tampil membela dengan kekuatan iman. Ketika ia dipukul habis-habisan sampai wajahnya bengkak, ia tidak mundur. Ia tetap mendukung dakwah Rasulullah ﷺ — dan akhirnya, para penghalang dakwah itu tumbang oleh kekuatan Islam.
b. Imam Ahmad bin Hanbal
Ia disiksa karena tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Ia tetap teguh. Dan akhirnya, para penguasa zalim yang menganiayanya jatuh, sedangkan namanya harum sepanjang zaman.
5. Ketika Kita Harus Jadi “Mujur” yang Melintasi Halangan
Dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam harus menjadi pribadi yang tahu jalan hidupnya:
Jika benar, maka jalani walau sulit.
Jika ada yang menghadang dalam bentuk fitnah, kedengkian, atau tipu daya, maka jangan takut.
Jika engkau berada dalam kebenaran, engkau akan “lalu”, dan siapa pun yang menghalangi akan “patah”.
Tapi, tentu saja, dengan adab dan kesabaran. Bukan dengan amarah. Bukan dengan nafsu. Tetapi dengan tekad dan tawakal kepada Allah.
6. Keseimbangan Antara Tawadhu dan Ketegasan
Kita bukan diajarkan untuk menjadi arogan dalam menghadapi musuh kebenaran. Tapi kita juga tidak boleh lemah. Dalam menghadapi batil, kita diajarkan untuk sabar dan tegas, sebagaimana sabda Nabi:
> “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan.” (HR. Muslim)
7. Renungan Akhir: Apakah Kita Sedang “Mujur”? Atau Justru “Melintang”?
Cobalah tanyakan pada diri:
Apakah aku sedang berjalan di jalan Allah?
Apakah aku menjadi sebab kemudahan orang lain dalam meniti jalan kebaikan?
Ataukah aku justru menjadi penghalang — melintang, dan bisa jadi akan “patah”?
Karena dalam hidup ini, kita hanya punya dua pilihan:
Menjadi orang yang mujur lalu, atau melintang lalu patah.
Penutup
Peribahasa ini bukan hanya untuk dilafazkan, tapi untuk dihayati. Ia mengajarkan:
Bahwa keberuntungan datang pada mereka yang lurus niatnya.
Bahwa rintangan akan tumbang jika kita teguh pada kebenaran.
Dan bahwa pertolongan Allah adalah faktor penentu, bukan hanya kekuatan kita. “Jika engkau berjalan dalam cahaya iman, teruslah melangkah. Siapa yang menghalangi akan patah oleh sinar kebenaran.” (Tengku Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
