Opinion
Beranda » Berita » “Brain Rot”: Ketika Gawai Menggerogoti Nalar dan Jiwa Kita

“Brain Rot”: Ketika Gawai Menggerogoti Nalar dan Jiwa Kita

“Brain Rot”: Ketika Gawai Menggerogoti Nalar dan Jiwa Kita

“Brain Rot”: Ketika Gawai Menggerogoti Nalar dan Jiwa Kita.

 

 

“Brain rot” atau pembusukan otak adalah istilah yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di berbagai forum pendidikan, psikologi, bahkan dakwah. Istilah ini menggambarkan fenomena menurunnya kemampuan berpikir manusia akibat paparan berlebihan terhadap konten digital dangkal, terutama dari media sosial melalui gawai. Artikel dalam gambar di atas memberikan refleksi penting tentang bahaya yang sedang mengintai generasi muda—bahkan semua kalangan—jika tidak mengelola interaksi dengan teknologi secara bijak.

Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk menjaga seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang merusak, termasuk akal dan pikiran. Rasulullah ﷺ bersabda:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

> “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kita semua adalah pemimpin atas diri kita sendiri, atas anak-anak kita, dan atas masa depan peradaban. Maka, memahami dan mengantisipasi fenomena brain rot bukan sekadar tugas akademik atau psikologis, tapi juga tanggung jawab keagamaan.

Bahaya Brain Rot: Ketika Otak Tak Lagi Sehat

Dalam artikel, dijelaskan bahwa konten media sosial yang dangkal, sensasional, remeh, dan penuh hiburan kosong secara perlahan melemahkan fungsi otak. Seseorang menjadi sulit fokus, kehilangan konsentrasi, cepat lelah berpikir kritis, dan malas menganalisis persoalan secara mendalam. Semua ini adalah gejala nyata dari turunnya kualitas daya pikir atau nalar manusia.

Islam menekankan pentingnya menggunakan akal secara optimal. Allah ﷻ banyak menyindir kaum yang tidak menggunakan akal mereka:

> “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)… mereka seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.” (QS. Al-A’raf: 179)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Ayat ini memberikan teguran keras kepada mereka yang hidup tanpa kesadaran intelektual dan spiritual. Jika akal tidak difungsikan dengan baik, maka manusia bisa kehilangan arah hidup dan menjadi hamba dari hawa nafsunya, termasuk ketagihan digital.

Kecanduan Gawai dan Dampaknya

Gejala brain rot bukan hanya berupa penurunan daya pikir. Artikel juga menyinggung berbagai efek buruk lainnya, seperti sulit lepas dari layar ponsel, kurang interaksi sosial, insomnia, stres, hingga depresi. Tak jarang juga menyebabkan gangguan mental yang lebih berat, terutama pada generasi muda yang belum memiliki kontrol diri yang baik.

Dalam Islam, menjaga kesehatan jiwa dan tubuh adalah kewajiban. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

> “Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu…” (HR. Bukhari)

Maka ketika tubuh kita, terutama otak dan pikiran, dirusak oleh kecanduan gawai dan konten digital beracun, sejatinya kita sedang menyia-nyiakan amanah Allah. Otak yang mestinya digunakan untuk tafakur dan memahami ayat-ayat kauniyah dan syar’iyyah, kini malah rusak oleh informasi dangkal yang terus-menerus diserap tanpa filter.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Krisis Literasi Digital dan Tanggung Jawab Bersama

Artikel ini dengan tepat menyoroti bahwa literasi digital di kalangan anak muda masih minim. Di sinilah peran besar keluarga, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan negara menjadi sangat penting. Para orang tua harus hadir dalam kehidupan digital anak-anaknya, bukan membiarkan gawai menjadi “orang tua kedua” yang mengasuh mereka.

Pemerintah dan dunia pendidikan juga dituntut untuk lebih tegas dalam mengatur penggunaan teknologi, misalnya dengan membatasi akses anak-anak terhadap media sosial, sebagaimana dilakukan di beberapa negara seperti Australia, Jerman, dan Italia.

Lebih dari itu, para dai, ustadz, dan aktivis dakwah digital juga memiliki peran strategis. Kita harus hadir di dunia maya dengan membawa pencerahan, bukan justru ikut menyebarkan konten hiburan kosong yang hanya menambah kerusakan nalar umat.

Solusi Islamik: Menjaga Akal dan Jiwa

Akal adalah salah satu anugerah terbesar yang membedakan manusia dari makhluk lain. Dalam Islam, menjaga akal (hifzh al-‘aql) merupakan salah satu dari lima tujuan utama syariat (maqāṣid al-syarī‘ah). Maka menjaga diri dari segala hal yang merusak akal, termasuk kecanduan digital, adalah bagian dari ibadah.

  1. Membiasakan Aktivitas Bernilai Tinggi

Kegiatan seperti membaca Al-Qur’an, tadabbur ayat-ayat Allah, membaca buku ilmiah, atau mendengarkan ceramah bermanfaat sangat membantu menjaga ketajaman akal. Juga, melibatkan diri dalam diskusi sehat dan bermain permainan yang mengasah logika (seperti catur atau teka-teki) dapat menjadi latihan otak yang menyenangkan.

  1. Mengatur Waktu Penggunaan Gawai

Islam sangat menekankan manajemen waktu. “Dua nikmat yang sering dilupakan manusia,” kata Rasulullah ﷺ, “adalah kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)

Maka, buatlah jadwal penggunaan gawai, hindari penggunaannya menjelang tidur, dan batasi interaksi dengan media sosial. Alihkan waktu tersebut untuk aktivitas fisik di luar ruangan, olahraga, atau sekadar berbincang hangat dengan keluarga.

  1. Memproduksi Konten yang Mendidik

Bagi para pengguna aktif media sosial, hendaknya lebih bijak dalam membuat dan menyebarkan konten. Gunakan platform digital sebagai sarana dakwah dan edukasi. Buat video pendek, artikel, atau kutipan yang mencerahkan dan mengajak kepada amal saleh. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pelakunya.” (HR. Muslim)

Menjaga Otak, Menjaga Peradaban

Artikel ini ditutup dengan pernyataan yang sangat kuat: “Menjaga otak yang sehat pada satu generasi bakal menjamin keberlanjutan peradaban kita berikutnya.” Ini bukan sekadar pernyataan retoris, tetapi kenyataan yang bisa dibuktikan dalam sejarah Islam. Peradaban Islam bisa jaya karena masyarakatnya memiliki daya pikir yang tinggi, semangat menuntut ilmu yang kuat, dan kesadaran spiritual yang kokoh.

Bayangkan jika generasi Muslim hari ini kehilangan daya nalar, malas berpikir, hanya mengejar hiburan digital, dan tak sanggup membedakan informasi benar atau hoaks—maka siapa yang akan meneruskan estafet peradaban Islam?

Penutup

Fenomena “brain rot” adalah peringatan keras bagi kita semua. Dunia digital memang membawa kemudahan, tapi jika tidak digunakan secara bijak, ia bisa menjadi pisau bermata dua yang merusak akal, jiwa, bahkan masa depan umat.

Sudah saatnya kita kembali pada prinsip Islam dalam menjaga akal: menuntut ilmu, membatasi yang sia-sia, memperbanyak zikir dan tafakur, serta membina keluarga yang melek digital secara sehat. Dengan demikian, kita tidak hanya menyelamatkan diri dari pembusukan otak, tapi juga turut menjaga kejernihan hati, ketenangan jiwa, dan kelangsungan peradaban Islam yang gemilang.

> “Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Ṭāhā: 114).  (Tengku Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement