Opinion
Beranda » Berita » Filsafat Makhlukisme: Meneguhkan Posisi Manusia sebagai Hamba Berdaulat

Filsafat Makhlukisme: Meneguhkan Posisi Manusia sebagai Hamba Berdaulat

Intelektual Muslim

Di tengah dinamika kehidupan modern, pertanyaan mengenai posisi dan makna keberadaan manusia di alam semesta kerap muncul. Berbagai aliran pemikiran berusaha merumuskan jawabannya, salah satunya adalah Filsafat Makhlukisme. Konsep ini menempatkan manusia sebagai hamba (abd) Tuhan Yang Maha Esa. Namun, bukan dalam pengertian pasif, melainkan sebagai makhluk yang dianugerahi pengetahuan (‘ilm) dan kemampuan (qudrah) luar biasa, sehingga manusia menjadi pemimpin sekaligus pesuruh Ilahi di muka bumi.

Kehambaan: Jalan Menuju Kemerdekaan Sejati yang Membangkitkan Kesadaran Profetik

Dalam Filsafat Makhlukisme, kehambaan bukanlah simbol keterbatasan, melainkan pengakuan atas kedaulatan mutlak Tuhan dan ketergantungan manusia kepada-Nya. Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa kehambaan sejati merupakan puncak kemerdekaan, sebab dengan tunduk pada kehendak Ilahi, manusia terbebas dari belenggu nafsu dan keterikatan duniawi.

Dalam tradisi filsafat Barat, gagasan ini dapat diparalelkan dengan konsep kebebasan autentik yang dikembangkan oleh filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir. Sartre menegaskan bahwa manusia adalah “makhluk yang dikutuk untuk bebas” (condemned to be free), yang berarti kebebasan melekat sekaligus menjadi beban karena manusia harus memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya.

Namun, berbeda dengan Sartre yang menempatkan kebebasan sebagai kondisi tanpa panduan ilahi, Filsafat Makhlukisme memandang kehambaan sebagai kebebasan yang dibingkai oleh hubungan sadar dengan Tuhan. Dengan demikian, kebebasan tersebut bukan nihilistik, melainkan bermakna dan terarah.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Konsep ini juga beririsan dengan pemikiran Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik. Dalam karya-karyanya, seperti Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Kuntowijoyo berupaya mengintegrasikan dimensi transenden (wahyu) ke dalam ilmu-ilmu sosial. Kehambaan dalam Makhlukisme menjadi landasan humanisasi dalam Ilmu Sosial Profetik, di mana kesadaran akan kehambaan kepada Tuhan membebaskan manusia dari dehumanisasi akibat struktur sosial yang opresif atau materialisme. Manusia tidak lagi menjadi objek, melainkan subjek bermartabat karena hubungannya dengan Yang Ilahi.

Selain itu, konsep pengetahuan (‘ilm) dan kemampuan (qudrah) dalam Makhlukisme mengingatkan pada pemikiran Immanuel Kant tentang akal budi praktis (practical reason). Kant berargumen bahwa manusia sebagai makhluk rasional memiliki kapasitas moral untuk menentukan hukum bagi dirinya sendiri (autonomi moral), namun hukum moral ini bersifat universal dan mengikat, mirip dengan syariat dan sunnatullah dalam Makhlukisme.

Dengan demikian, manusia dianugerahi akal dan kebebasan, tetapi kebebasan itu harus dijalankan dalam koridor moral yang rasional dan transenden. Pengetahuan ini menjadi prasyarat bagi liberalisasi dan transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik, yaitu kemampuan memahami realitas secara kritis dan melampaui batas-batas materialisme.

Makhluk Sempurna: Harmoni Jiwa, Raga, dan Visi Profetik

Konsep manusia sebagai makhluk sempurna (ahsani taqwim) yang memiliki potensi untuk mencapai harmoni antara jiwa dan raga mengingatkan pada konsep jiwa tripartit Plato dalam Republik, yang membagi jiwa menjadi rasional, semangat, dan nafsu. Plato menegaskan bahwa keadilan dan kesempurnaan manusia tercapai ketika ketiga bagian jiwa tersebut berada dalam keseimbangan harmonis, di mana akal memimpin dan mengendalikan bagian lainnya.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Al-Ghazali menambahkan dimensi spiritual dengan menekankan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), yang dapat dipahami sebagai proses internalisasi nilai-nilai Ilahi agar jiwa mampu merefleksikan cahaya Tuhan. Hal ini paralel dengan pemikiran Aristoteles tentang eudaimonia (kebahagiaan atau hidup yang baik), yang dicapai melalui aktualisasi potensi manusia secara penuh dan hidup sesuai dengan kebajikan (virtue). Aristoteles memandang kebahagiaan sebagai tujuan akhir manusia yang dicapai lewat keseimbangan antara akal dan emosi, sejalan dengan gagasan Al-Farabi tentang saadah.

Dalam konteks Ilmu Sosial Profetik, kesempurnaan manusia ini berimplikasi pada pembentukan manusia profetik, yaitu individu yang tidak hanya memahami realitas secara intelektual, tetapi juga memiliki kesadaran moral dan spiritual yang kuat. Harmoni jiwa dan raga yang sempurna menghasilkan pribadi yang memiliki visi kenabian—mampu melihat masalah sosial, memahami akar penyebabnya, dan mengusulkan solusi berlandaskan nilai-nilai transenden. Ini merupakan manifestasi integrasi nilai-nilai keislaman dalam praksis sosial.

Khalifah dan Murid Ilahi: Peran Ganda dalam Aksi Sosial Profetik

Peran ganda manusia sebagai pemimpin (khalifah) sekaligus pesuruh Ilahi dalam Filsafat Makhlukisme mencerminkan dialektika antara kebebasan dan keterikatan yang juga dibahas dalam filsafat Barat. Dalam tradisi politik Barat, konsep kedaulatan manusia sebagai pengelola dirinya dan lingkungannya dapat ditemukan dalam pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke, yang menekankan peran manusia sebagai makhluk rasional yang mengatur tatanan sosial.

Namun, berbeda dengan pandangan sekuler mereka, Filsafat Makhlukisme menempatkan kepemimpinan manusia dalam kerangka ketaatan pada hukum Ilahi. Dengan demikian, kepemimpinan tersebut bukan semata-mata otoritas duniawi, melainkan mandat moral dan spiritual.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Gagasan manusia sebagai murid Ilahi yang tunduk pada syariat dan sunnatullah dapat dibandingkan dengan pandangan Søren Kierkegaard tentang “kehidupan beriman” (faith life), di mana individu menerima keterbatasan dan ketidakpastian eksistensial dengan sikap pasrah dan patuh kepada Tuhan, sekaligus menjalankan kebebasan secara bertanggung jawab. Kierkegaard menegaskan bahwa iman adalah lompatan eksistensial yang mengintegrasikan kebebasan dan ketaatan, mirip dengan dualitas peran manusia dalam Makhlukisme.

Peran khalifah sangat sentral dalam konsep Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik. Kuntowijoyo menekankan bahwa peran kenabian (profetik) bagi umat Islam adalah mewujudkan amar maruf nahi munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran) dalam skala sosial. Ini adalah perwujudan kepemimpinan manusia sebagai khalifah yang tidak hanya mengelola alam, tetapi juga menegakkan keadilan sosial dan moral.

Dengan demikian, khalifah bukan sekadar status, melainkan panggilan untuk bertransformasi sosial dan membangun peradaban yang berkeadilan, sejalan dengan cita-cita profetik.

Ibnu Khaldun, yang menekankan pentingnya fondasi moral dan agama dalam peradaban, sejajar dengan pemikiran Alexis de Tocqueville, yang mengamati bahwa nilai-nilai moral dan agama merupakan pilar utama dalam menjaga stabilitas dan kemajuan masyarakat demokratis. Integrasi ini memperkuat argumen bahwa etika transenden adalah kunci kemajuan peradaban.

Dualitas peran ini menciptakan dialektika dinamis: kepemimpinan manusia diarahkan oleh bimbingan Ilahi, dan ketaatan manusia kepada Tuhan termanifestasi dalam tindakan kepemimpinan yang bertanggung jawab di dunia. Ini merupakan cerminan tauhid yang komprehensif, tidak hanya mengesakan Tuhan dalam keyakinan, tetapi juga menginternalisasikannya dalam setiap tindakan dan pengelolaan alam semesta.

Relevansi Filsafat Makhlukisme di Tengah Tantangan Kontemporer dan Aspirasi Profetik

Di era modern yang penuh disrupsi dan pencarian makna, Filsafat Makhlukisme menawarkan kerangka pemikiran yang menggabungkan kesadaran spiritual, tanggung jawab sosial, dan pengembangan potensi manusia secara menyeluruh. Pendekatan ini mengingatkan pada filsafat Barat kontemporer, seperti gagasan Charles Taylor yang menekankan pentingnya “identitas moral” dan “pengakuan” (recognition) dalam membentuk makna hidup dan komunitas yang beradab.

Filsafat Makhlukisme secara inheren mendukung cita-cita Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo. Kesadaran akan kehambaan kepada Tuhan sebagai sumber kebebasan dan tanggung jawab membuka ruang bagi manusia untuk menjadi agen perubahan yang beretika dan berdaya, bukan sekadar objek dalam sistem sosial atau alam semesta.

Ini menjadi fondasi bagi transformasi sosial yang diimpikan Kuntowijoyo, di mana ilmu tidak hanya bersifat deskriptif atau prediktif, tetapi juga normatif dan membebaskan. Dengan demikian, Filsafat Makhlukisme tidak hanya relevan secara teologis, tetapi juga sebagai panduan etis, eksistensial, dan praksis untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.

Oleh: Ibrayoga Rizki Perdana, Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement