Era digital telah mengubah banyak hal. Termasuk cara kita dalam menuntut ilmu. Belajar mengaji kini bisa dilakukan daring. Cukup melalui layar gawai di rumah. Namun, metode tradisional tetap tak tergantikan. Mengaji tatap muka dengan guru memiliki nilai lebih. Ini bukan hanya proses belajar membaca Al-Quran. Ini adalah sebuah majelis pembentukan karakter.
Interaksi langsung menciptakan ikatan emosional. Murid tidak hanya menerima ilmu. Mereka juga menyerap adab dan keteladanan. Guru menjadi figur panutan yang nyata. Hal ini sulit didapatkan dari kelas virtual. Di dalam majelis, proses belajar menjadi lebih hidup dan bermakna.
Transfer Adab dan Keteladanan Langsung
Saat mengaji tatap muka, seorang murid melihat gurunya. Ia melihat cara guru memegang Al-Quran. Ia mendengar intonasi guru saat berbicara. Ia merasakan suasana khusyuk dalam majelis. Semua ini adalah pelajaran tak tertulis. Pelajaran ini membentuk adab dan kerendahan hati.
Ustaz Ahmad Faris, seorang pengajar Al-Quran, menjelaskan pentingnya hal ini. Menurutnya, interaksi langsung adalah ruh dari pendidikan Islam.
“Tugas kami bukan hanya membetulkan makhraj dan tajwid. Tugas utama kami adalah menanamkan cinta pada Al-Quran. Cinta itu tumbuh melalui adab dan keteladanan. Murid melihat, meniru, dan akhirnya menginternalisasi nilai-nilai tersebut,” jelasnya.
Guru dapat memberikan koreksi seketika. Bukan hanya soal bacaan yang salah. Namun, juga tentang sikap yang kurang pas. Misalnya, cara duduk yang lebih sopan. Atau cara bertanya yang menunjukkan hormat. Sentuhan personal inilah yang membangun karakter secara perlahan tapi pasti.
Majelis Ilmu sebagai Laboratorium Sosial
Mengaji tatap muka biasanya berlangsung dalam sebuah kelompok atau majelis. Lingkungan ini berfungsi sebagai laboratorium sosial pertama bagi anak. Mereka belajar berinteraksi dengan teman sebaya. belajar menunggu giliran dengan sabar. belajar menghargai kemampuan orang lain.
Ketika seorang teman membuat kesalahan, mereka belajar untuk tidak mencela. Sebaliknya, mereka belajar untuk saling mendukung. Guru mengarahkan suasana agar tetap positif. Suasana kompetisi yang sehat pun tercipta. Semua berlomba-lomba menjadi lebih baik dalam kebaikan. Ini melatih empati dan kecerdasan sosial.
Ibu Rina, seorang orang tua murid, merasakan dampak positifnya. Ia melihat perubahan signifikan pada anaknya.
“Dulu anak saya mudah bosan dan tidak sabaran. Setelah rutin ikut mengaji di masjid, dia lebih tenang. Dia juga lebih hormat kepada orang yang lebih tua. Perubahan itu sangat nyata bagi kami di rumah,” ungkapnya.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa majelis ilmu membentuk disiplin. Anak belajar datang tepat waktu. Mereka belajar mengikuti aturan dalam majelis. Kebiasaan baik ini akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Membangun Fondasi Karakter yang Kokoh
Mengaji tatap muka menanamkan beberapa pilar karakter utama. Pertama adalah kedisiplinan. Murid harus konsisten hadir dan mempersiapkan pelajaran. Kedua adalah kesabaran. Mereka sabar mengulang-ulang ayat hingga lancar. Mereka juga sabar mendengarkan teman lain membaca.
Ketiga, dan yang terpenting, adalah kerendahan hati (tawadhu). Murid belajar menerima teguran dari guru. Mereka sadar bahwa selalu ada ruang untuk perbaikan. Sikap ini sangat penting untuk pertumbuhan pribadi. Mereka belajar bahwa ilmu harus diiringi dengan adab yang luhur.
Di era informasi yang serba cepat, godaan untuk merasa paling tahu sangat besar. Majelis ilmu mengajarkan sebaliknya. Semakin banyak belajar, semakin sadar akan kekurangan diri.
Oleh karena itu, mengaji tatap muka tetap relevan. Teknologi boleh menjadi alat bantu yang efisien. Namun, ia tidak dapat menggantikan sentuhan manusiawi. Ia tidak bisa menggantikan hikmah dari tatapan seorang guru. Proses ini adalah investasi jangka panjang. Investasi untuk melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas akal, tetapi juga mulia akhlaknya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
