SURAU.CO.Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Menteri Nomor 73/2022 tentang pencatatan nama pada dokumen kependudukan. Salah satu poin penting adalah imbauan agar nama seseorang terdiri dari minimal dua kata. Kebijakan ini memudahkan administrasi di masa depan, seperti pengurusan paspor dan dokumen legal lainnya.
Namun, lebih dari sekadar aspek administratif, diskusi tentang nama seharusnya menyentuh aspek yang lebih mendalam. Hal ini menyangkut nilai, identitas, dan spiritualitas.
Dalam Islam, nama bukan sekadar label atau formalitas. Nama adalah harapan, doa, dan bagian dari takdir. Kualitas makna jauh lebih utama daripada kuantitas suku katanya. Penamaan dalam Islam mengandung nilai mendalam—baik untuk kehidupan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat.
Nama dalam Islam: Cermin Doa dan Harapan
Islam sangat menekankan pentingnya memilih nama yang baik dan penuh makna. Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama kalian dan nama ayah kalian. Maka baguskanlah nama-nama kalian.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Beliau juga bersabda:
“Muliakanlah anak-anak kalian dan perbaguslah nama-namanya.” (HR. Ibnu Majah)
Dari kedua hadis ini, kita pahami bahwa penamaan bukanlah perkara sepele. Nama atau panggilan yang kita sandang menjadi identitas, bahkan hingga di hadapan Allah Swt kelak. Ia mengandung harapan (tafaa’ul) orang tua akan masa depan anak, sekaligus menjadi doa agar tumbuh sesuai makna atau teladan yang diikutinya.
Prinsip Islam dalam Memilih Nama
Syekh Abdullah Nashih Ulwan dalam kitabnya Tarbiyatul Aulad fil Islam memberikan pedoman dalam memberikan nama anak:
-
Hindari Nama Khusus untuk Allah: Hindari nama-nama seperti Ar-Rahman, Ar-Rahim, atau Al-Hadi. Jika ingin digunakan, sebaiknya didahului dengan kata Abdun atau abdul (hamba), seperti Abdurrahman atau Abdul Hadi.
-
Hindari Nama Berbau Kemusyrikan: Islam melarang penggunaan nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah, seperti Abdul Uzza atau Abdul Lata, yang merupakan nama-nama berhala.
-
Jangan Gunakan Nama yang Terlalu Optimistik: Hindari nama yang terlalu muluk dan tidak realistis seperti Barrah (yang sangat suci) atau Aflah (yang paling sukses). Ini bisa menimbulkan beban psikologis pada anak dan bertentangan dengan prinsip tawadhu’.
-
Hindari Nama yang Bermakna Lemah: Hindari nama yang bermakna rapuh, hilang, atau redup. Nama sebaiknya memberikan kekuatan, semangat, dan optimisme.
Melampaui William Shakespeare
Di dunia Barat, kita mengenal kutipan terkenal dari William Shakespeare: “What’s in a name? A rose by any other name would smell as sweet.” Kutipan ini menunjukkan bahwa nama hanyalah formalitas—esensi sesuatu tidak berubah meski namanya berbeda. Namun, dalam pandangan Islam, hal ini tidak berlaku.
Nama bukan sekadar sebutan, tetapi cermin doa dan identitas spiritual. Nama dapat menjadi representasi nilai-nilai luhur yang tertanam dalam diri seseorang. Orang tua Muslim hendaknya memilih nama bukan karena tren atau keunikan semata, tetapi karena harapan yang baik yang dikandungnya.
Nama Baik, Kehidupan yang Bermakna
Dalam realitas masyarakat hari ini, memberi nama sering kali dikaitkan dengan gaya atau keunikan. Tak jarang muncul nama-nama yang asing tanpa makna jelas, hanya demi keunikan atau tren media sosial. Padahal, Islam mengajarkan bahwa nama adalah bentuk tanggung jawab. Nama akan melekat seumur hidup, dan menjadi pengingat abadi akan doa serta harapan dari orang tua.
Maka dari itu, kita harus kembali kepada prinsip Islam dalam memberi nama: memilih nama yang indah, penuh makna, dan bernilai doa. Nama bukan hanya untuk dikenal manusia, tapi juga akan disebut ketika Allah memanggil kita di akhirat.
Semoga nama-nama yang kita berikan kepada anak-anak kita menjadi wasilah kebaikan, peneguh langkah, dan pengingat akan harapan mulia. Sebab pada akhirnya, nama adalah doa—doa yang hidup dalam tiap panggilan dan pengharapan.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
