Khazanah
Beranda » Berita » Seni Hadroh: Dari Surau Lokal Menuju Khazanah Global

Seni Hadroh: Dari Surau Lokal Menuju Khazanah Global

Dalam setiap denting rebana, tersembunyi cinta yang sederhana tapi dalam; suara yang tak lantang, tapi menggugah. Hadroh bukan hanya didengar, tapi dirasakan

SURAU.CO. Seni Hadroh terus menggema di sebuah surau sederhana bernama al-Hasany, di ujung Desa Kedungpring, Wates, Kulon Progo, suaranya bertalu dari bakda Isya hingga larut malam. Sepuluh santri duduk melingkar, menabuh rebana dari kulit sapi di atas bingkai kayu mahoni. Irama yang mengalun bukan sekadar tabuhan perkusi, melainkan lantunan pujian kepada Nabi Muhammad Saw yang penuh ruh dan penghayatan. Malam yang sunyi menjadi hidup, bukan karena hiruk-pikuk, tapi karena getar cinta yang tulus dan dalam.

Pemandangan semacam ini kini semakin jarang. Suara rebana dari surau-surau desa makin tenggelam oleh dentuman musik digital, dari K-pop, hip-hop, hingga EDM. Namun di balik sunyinya panggung, hadroh masih hidup. Ia bertahan, menjelma suara lirih yang tetap menyala, suara cinta dari pinggiran.

Seni Hadroh dan Akar Tradisi Islam Nusantara

Masyarakat di berbagai daerah di Indonesia menyebut alat musik rebana dengan nama yang berbeda-beda. Di Jawa Timur, mereka mengenalnya sebagai hadroh; di kawasan Kedu, menyebutnya terbang; di Jakarta, marawis; dan di Kalimantan Selatan, banjari. Meski berbeda nama dan gaya, semuanya menyuarakan satu hal yang sama: kerinduan kepada Rasulullah Saw yang mereka ungkapkan lewat bahasa seni yang sederhana dan merakyat.

Sejarah hadroh di Nusantara sendiri tak bisa dilepaskan dari perjalanan dakwah Islam, terutama dakwah Wali Songo. Para wali menggunakan musik sebagai jembatan untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat yang saat itu masih sangat lekat dengan budaya dan spiritualitas lokal. Istilah “hadroh” berasal dari bahasa Arab ḥaḍrah (حَضْرَة), yang berarti “kehadiran”, menunjuk pada hadirnya ruhani dalam majelis pujian, dzikir, dan cinta kepada Sang Nabi.

Di tangan para wali, rebana bukan hanya alat hiburan. Ia menjadi jalan dakwah, alat mendidik jiwa, dan media penguat spiritualitas.

Fenomena Flexing Sedekah di Medsos: Antara Riya dan Syiar Dakwah

Transformasi Hadroh di Tengah Arus Zaman

Meskipun kini hadroh semakin jarang terdengar di ruang-ruang publik, itu tidak berarti ia telah punah. Justru di pesantren, madrasah, dan komunitas-komunitas keagamaan, hadroh terus hidup dan menemukan bentuk barunya. Para santri dan pegiat seni menampilkan hadroh dalam festival budaya, mengunggahnya ke media sosial, bahkan membawanya ke panggung internasional.

Grup-grup seperti Syubbanul Muslimin, Ahbabul Musthofa, dan Az-Zahir menjadi bukti bahwa hadroh masih sangat relevan di tengah arus zaman. Mereka membawakan shalawat dengan sentuhan kekinian, namun tetap menjaga ruh spiritual yang menjadi inti hadroh. Bahkan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf bersama timnya rutin tampil di berbagai negara, memperkenalkan hadroh sebagai wajah Islam yang ramah, damai, dan penuh cinta.

Salah satu momen yang juga membanggakan adalah ketika pembukaan International Tour de Banyuwangi Ijen (ITdBI)  dibuka dengan pertunjukan hadroh. Delapan penabuh rebana tampil memukau, membawakan shalawat dalam irama perkusi yang rancak. Tsunenori Kikuchi, delegasi dari Federasi Balap Sepeda Dunia (UCI), bahkan turut naik ke panggung dan ikut menabuh rebana. Meski tak memahami liriknya, ia larut dalam kekhusyukan yang ditimbulkan.

Dari Dzikir ke Layar Digital

Generasi Z hari ini lebih sering menatap layar ponsel daripada mendengarkan lantunan kasidah. Namun, para pelaku hadroh tak tinggal diam. Mereka membawa hadroh ke TikTok, YouTube, dan Instagram, menyajikannya dengan gaya yang kreatif, visual yang segar, dan aransemen yang lebih modern. Dengan cara ini, hadroh tetap hidup dan menemukan jalannya di tengah dunia digital yang terus bergerak.

Di beberapa sekolah dan madrasah, hadroh bahkan menjadi ekstrakurikuler resmi. Bukan hanya alat hiburan, tapi pembentuk adab dan penyejuk jiwa. Para santri menghayati setiap syair, menjadikannya bagian dari proses pendidikan ruhani mereka.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Modernisasi tidak harus menggerus tradisi. Justru dengan pendekatan yang tepat, hadroh bisa menjadi ruang kontemplasi di tengah derasnya budaya pop.

Menjaga Hadroh, Menjaga Jiwa Bangsa

Hadroh bukan sekadar seni. Ia adalah warisan budaya Islam Indonesia—hidup, membumi, dan membangun kesadaran spiritual. Tabuhan rebana bukan hanya ritme, tapi dzikir. Lantunan shalawat bukan sekadar lagu, tapi doa yang mengalir dari hati.

Di tengah hiruk-pikuk globalisasi, menjaga hadroh berarti menjaga napas peradaban. Bukan untuk melawan modernitas, tapi menjadi penyeimbang. Di saat dunia sibuk bersuara, hadroh mengajak untuk mendengar—ke dalam.

Maka mari dukung anak-anak muda, para santri, dan komunitas yang masih menjaga tradisi ini. Karena hadroh bukan masa lalu. Ia adalah suara hari ini yang membawa cahaya untuk esok.Dalam setiap denting rebana, tersembunyi cinta yang sederhana tapi dalam; suara yang tak lantang, tapi menggugah. Hadroh bukan hanya didengar, tapi dirasakan.(kareemustofa)

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement