Oleh : Sugie Rusyono
Ketahanan pangan kini menjadi jargon yang kerap terdengar, bahkan di forum resmi pemerintahan kini menjadi kalimat yang wajib di sampaikan. Pemerintahan Prabowo-Gibran memang sedang mengencarkan ketahanan pangan kepada masyarakat. Bahkan dana desa yang ada kini harus wajib mengalokasikan untuk ketahanan pangan.
Berbicara ketahanan pangan, sebenarnya masyarakat sudah pernah membiasakannya. Lumbung padi inilah yang menjadikan stok pangan khususnya beras bagi masyarakat desa.
Keberadaa lumbung padi nyaris tidak lagi dilihat di zaman sekarang, seolah tertelan oleh gaya modernisasi dan budaya individualis. Lumbung padi yang berfungsi sebagai lumbung pangan banyak yang tidak aktif atau mati sebab tidak lagi digunakan oleh masyarakat desa setempat.
Bangunan yang dulunya sebagai lumbung banyak yang sudah hilang atau beralih fungsi. Untuk itu agaknya saat ini upaya menghidupkan kembali system lumbung padi ditengah-tengah masyarakat merupakan suatu keharusan dan wajib.
Lumbung padi merupakan sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil panen padi masyarakat setempat. Setelah panen raya, masyarakat kemudian menyisihkan sebagian kecil hasil panennya untuk disimpan dalam lumbung-lumbung pada yang telah disediakan di desa tersebut.
Hal itu dilakukan agar, masyarakat desa terhindar dari kelaparan atau kekurangan pangan pada saat musim kemarau atau lainnya, atau ketika gagal panen dan bencana yang terjadi. Sehingga warga bisa memanfaatkan padi yang ada di lumbung untuk kepentingan bersama.
Bukan Hanya Ketahanan Pangan
Namun kini, keberadaan sistem lumbung pangan tersebut agaknya sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat perdesaan. Padahal esensi dan pesan yang disampaikan secara tidak langsung dari lumbung padi sangatlah baik. Tidak hanya pesan soal ekonomi, tetapi juga pesan tentang moral, kebersamaan, kemanusiaan dan kegotong royang dalam prilaku kehidupan masyarakat pedesaan.
Lumbung padi bukan hanya sekedar bentuk ketahanan pangan, tetapi juga ada makna lainnya yang bisa dijadikan teladan bagi masyarakat, antara lain :
Pertama, Memperkuat ketahanan pangan masyarakat, Bukan tanpa alasan, dengan semakin banyaknya masyarakat (petani) menyimpan hasil panennya di lumbung, maka stok pangan didesa tersebut akan melimpah. Jika terjadi bencana maka akan dengan mudah memperoleh kebutuhan pokok tersebut.
Saat panen bagi petani yang panen 2-3 kali, akan menjual semua hasil panennya kepada tengkulak. Akibatnya petani tidak memiliki stok gabah sebab sudah dijual semua.
Bukan hanya soal itu saja, selalu melonjaknya harga beras seakan menjadi ironi bagi para petani, jerih payahnya tidak sebanding dengan hasilnya. Petani terpaksa harus membeli beras dengan harga mahal padahal dia sendiri yang menghasilkan.
Kedua, Memupuk rasa kebersamaan dan Solidaritas Sosial, sudah jelas dengan semakin banyaknya petani yang merelakan hasil panennya untuk disimpan, secara otomatis muncul rasa solidaritas diantara mereka. Bahwa hal itu dilakukan adalah untuk kepentingan bersama dan kebaikan bersama diantara mereka.
Kearifan Lokal
Sama-sama saling menguntungkan satu sama lain dengan tujuan yang sama pula. Lamban laun maka budaya masyarakat yang dahulu hidup akan tumbuh kembali. Dimana masyarakat desa yang hidup saling tolong menolong dan penuh nuansa kekerabatan.
Belum lagi ada budaya di beberapa desa yang menyimpan sendiri gabah hasil panenya. Petani tidak menjualnya, gabah disimpan dan digunakan untuk hidup selama satu tahun. Hasil panen yang disimpan sebagai persediaan jika membutuhkan uang baru kemudian di jualnya untuk kebutuhan hidup.
Menyimpan gabah untuk persediaan pangan merupakan bagian dari tradisi kearifan lokal masyarakat sejak dulu. Dari masyarakat dan untuk masyarakat, menjadi bentuk sosiologis yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat. ***
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

