SURAU.CO – Sejarah telah mencatat nama Cut Nyak Dien sebagai simbol perlawanan perempuan terhadap kolonialisme. Di tengah dominasi narasi sejarah yang sering menempatkan laki-laki di garda depan, Cut Nyak Dien justru tampil sebagai pengecualian. Ia memancarkan keteguhan hati, keberanian yang tak tergoyahkan, dan spiritualitas yang mendalam. Ia tidak hanya memimpin pasukan, tetapi juga menjaga moral dan menyalakan harapan dalam gelapnya perang yang panjang.
Cut Nyak Dien lahir di Aceh Besar pada tahun 1848. Ia tumbuh di tengah keluarga bangsawan religius yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan adat Aceh. Ayahnya, Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang yang aktif dalam melawan penjajahan. Dari keluarganya, ia mewarisi semangat keislaman dan nasionalisme yang mengkristal dalam perjuangannya.
Tragedi yang Menyulut Perlawanan
Ketika Perang Aceh pecah pada tahun 1873, Belanda menjadikan Aceh sebagai medan perang paling brutal dalam sejarah kolonial mereka. Suami Cut Nyak Dien, Teuku Ibrahim Lamnga, turut bertempur melawan pasukan Belanda. Namun, ia gugur dalam pertempuran sengit di Gle Tarum. Peristiwa ini menghunjamkan duka yang dalam di hati Cut Nyak Dien.
Namun, ia tidak tenggelam dalam kesedihan. Ia justru meminta ayahnya untuk mengizinkannya turun ke medan perang.
“Tidak cukup aku menunggu di rumah dan menangisi kematian suami. Aku akan menebusnya dengan darah penjajah,” ujarnya, sebagaimana tercatat dalam sejarah lisan masyarakat Aceh.
Ia kemudian memimpin pasukan perempuan dan membakar semangat para pejuang laki-laki. Dalam berbagai pertempuran di wilayah Aceh Barat, ia tampil sebagai pemimpin tangguh di garis depan. Ia juga menyemangati para pejuang dengan doa dan nasihat keagamaan.
Doa: Nafas dan Senjata Spiritual
Cut Nyak Dien memaknai perang melawan Belanda bukan sekadar urusan politik, tetapi juga jihad fi sabilillah—perjuangan di jalan Allah. Ia selalu menyertai setiap langkah dengan doa. Doa-doa itu menjadi semacam senjata spiritual yang menopang perlawanan mereka di tengah keterbatasan senjata dan logistik.
Dalam buku An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra, sejarawan Anthony Reid menulis, “Gerakan perlawanan di Aceh tidak bisa dipisahkan dari semangat religius rakyatnya, dan Cut Nyak Dien adalah figur kunci yang memadukan perjuangan fisik dengan spiritualitas.”
Ia tak hanya mengangkat senjata, tetapi juga menggenggam kitab doa. Dalam hening malam hutan Aceh, ia melantunkan zikir bersama para pejuang. Mereka percaya bahwa doa mampu mendatangkan keberkahan dan kekuatan yang tak kasatmata.
Cinta dan Strategi: Bersama Teuku Umar
Pada tahun 1880-an, Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar, panglima perang yang cerdik dan karismatik. Pernikahan itu bukan sekadar hubungan pribadi, tetapi juga menjadi strategi politik dan militer yang memperkuat perlawanan Aceh.
Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dien menjalankan aksi gerilya yang membuat Belanda kewalahan. Salah satu strategi paling legendaris terjadi ketika Teuku Umar berpura-pura bekerja sama dengan Belanda. Setelah mendapatkan kepercayaan dan perlengkapan militer, ia membawa semua senjata itu ke pedalaman dan memperkuat barisan pejuang. Strategi ini kemudian dikenal sebagai Teuku Umar Meukuta Alam.
Cut Nyak Dien selalu mendampingi Teuku Umar dalam perjuangan itu. Ia bertindak sebagai penasihat, komandan, sekaligus istri yang setia. Keduanya menunjukkan bahwa kemitraan antara laki-laki dan perempuan bisa menjadi kekuatan utama dalam perjuangan kemerdekaan—sebuah narasi yang jarang muncul dalam sejarah resmi yang patriarkal.
Gugurnya Teuku Umar dan Pengkhianatan
Pada tahun 1899, Belanda berhasil menyergap dan menewaskan Teuku Umar. Cut Nyak Dien diterpa kehilangan untuk kedua kalinya, namun ia tak menyerah. Ia tetap melanjutkan perjuangan, memimpin perlawanan meskipun kondisi semakin sulit dan pasukannya semakin berkurang.
Pada akhirnya, seorang pengikutnya yang tidak kuat melihat penderitaan Cut Nyak Dien melaporkan keberadaannya kepada Belanda. Tentara kolonial pun menangkapnya pada tahun 1901.
Belanda mengasingkan Cut Nyak Dien ke Sumedang, Jawa Barat. Meskipun penglihatannya mulai kabur akibat usia dan kondisi fisik, ia tetap menyalakan semangat perjuangan. Ia mengajarkan agama kepada anak-anak muda di pengasingan, menyebarkan nilai-nilai kebaikan, dan tidak pernah tunduk pada kekuasaan kolonial. Ia wafat pada 6 November 1908 dan dikebumikan di Gunung Puyuh, Sumedang—jauh dari tanah kelahirannya yang sangat ia cintai.
Warisan Jiwa Perjuangan
Pemerintah Indonesia menetapkan Cut Nyak Dien sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1964. Kini, berbagai sekolah, rumah sakit, dan jalan di Indonesia memakai namanya. Namun, warisan terbesar yang ia tinggalkan bukan sekadar nama atau simbol, melainkan semangat untuk tidak pernah menyerah, setia pada keyakinan, dan menjadikan cinta serta duka sebagai kekuatan perjuangan.
Prof. Tuty Alawiyah, seorang sejarawan perempuan Indonesia, pernah mengatakan bahwa Cut Nyak Dien adalah “sosok perempuan yang berhasil menyatukan duka, iman, dan strategi menjadi kekuatan yang tak tergoyahkan.”
Cut Nyak Dien menunjukkan kepada dunia bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin perang, guru spiritual, dan penjaga kehormatan bangsa dalam satu waktu. Ia menjelma sebagai mercusuar yang menyinari sejarah Indonesia dengan cahaya keberanian, cinta, dan iman yang tak pernah padam. (Heniwati, S.Pd.I., M.IP)
Referensi:
- Muhammad Isa, Sayf, 2015, Cut Nyak Dhien, Qanita
- Reid, Anthony. (2005). An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra. Singapore: Singapore University Press.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
