Surau.co – Hujan deras mengguyur wilayah Jabodetabek dalam dua hari terakhir. Seperti biasa, dalam hitungan jam, genangan air mulai memenuhi jalanan. Sebagian air bahkan masuk ke rumah-rumah dan berbagai fasilitas umum lainnya di kawasan Jabodetabek.
Banjir di kawasan ini memang kerap terjadi. Setiap tahun, momen itu selalu datang. Saya sendiri kerap mengalaminya langsung sejak tinggal di sana sejak 2015. Dan seperti biasa, banjir Jabodetabek sangat cepat membanjiri media sosial. Perdebatan pun muncul. Bukan hanya dari perspektif politik, tetapi juga agama.
Takdir Allah atau Ulah Manusia?
Dalam konteks itu, pertanyaan yang sama terus menggantung di kepala banyak orang: apakah ini takdir dari langit, atau hasil perbuatan tangan manusia?
Sebagian orang, khususnya yang religius, meyakini bahwa banjir merupakan takdir Allah, baik sebagai ujian hidup maupun azab bagi umat yang melalaikan agama. Pemahaman ini tidak sepenuhnya keliru, karena dalam Al-Qur’an, Allah memang menyebut musibah sebagai bagian dari kehendak-Nya.
Firman itu tertuang dalam Al Quran Surat At-Taghabun ayat 11:
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah…”
Namun, semestinya kita tidak memahami keyakinan ini sebagai satu-satunya faktor. Dalam ayat lain, Allah juga menjelaskan bahwa ketidakseimbangan alam, termasuk kerusakan merupakan akibat dari perbuatan manusia. Hal itu sebagaimana tertulis dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 41:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…”
Dengan dua ayat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa takdir bukanlah satu-satunya penyebab bencana banjir. Sebab, manusia juga turut mendorong terjadinya banjir. Misalnya, mereka menebangi hutan, membuang sampah sembarangan, dan melakukan tindakan serupa lainnya. Merujuk pada ucapan Prof. Dr. Alimatul Qibtiyah, tokoh perempuan Muhammadiyah sekaligus dosen saya di UIN Sunan Kalijaga, takdir berada di ujung ikhtiar.
Faktor Manusia Sangat Kuat
Allah menciptakan alam dengan sistem yang seimbang. Tetapi manusia sering kali merusak keseimbangan itu. Mengutip Laman Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mereka menyebut bahwa penyebab banjir bukan semata-mata kondisi alam atau takdir. Banyak tindakan manusia justru memicu banjir. Misalnya, mereka membuang sampah di jalanan atau menumpuknya di sungai, sehingga potensi banjir meningkat.
Sistem drainase yang buruk juga membuat air tergenang karena tidak bisa mengalir dengan baik. Dalam perspektif kebijakan negara, pembangunan yang tidak memperhitungkan sistem peresapan air akan mempercepat peningkatan debit air saat hujan. Penebangan liar di kawasan hulu juga membuat air hujan kehilangan tempat serapan, yang akhirnya menimbulkan banjir.
Di Jabodetabek, banyak kawasan resapan air sudah berubah menjadi mal dan apartemen. Pemukiman menyempitkan sungai, dan sampah terus menumpuk karena pengelolaan yang buruk. Maka saat hujan deras turun, air pun kehilangan jalur alirannya.
Situasi seperti ini jelas bukan takdir semata, melainkan akumulasi dari kesalahan yang kita lakukan sendiri. Kesalahan yang akhirnya mendapat teguran dari alam.
Takdir Bisa Diubah
Bahkan jika seseorang ngeyel menganggap banjir sebagai takdir, dalam perspektif Islam, takdir bukan sesuatu yang mutlak. Ada jenis-jenis takdir tertentu yang bisa manusia ubah melalui ikhtiar dan doa. Termasuk dalam kasus bencana seperti banjir.
Janji itu disampaikan Allah dalam Al-Quran Surat Ar-Ra’d ayat 11:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
Dengan kata lain, Allah memang menetapkan takdir, tapi manusia diberi kebebasan untuk mengubahnya lewat usaha. Kita bisa meminimalisasi banjir jika kita membuat kebijakan yang tepat dan mencegah faktor-faktor penyebabnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
