SURAU.CO. Kota Solo menyimpan warisan lebih dari sekadar keraton yang megah. Ternyata dalam sejarah pendidikan Islam, kota ini juga menjadi pusat pendidikan Islam sejak masa lampau. Salah satu buktinya adalah Madrasah Mambaul Ulum. Lembaga ini sangat legendaris di Nusantara menjadi pelopor pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam Indonesia.
Sejarah mencatat pendirian madrasah ini pada 23 Juli 1905 atas gagasan Pakubuwono X dari Keraton Surakarta. Lalu R. Hadipati Sosro Diningrat dan Raden Penghulu Tafsir Anom mengeksekusi gagasan tersebut menjadi sebuah madrasah banyak tokoh yang berperan dalam perkembangan Indonesia. Mereka mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang visioner pada masanya.
Simbol Perlawanan Paku Buwana X
Peran Paku Buwana X sangatlah krusial. Berdirinya Mambaul Ulum pada 1905 tidak lepas dari keberaniannya. Bagaimana tidak, saat itu pemerintah Hindia Belanda melarang keras pengajaran agama Islam. Aturan tersebut tertuang dalam Staatblad van Nederland-Indie 1893 jelas membatasi sekolah pemerintah maupun swasta. Pendirian Mambaul Ulum menjadi sebuah langkah perlawanan cerdas. Tundjung W. Sutirto menulis sebuah buku Refleksi Hari Kebangkitan Nasional: PB X Layak Mendapat Gelar Pahlawan Nasional menyebut bahwa, “madrasah Mambaul Ulum adalah simbol perlawanan jihad Paku Buwana X terhadap Belanda”. Awalnya, Paku Buwana X membangun madrasah ini untuk tujuan spesifik. Ia ingin mendidik anak-anak dari lingkungan keraton. Mereka adalah para sentana dalem, abdi dalem, serta kawula dalem.
Mambaul Ulum menjadi lembaga pendidikan Islam formal tertua di Kasunanan Surakarta. Saat itu, lembaga pendidikan lain umumnya berbentuk pesantren. Nama “Mambaul Ulum” sendiri memiliki arti yang dalam. Nama itu berarti “Sumber Ilmu Pengetahuan”. Para pendiri berharap besar dari nama tersebut. Filosofinya sangat indah. “Siapa yang haus akan ilmu pengetahuan hendaklah minum air sumber ilmu pengetahuan dalam Mamba’ul ‘ulum.” Harapan ini menjadi semangat bagi para siswanya. Madrasah ini resmi berdiri pada 20 Jumadil Awal 1835 (Tahun Jawa). Tanggal ini bertepatan dengan 23 Juli 1905.
Kurikulum Modern yang Melampaui Zaman
Pembangunan gedung fisiknya memakan waktu cukup lama. Pada masa awal (1905-1915), madrasah menghadapi banyak tantangan. Mereka belum punya gedung permanen. Sarana dan prasarana juga masih sangat terbatas. Namun, sistem pendidikannya terus berkembang. Gedung baru selesai dan diresmikan pada 20 Februari 1915. Saat pertama kali dibuka, jumlah muridnya mencapai 448 siswa. Mereka datang dari berbagai latar belakang. Termasuk anak-anak abdi dalem pamutihan, khatib, ulama, dan masyarakat umum. Madrasah ini tumbuh di bawah pengawasan ketat pemerintah kolonial. Namun, semangatnya tidak pernah padam. Mambaul Ulum berhasil memenuhi kebutuhan pendidikan rakyat. Pemerintah Belanda saat itu menerapkan kebijakan diskriminatif. Mereka membatasi akses pendidikan bagi pribumi.
Awalnya, Mambaul Ulum mengadopsi sistem pendidikan pesantren. Seiring waktu, sistemnya berubah menjadi klasikal dengan unit-unit kelas. Kurikulumnya menjadi terobosan besar. Madrasah ini memadukan ilmu agama dengan ilmu umum. Para siswa tidak hanya belajar membaca dan menghafal Al-Quran. Mereka juga mempelajari kitab Safinah dan Ummul Barahim. Pelajaran agama lainnya disampaikan dalam bahasa Arab. Termasuk Ilmu Falak, aljabar, dan ilmu mantik (logika).
Di sisi lain, siswa juga mendapat pelajaran umum. Materinya mencakup percakapan Bahasa Belanda, berhitung, dan menulis. Ada juga pelajaran ilmu bumi, sejarah, ilmu alam, dan olahraga. Karena kurikulum modern ini, Mambaul Ulum dijuluki “sekolah pastor tinggi”. Lembaga ini menjadi pelopor pendidikan modern di Indonesia.
Mencetak Kader Ulama dan Pejabat
Mambaul Ulum memiliki dua tujuan utama yang jelas. Pertama, menjadi lembaga pendidikan untuk calon pegawai kepenghuluan. Kedua, menjadi tempat mencetak kader guru, mubalig, dan aktivis Islam. Untuk mencapai tujuan itu, mereka membuat kelas khusus. Sistem pendidikannya berlangsung selama 12 tahun. Siswa kelas VI disiapkan untuk magang sebagai pejabat agama desa. Lulusan kelas IX diarahkan untuk magang di kantor urusan agama kecamatan. Sementara itu, lulusan kelas XI bisa magang sebagai penghulu kabupaten.
Keberadaan madrasah ini tidak bisa dipisahkan dari Pondok Pesantren Jamsaren. Banyak siswa Mambaul Ulum yang juga belajar di Jamsaren. Bahkan, pendiri Pesantren Jamsaren, K.H. Idris, ikut mengelola Mambaul Ulum. Kepemimpinan madrasah silih berganti di tangan para ulama besar. Awalnya, Kiai Arfah memimpin lembaga ini. Pada 1918, K.H. Muhammad Adnan menggantikannya setelah pulang dari Mekah. Kemudian, K.H. Jumhur memimpin dari 1919 hingga 1946. Setelah itu, kepemimpinan dilanjutkan oleh K.H. A. Jalil Zamakhsyari. Pada masa kejayaannya, madrasah ini memiliki 700 murid. Tenaga pengajarnya terdiri dari 18 orang. Mereka terbagi menjadi 10 guru senior (mualim) dan 8 guru muda (mudaris).
Warisan dan Tokoh Besar yang Abadi
Warisan terbesarnya adalah para alumni yang hebat. Hampir 50 persen pejabat penghulu di Jawa dan Madura pada era Jepang adalah lulusan Mambaul Ulum. Banyak tokoh bangsa lahir dari madrasah ini. Beberapa di antaranya adalah Menteri Agama RI seperti K.H. Masykur, K.H. Syaifuddin Zuhri, dan Dr. Munawir Syadzali. Nama besar lain seperti K.H. Syukri Ghazali dan Prof. Ahmad Baiquni juga merupakan alumninya. Kini, semangat Mambaul Ulum terus hidup. Madrasah legendaris ini telah bertransformasi. Ia Madrasah mambaul Ulum menjelma sebagai Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Surakarta.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
