Opinion
Beranda » Berita » Ketika Dakwah Dipukul: Luka Demokrasi dan Buruknya Politik Kekuasaan

Ketika Dakwah Dipukul: Luka Demokrasi dan Buruknya Politik Kekuasaan

Ketika Dakwah Dipukul: Luka Demokrasi dan Buruknya Politik Kekuasaan

Ketika Dakwah Dipukul: Luka Demokrasi dan Buruknya Politik Kekuasaan.

 

 

 

Nama Tengku Iskandar bukanlah nama asing dalam dunia dakwah dan penyuluhan agama Islam di Indonesia. Sosoknya dikenal karena komitmen terhadap pendidikan akidah, semangat dakwah damai, serta peran aktif sebagai penyuluh teladan yang bahkan pernah menginjakkan kaki di Istana Negara. Namun siapa sangka, justru ketika ia melanjutkan pengabdian di garis depan masyarakat, ia harus menjadi korban dari kekerasan fisik yang sangat tidak manusiawi—dilakukan oleh Tim Bagus Santoso, seorang pejabat publik yang kini menjabat sebagai Wakil Bupati Bengkalis.

Riyadus Shalihin: Buku Panduan Kecerdasan Emosional (EQ) Tertua Dunia

Sebuah Luka Bagi Dakwah dan Demokrasi

Kekerasan terhadap seorang penyuluh agama bukan sekadar persoalan personal. Ini adalah luka bagi nilai-nilai dakwah, sekaligus tamparan terhadap wajah demokrasi lokal. Ketika penyuluh agama yang dikenal luas karena integritas dan keteladanannya dipukul oleh orang-orang dari lingkaran kekuasaan, maka itu bukan sekadar tindakan kriminal, tapi juga tanda memburuknya moralitas politik di daerah.

Dalam narasi besar demokrasi, aparat kekuasaan sejatinya hadir sebagai pelayan rakyat—bukan sebagai algojo bagi suara-suara yang kritis. Seorang penyuluh agama, yang berdiri di atas kebenaran, tidak pantas dipukul hanya karena menyuarakan kebenaran. Apalagi jika kekerasan itu terjadi dalam konteks pembungkaman pendapat atau balasan atas keberanian moral.

Siapa yang Dipukul? Tengku Iskandar: Sosok Penyuluh Teladan

Untuk memahami seriusnya persoalan ini, kita harus tahu siapa Tengku Iskandar. Ia adalah penyuluh agama Islam yang dikenal luas karena kontribusinya dalam menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama, mendorong literasi Qur’ani di pedalaman, dan membangun komunitas dakwah berbasis cinta ilmu.

Pada tahun 2014, ia diundang ke Istana Negara karena prestasinya sebagai penyuluh teladan nasional. Ia bukan aktivis partisan. Ia bukan oposan politik. Ia adalah representasi moral umat Islam yang bekerja dalam sunyi, membenahi akhlak masyarakat dari bawah.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Jika orang seperti ini bisa dipukul, maka siapa lagi yang aman?

Tim Bagus Santoso dan Buruknya Citra Kekuasaan

Dari berbagai kesaksian dan laporan lapangan, diketahui bahwa pelaku pemukulan adalah anggota dari Tim Bagus Santoso, pejabat publik yang kini menjabat sebagai Wakil Bupati Bengkalis dan memiliki cita-cita politik lebih tinggi. Sayangnya, tim yang seharusnya merepresentasikan semangat pelayanan dan etika politik justru terlibat dalam tindakan brutal terhadap rakyat.

Kejadian ini menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dalam kepemimpinan lokal. Bahwa politik bukan lagi tentang mengabdi, melainkan menjadi alat intimidasi terhadap mereka yang berbeda atau dianggap “tidak berpihak”.

Apakah ini wajah politik masa depan yang ditawarkan oleh Bagus Santoso? Jika ya, maka masyarakat berhak untuk menolak dan melawan kebusukan kekuasaan semacam ini.

Fenomena Flexing Sedekah di Medsos: Antara Riya dan Syiar Dakwah

Kekerasan Adalah Tindakan Gagalnya Akal dan Etika

Dalam tradisi Islam, kekerasan bukanlah solusi. Rasulullah ﷺ mengajarkan kelembutan bahkan terhadap musuh yang paling keras. Dalam sebuah hadits:

> “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Memukul seorang dai, apalagi yang telah mengabdi puluhan tahun kepada bangsa dan agama, adalah bentuk kebiadaban modern. Ketika argumen digantikan pukulan, maka yang berbicara bukan lagi akal sehat, tapi nafsu kuasa yang kehilangan akhlak.

Kejahatan Politik Tidak Boleh Dibiarkan

Kita tidak boleh diam. Karena diam adalah bentuk pembiaran. Bila hari ini Tengku Iskandar dipukul, maka besok bisa jadi guru-guru Qur’an, ulama, aktivis dakwah, atau siapa saja yang tidak tunduk pada kekuasaan, akan mengalami hal yang sama. Inilah kenapa umat Islam, ormas keagamaan, LSM, dan masyarakat sipil harus bersatu mengecam peristiwa ini.

Tindakan pemukulan ini harus diusut tuntas. Bukan hanya pelaku lapangan yang harus diadili, tapi juga aktor intelektual di belakangnya, termasuk Bagus Santoso sendiri jika terbukti memiliki keterlibatan langsung maupun tidak langsung.

Karena dalam negara hukum, tidak ada seorang pun yang kebal hukum. Baju politik tidak bisa menjadi tameng untuk melindungi tindakan biadab.

Preseden Buruk bagi Demokrasi Lokal

Kekerasan politik bukan hanya masalah individu. Ini adalah sinyal bahwa demokrasi lokal sedang sakit. Ketika kekuasaan tidak bisa dikritik tanpa risiko dipukul atau diintimidasi, maka yang sedang tumbuh bukan demokrasi, tapi feodalisme dalam baju demokrasi.

Demokrasi bukan hanya tentang pemilu dan kotak suara. Ia hidup dari kebebasan berbicara, penghargaan terhadap pendapat berbeda, dan perlindungan terhadap rakyat yang bersuara. Jika penyuluh agama saja bisa diperlakukan seperti ini, maka demokrasi kita sedang menuju titik nadir.

Apa yang Harus Dilakukan?

  1. Usut tuntas pelaku kekerasan. Aparat kepolisian harus segera bertindak tegas dan adil. Tidak boleh ada perlindungan bagi pelaku hanya karena kedekatan politik.

  2. Desak klarifikasi dan permintaan maaf dari Bagus Santoso. Jika beliau adalah pemimpin sejati, maka ia akan mengecam tindakan anak buahnya dan tidak bersembunyi di balik kekuasaan.

  3. Solidaritas umat Islam. Mari kirimkan dukungan dan doa untuk Tengku Iskandar. Jangan biarkan dai dan penyuluh agama berjuang sendirian.

  4. Catat dalam memori politik. Peristiwa ini harus menjadi pelajaran menjelang pemilu mendatang. Pemimpin yang membiarkan kekerasan terhadap rakyat tidak layak mendapat amanah lebih besar.

Penutup: Saat Kebenaran Dipukul, Kebenaran Harus Bangkit

Pemukulan terhadap Tengku Iskandar bukan hanya cerita kekerasan biasa. Ia adalah simbol retaknya moralitas politik, pudarnya adab dalam kekuasaan, dan rusaknya nilai-nilai demokrasi lokal.

Namun kita tidak boleh kalah. Suara kebenaran boleh dipukul, tapi tidak bisa dibungkam. Jika ada seribu penyuluh, dan satu dipukul, maka sembilan ratus sembilan puluh sembilan lainnya harus berdiri lebih kokoh. Karena ini bukan sekadar membela individu, tapi membela kehormatan dakwah dan umat.

> “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.”
(QS. Hud: 113)

Tengku Iskandar boleh terluka. Tapi semangatnya tidak akan pernah padam. Dan kita, sebagai masyarakat berakal dan beriman, tidak boleh tinggal diam. (Tengku Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement