ASYURA DAN TRADISI BERBAGI: MAKNA 10 MUHARRAM DALAM KEHIDUPAN UMAT ISLAM.
Tanggal 10 Muharram yang dikenal sebagai Hari Asyura bukan sekadar momen dalam kalender Hijriyah. Ia adalah momentum bersejarah, sarat makna keimanan dan penuh dengan tradisi yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Muslim, termasuk di pelosok-pelosok Nusantara. Gambar ilustrasi yang menampilkan seorang muslimah tengah memilih wadah di pasar tradisional bertuliskan “10 Muharram Asyura” ini seolah mengajak kita menelusuri kembali esensi Hari Asyura dalam bingkai sosial, spiritual, dan budaya.
Makna Asyura dalam Sejarah Islam
Hari Asyura memiliki nilai keutamaan yang sangat tinggi dalam Islam. Dalam hadits riwayat Imam Muslim, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Puasa pada hari Asyura, aku berharap kepada Allah agar dihapuskan (dosa) setahun yang telah lalu.”
(HR. Muslim)
Rasulullah ﷺ sendiri berpuasa di hari Asyura dan menganjurkan umatnya untuk berpuasa sebagai bentuk syukur atas diselamatkannya Nabi Musa ‘alaihis salam dan Bani Israil dari kejaran Fir’aun. Maka puasa Asyura menjadi bentuk ibadah dan syukur kepada Allah atas nikmat dan pertolongan-Nya.
Namun, seiring perjalanan waktu, umat Islam dari berbagai daerah mengekspresikan semangat Asyura tidak hanya dalam bentuk puasa, tetapi juga dalam kegiatan sosial dan budaya yang memperkuat ukhuwah dan semangat berbagi.
Tradisi Berbagi pada 10 Muharram
Ilustrasi yang kita lihat menggambarkan seorang muslimah dengan kerudung sedang membeli wadah-wadah di pasar. Ini mengisyaratkan persiapan untuk kegiatan memasak dan berbagi makanan, salah satu bentuk tradisi Asyura di banyak daerah. Di Minangkabau, misalnya, masyarakat mengenal “Asyuraan” — kegiatan memasak bubur Asyura bersama di surau atau masjid, lalu membagikannya ke warga sekitar, khususnya kaum dhuafa.
Dalam kitab Al-Majmu’ karya Imam Nawawi, disebutkan bahwa ada riwayat dari ulama terdahulu mengenai keutamaan memperluas nafkah dan memberi makanan kepada keluarga di hari Asyura:
“Barangsiapa yang melapangkan (nafkah) untuk keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan melapangkannya sepanjang tahun itu.”
(HR. Al-Baihaqi)
Hadis ini menjadi dasar bagi tradisi memberi, baik kepada keluarga maupun kepada orang lain, di hari mulia ini. Meski sebagian ulama menilai sanadnya lemah, namun dari sisi semangat berbagi dan mempererat kasih sayang antar manusia, hal ini tetap menjadi praktik sosial yang baik dan dianjurkan.
Asyura dan Semangat Kedermawanan
Gambaran pasar yang ramai, orang-orang yang bersiap dengan peralatan masak, dan suasana yang penuh semangat menunjukkan bagaimana masyarakat menjadikan Asyura sebagai momentum tahunan untuk merawat nilai-nilai sosial: gotong royong, berbagi rezeki, dan memperhatikan sesama.
Ini menjadi pengingat bahwa Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hubungan antar manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Tidak sempurna iman seseorang dari kalian, hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tradisi berbagi di Hari Asyura bisa menjadi sarana untuk mengamalkan hadits ini. Makanan yang dimasak bersama, dibagikan kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, atau bahkan teman sejawat, bukan sekadar pemberian materi, tetapi simbol dari cinta dan kepedulian yang diwujudkan secara nyata.
Kritik Konstruktif terhadap Tradisi yang Menyimpang
Meski begitu, perlu juga disampaikan bahwa tidak semua tradisi di hari Asyura sesuai dengan tuntunan syariat. Sebagian kelompok mengaitkan Hari Asyura dengan perayaan duka cita atas wafatnya cucu Nabi ﷺ, Sayyidina Husain di Karbala. Lalu muncul praktik-praktik yang tidak disyariatkan seperti meratap, menyiksa diri, bahkan pawai yang bernuansa kesedihan berlebihan. Ini adalah bentuk bid’ah yang harus dihindari.
Islam menganjurkan untuk mengenang peristiwa sejarah dengan penuh hikmah, bukan dengan ratapan atau kekerasan terhadap diri sendiri. Semangat Asyura dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah momentum spiritual untuk memperkuat ketaatan, memperbanyak puasa, dan memperluas kasih sayang dalam kehidupan sosial.
Dari Pasar Menuju Surga: Mewujudkan Amal di Dunia Nyata
Gambar ilustrasi ini juga bisa dibaca sebagai simbol dari aktivitas ekonomi yang berorientasi pada akhirat. Perempuan yang membeli peralatan bukan untuk menumpuk kekayaan, tetapi untuk beramal, memasak, dan berbagi. Ini adalah bentuk amal jariyah yang sederhana namun bernilai tinggi di sisi Allah.
Pasar dalam Islam bukan hanya tempat jual beli, tetapi juga tempat dakwah, tempat niat baik dimulai. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka membeli satu ember pun, jika diniatkan untuk memberi makan orang miskin di hari Asyura, bisa menjadi jalan menuju keridhaan Allah.
Menjaga Semangat Asyura Sepanjang Tahun
Asyura bukan hanya satu hari dalam setahun. Ia adalah simbol dari nilai-nilai yang seharusnya hidup dalam keseharian kita:
Berpuasa: Menahan diri dan mendekat kepada Allah.
Berbagi: Melapangkan rezeki dan menyantuni sesama.
Bersyukur: Mengingat nikmat Allah dan mensyukurinya.
Berdoa: Memohon pengampunan atas dosa yang telah lalu.
Bermuhasabah: Mengenang peristiwa sejarah untuk memperbaiki diri.
Dengan menjadikan 10 Muharram sebagai titik awal perubahan, kita bisa memperbaiki hubungan kita dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan diri sendiri.
Penutup: Menjadi Bagian dari Umat yang Peduli
Mari jadikan Hari Asyura sebagai momen kebangkitan spiritual dan sosial. Sebagaimana perempuan dalam ilustrasi yang tampak bersemangat menyiapkan peralatan untuk berbagi, kita pun bisa memulai dari hal kecil: niat yang ikhlas, amal yang tulus, dan perhatian kepada sesama.
Karena sejatinya, Islam bukan hanya soal ibadah vertikal kepada Tuhan, tapi juga ibadah horizontal yang mencerminkan akhlak dan kasih sayang. Dan di Hari Asyura ini, kita diajak untuk mewujudkannya dalam bentuk nyata — dengan tangan yang memberi, hati yang peduli, dan lisan yang penuh doa. (Tengku Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
