IHSAN: Puncak Kebaikan, Mengapa Ada yang Alergi?
Ihsaan adalah puncak dari semua kebaikan.
Namun anehnya, justru ada sebagian orang yang alergi terhadapnya. Mengapa? Kumaha deui manehna? Keur doyan maksiat, mereun euy.
1. Ketika Hati Menentukan Takdir
Dalam Hadits Qudsi, Allah SWT berfirman:
> “Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku…”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kalimat ini sederhana tapi menggetarkan jiwa. Bagaimana mungkin Allah memperlakukan hamba sesuai dengan prasangka mereka? Karena sesungguhnya prasangka bukan sekadar pikiran pasif — ia adalah awal dari seluruh realitas hidup kita.
Rumusnya begini:
> Thought (Pikiran) → Word (Perkataan) → Action (Perbuatan) → Habit (Kebiasaan) → Character (Karakter) → Destiny (Nasib).
Aa Gym sering mengibaratkan ini dengan teko berisi air teh. Kalau dituangkan ya keluarnya air teh, bukan air susu. Teko ibarat hati kita. Kalau isinya busuk, jangan harap akan keluar kebaikan dari lisan dan perbuatan kita. Dan kalau ada teko yang isinya kopi tapi keluar susu… itu teko kurang ajar. (Hehehe…)
2. Tangga-Tangga Kebaikan Menurut Islam
Dalam buku Worldview Islam karya Ustadz Dr. Usmanul Khakim (UNIDA Gontor), dijelaskan tingkatan kebaikan dalam Islam:
1. Thayyib (طيب) – Kebaikan material.
2. Khair (خير) – Kebaikan konsensus sosial.
3. Ma’ruf (معروف) – Kebaikan rasional.
4. Shalih (صالح) – Kebaikan maslahat.
5. Birr (برّ) – Kebaikan berdasarkan komitmen syariat.
6. Ihsaan (إحسان) – Puncak kebaikan: kebaikan spiritual-transendental.
Ihsaan bukan sekadar baik di hadapan manusia, tapi baik karena Allah. Bukan karena ada kamera pengawas, tapi karena yakin bahwa Allah selalu melihat.
3. Ihsan: Mahkota Islam, Iman, dan Akhlak
Dalam hadits Jibril yang masyhur, kita diajarkan bahwa:
Islam: Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, Haji.
Iman: Keyakinan pada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, Qadar.
Ihsan: “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika tidak mampu, yakinlah bahwa Allah melihatmu.”
Inilah puncaknya. Menjadi Muslim itu awal. Menjadi Mukmin itu bukti. Tapi menjadi Muhsin (pelaku Ihsan) — itulah yang Allah cintai.
Seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 195:
> “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat Ihsan (baik secara total).”
Mereka yang sudah sampai maqam Ihsan akan selalu merasa dalam pengawasan Allah (muraaqabah) dan dalam kebersamaan-Nya (ma’iyyah). Tapi ingat, bukan berarti mereka menganut Wihdatul Wujud yang menyimpang itu. Kata santri zaman now: “Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.”
4. Muslim KTP vs Muslim Ihsan
Sayangnya, banyak orang hanya berhenti di status “Islam” secara administratif — di KTP, di daftar pemilih, di surat nikah. Namun tidak sampai kepada Islam hakiki yang dibuktikan dengan Iman dan Ihsan.
Contoh sederhana: Al-Baqarah ayat 183 tentang puasa Ramadhan diawali dengan seruan:
> “Yaa ayyuhalladziina aamanuu…”
(Wahai orang-orang yang beriman…)
Jadi, siapa yang tidak berpuasa Ramadhan tanpa alasan syar’i, meski KTP-nya Islam, sesungguhnya sedang meruntuhkan keislamannya sendiri.
Maka benarlah sabda Rasulullah ﷺ:
> “Betapa banyak orang berpuasa, tetapi tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus.”
(HR. Ahmad)
Kenapa? Karena niatnya bukan karena Allah. Tidak mengikuti sunnah Rasulullah. Tidak ada Ihsan di dalamnya. Semua kosong. Hampa. Gagal.
5. Alergi terhadap Ihsan? Itu Tanda Sakit Jiwa!
Lalu, mengapa masih ada orang yang alergi terhadap Ihsan?
Mungkin karena Ihsan itu menuntut ketulusan. Sedangkan hati yang kotor alergi terhadap kejujuran.
Mungkin karena Ihsan itu mengharuskan ketundukan total. Sedangkan jiwa yang angkuh hanya mau tunduk pada egonya sendiri.
Mungkin juga karena Ihsan itu membutuhkan konsistensi. Sedangkan mereka hanya mencari pembenaran, bukan kebenaran.
Yang pasti, orang yang alergi terhadap Ihsan biasanya sedang akrab dengan maksiat. Keur doyan mabuk, mereun euy. Hatinya keruh, maka cahaya Ihsan terasa menyilaukan.
Padahal, justru Ihsan-lah jalan keselamatan sejati. Jalan para kekasih Allah. Jalan para pejuang akhirat.
Penutup: Jadilah Muhsin, Bukan Sekadar Muslim
Ihsaan bukan kemewahan rohani yang hanya dimiliki segelintir sufi. Ia adalah cita-cita semua muslim sejati.
Mulailah dengan bersihkan hati. Jaga pikiran. Perbaiki niat. Luruskan amal. Dan jadikan Allah sebagai tujuan segala gerak langkah.
Karena hidup bukan soal status, tapi soal kualitas. Bukan soal simbol, tapi soal substansi.
Dan di Hari Asyura ini, mari kita niatkan kembali:
> “Aku ingin menjadi Muslim yang bukan hanya di KTP.
Tapi Muslim yang Mu’min.
Dan Mu’min yang Muhsin.”
Allahumma aj’alnaa minal Muhsiniin… Catatan Ahad, 10 Muharram 1447 H | Bogor Barat – MiM (Tengku Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
