Khazanah
Beranda » Berita » Membedah Makna dan Konteks Isbal dalam Berpakaian

Membedah Makna dan Konteks Isbal dalam Berpakaian

Benarkah celana yang melebihi mata kaki bisa jadi dosa?

SURAU.CO – Fenomena celana di atas mata kaki sering menjadi perbincangan. Sebagian orang mengaitkannya dengan praktik keagamaan tertentu. Istilah yang populer untuk ini adalah isbal. Namun, banyak orang belum memahami secara utuh persoalan ini. Oleh karena itu, penting untuk mendalami konteks isbal dalam berpakaian agar tidak salah kaprah.

Isbal secara harfiah berarti menurunkan atau memanjangkan pakaian. Dalam terminologi syariat, isbal merujuk pada praktik memanjangkan pakaian hingga menutupi mata kaki. Praktik ini khusus berlaku untuk laki-laki. Larangan ini berakar kuat pada beberapa hadis Nabi Muhammad SAW.

Akan tetapi, pemahaman terhadap hadis-hadis tersebut memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini krusial untuk dipahami. Sebab, ia menentukan bagaimana seorang Muslim menyikapi persoalan isbal di zaman modern.

Akar Larangan Isbal: Hadis dan Konteks Sejarah

Pada masa lalu, memanjangkan pakaian merupakan simbol status sosial. Para bangsawan dan orang kaya sengaja melakukannya. Mereka ingin menunjukkan kemewahan dan keangkuhan mereka. Pakaian yang menjuntai ke tanah menandakan mereka tidak perlu bekerja kasar.

Konteks kesombongan inilah yang menjadi inti larangan. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Beliau menyebutkan tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat. Salah satunya adalah “al-musbil,” yaitu orang yang melakukan isbal pada kainnya.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Hadis ini terdengar sangat tegas. Karenanya, sebagian ulama berpendapat larangan isbal bersifat mutlak. Menurut pandangan ini, memanjangkan pakaian di bawah mata kaki tetap dilarang. Baik itu dilakukan dengan niat sombong maupun tanpa niat sombong. Mereka berpegang pada teks harfiah hadis tersebut.

Perbedaan Sudut Pandang: Antara Larangan Mutlak dan Bersyarat

Di sisi lain, mayoritas ulama memberikan pandangan yang berbeda. Mereka melihat larangan isbal tidak bisa dilepaskan dari ‘illah atau sebabnya, yaitu kesombongan (khuyala). Mereka berpendapat, jika isbal tidak disertai rasa sombong, maka hukumnya tidak sampai haram. Hukumnya bisa menjadi makruh atau tidak disukai.

Pandangan ini didukung oleh hadis lain yang sangat terkenal. Hadis ini menceritakan dialog antara Rasulullah SAW dengan sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Abu Bakar berkata,

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu sisi kainku sering melorot, kecuali jika aku benar-benar menjaganya.”

Riyadus Shalihin: Antidot Ampuh Mengobati Fenomena Sick Society di Era Modern

Kemudian Rasulullah SAW menjawab,

“Engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong.” (HR. Bukhari)

Dialog ini menjadi bukti kuat bagi banyak ulama. Mereka menyimpulkan bahwa titik berat larangan terletak pada niat di dalam hati. Selama seseorang tidak berniat angkuh, isbal karena kebiasaan atau model pakaian tidak termasuk dalam ancaman keras. Imam Nawawi dan Imam Syafi’i termasuk ulama yang mendukung pandangan ini. Mereka menjelaskan bahwa hukumnya menjadi haram jika ada niat sombong.

Relevansi Isbal di Era Modern

Lalu, bagaimana kita menerapkan pemahaman ini sekarang? Di zaman modern, celana panjang di bawah mata kaki adalah model standar. Hampir semua pria mengenakannya tanpa niat pamer kekayaan. Ini sudah menjadi mode atau kebiasaan umum di masyarakat global.

Dengan demikian, menerapkan pandangan kedua menjadi lebih relevan bagi banyak orang. Kuncinya kembali pada niat masing-masing individu. Seseorang harus jujur pada hatinya sendiri. Apakah ia mengenakan pakaian panjang karena kebiasaan? Ataukah ada sedikit rasa bangga dan angkuh di dalamnya?

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Meskipun demikian, menjauhi isbal tetap dianggap sebagai keutamaan. Mengangkat pakaian sedikit di atas mata kaki merupakan bentuk kehati-hatian. Cara ini memastikan seseorang keluar dari ranah perdebatan ulama (khilafiyah). Selain itu, praktik ini juga meneladani penampilan Rasulullah SAW secara lahiriah.

Kesimpulan: Menuju Sikap Saling Menghargai

Pada akhirnya, memahami konteks isbal dalam berpakaian membuka wawasan kita. Persoalan ini bukanlah sekadar hitam-putih. Ada dimensi sejarah, niat, dan perbedaan penafsiran yang kaya. Larangan isbal pada dasarnya bertujuan untuk memberantas sifat sombong.

Oleh karena itu, sikap yang bijak adalah menghargai setiap pandangan. Baik mereka yang memilih untuk tidak isbal sebagai bentuk ketaatan. Maupun mereka yang memanjangkan pakaiannya tanpa niat sombong. Fokus utama seharusnya pada esensi ajaran, yaitu menjaga hati dari kesombongan. Sikap saling menghormati dalam perbedaan pendapat fikih justru mencerminkan kedewasaan dalam beragama.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement