SURAU.CO – Di tengah derasnya arus digitalisasi, kita sering kali terjebak dalam anggapan bahwa semua yang modern pasti lebih unggul. Aplikasi belajar kini tersedia dalam genggaman, menjanjikan kemudahan dan akses tanpa batas. Namun, dalam konteks pendidikan Al-Qur’an, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah akurasi makharijul huruf bisa benar-benar dikuasai hanya dari layar? Mampukah sebuah aplikasi menanamkan adab dan rasa hormat seperti yang dicontohkan langsung oleh seorang guru?
Jawabannya terletak pada kearifan metode tradisional seperti Iqra dan Turutan. Jauh sebelum gawai menjadi bagian dari hidup kita, kedua metode ini telah terbukti efektif membentuk jutaan generasi Qur’ani. Kekuatan utama mereka tidak terletak pada teknis membaca semata, melainkan pada interaksi manusiawi yang hangat, bimbingan personal yang penuh kesabaran, dan proses pembentukan karakter yang terjadi secara alami saat murid duduk berhadapan dengan gurunya.
Memahami Dua Pilar Literasi Qur’an di Indonesia
Untuk memahami mengapa kedua metode ini begitu istimewa, kita perlu mengenal karakter masing-masing. Iqra dan Turutan adalah dua aliran besar yang telah mengukir sejarah literasi Al-Qur’an di nusantara.
1. Turutan: Jejak Tradisi Keilmuan yang Sabar dan Mendalam
Metode Turutan adalah cara klasik yang mengajarkan kita untuk bersabar. Prosesnya yang runut, dimulai dari surat-surat pendek di Juz Amma hingga akhirnya mampu memegang mushaf utuh, adalah sebuah perjalanan spiritual. Dengan metode ini, seorang anak tidak hanya belajar huruf, tetapi juga belajar menghormati proses. Ia belajar disiplin, menanti giliran dengan tertib, dan meresapi setiap ayat secara perlahan. Turutan adalah cerminan budaya masyarakat Indonesia yang komunal, menghargai senioritas ilmu, dan menempatkan guru sebagai perantara berkah.
2. Iqra: Revolusi Literasi yang Sistematis dan Efektif
Di sisi lain, metode Iqra hadir sebagai sebuah revolusi. Diperkenalkan oleh K.H. As’ad Humam dari Yogyakarta pada awal 1990-an, Iqra menjawab kebutuhan zaman akan cara belajar yang lebih cepat dan sistematis. Metode ini secara cerdas mengubah pola pengajaran dari berpusat pada guru (teacher-centric) menjadi berpusat pada santri (student-centric). Melalui pendekatan ini, santri didorong untuk aktif membaca dan mencoba, sementara guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing dan mengoreksi. Keberhasilannya yang fenomenal menjadikan Iqra sebagai fondasi bagi banyak inovasi, termasuk aplikasi digital yang kita kenal hari ini.
Mengapa Tatap Muka Adalah Jiwa dari Pendidikan Al-Qur’an?
Baik Iqra maupun Turutan, keduanya memiliki satu benang merah yang sama: ketergantungan pada interaksi tatap muka. Inilah ruh yang membuatnya tak tergantikan oleh teknologi secanggih apa pun.
Pertama, Talaqqi dan Musyafahah adalah Warisan Kenabian.
Pendidikan Al-Qur’an pada hakikatnya adalah transmisi ilmu dari hati ke hati, dari lisan ke lisan. Rasulullah SAW sendiri menerima wahyu Al-Qur’an secara langsung dari Malaikat Jibril dalam proses yang dikenal sebagai talaqqi (menerima) dan musyafahah (dari mulut ke mulut). Selanjutnya, beliau mengajarkannya kepada para sahabat dengan cara yang sama. Para sahabat duduk melingkar, menyimak, meniru, dan mendapatkan koreksi langsung dari lisan mulia Nabi. Oleh karena itu, belajar Al-Qur’an secara langsung di hadapan guru bukan sekadar metode, melainkan upaya kita untuk menyambungkan sanad keilmuan hingga kepada Rasulullah SAW.
Kedua, Adab dan Akhlak Tidak Diajarkan, Melainkan Diteladankan.
Sebuah aplikasi mungkin bisa mengoreksi panjang pendek bacaan, tetapi ia tidak bisa mengajarkan cara memegang mushaf dengan hormat. Ia tidak bisa mencontohkan bagaimana cara duduk yang sopan di hadapan Al-Qur’an. Nilai-nilai adab ini hanya bisa diserap melalui keteladanan langsung. Saat seorang anak melihat gurunya berwudhu sebelum menyentuh Al-Qur’an, atau saat ia merasakan kesabaran gurunya mengoreksi kesalahan yang sama berulang kali, saat itulah karakter dan kecintaannya pada ilmu mulai terbentuk.
Mengangkat Iqra dan Turutan sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Melihat perannya yang begitu mendalam, kita harus mulai memandang Iqra dan Turutan lebih dari sekadar metode. Keduanya adalah Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage) milik bangsa Indonesia. Menurut UNESCO, warisan dalam kategori ini mencakup tradisi lisan, praktik sosial, dan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi serta memberikan rasa identitas pada suatu komunitas.
Lalu, mengapa Iqra dan Turutan memenuhi kriteria ini?
-
Ia memiliki fungsi sosial yang kuat. Di setiap sudut kampung, kegiatan mengaji dengan metode ini telah membangun ikatan komunitas, memperkuat kohesi sosial, dan menjadi pusat kegiatan keislaman.
-
Ia membawa sistem nilai yang kaya. Melalui proses belajar, nilai-nilai seperti kesabaran, disiplin, hormat kepada guru, dan cinta pada ilmu ditanamkan secara inheren.
-
Ia memiliki makna spiritual yang mendalam. Bagi jutaan Muslim Indonesia, Iqra dan Turutan adalah gerbang pertama mereka dalam membangun hubungan personal dengan Kitab Suci.
Dengan demikian, melestarikan kedua metode ini bukan lagi sekadar urusan teknis pendidikan, melainkan sebuah upaya sadar untuk merawat jati diri dan peradaban bangsa.
Inovasi yang Menghormati Akar, Bukan Mencabutnya
Lantas, apakah kita harus menolak modernisasi? Tentu saja tidak. Tantangannya adalah bagaimana kita berinovasi secara bijak tanpa kehilangan jiwa dari tradisi itu sendiri. Digitalisasi seharusnya tidak bertujuan menggantikan guru, melainkan harus berfungsi sebagai asisten yang memperkuat peran guru.
Beberapa langkah inovatif yang dapat kita terapkan antara lain:
-
Mengembangkan Aplikasi Pendamping. Kita bisa menciptakan aplikasi berbasis Iqra dan Turutan yang dilengkapi fitur video call dengan guru. Anak bisa berlatih mandiri, namun tetap memiliki sesi bimbingan langsung untuk validasi dan koreksi mendalam.
-
Menyelenggarakan Kelas Turutan Daring. Melalui platform live streaming, seorang guru bisa menjangkau murid di berbagai lokasi. Namun, kuncinya adalah tetap menyediakan sistem umpan balik real-time, di mana murid bisa bertanya dan mendapatkan koreksi langsung.
-
Membangun Forum Konsultasi Tajwid. Membuat sebuah platform daring di mana orang tua dan murid bisa berkonsultasi langsung dengan para ahli tajwid untuk memecahkan kesulitan belajar tertentu.
Pada intinya, teknologi kita gunakan untuk memperluas jangkauan dan memperkaya materi, sementara sentuhan manusiawi dari seorang guru tetap menjadi pusat dari proses pembelajaran.
Kunci Sukses: Membangun Ekosistem Pendidikan yang Holistik
Metode sehebat apa pun tidak akan berjalan efektif tanpa ekosistem yang mendukung. Untuk merevitalisasi Iqra dan Turutan di era ini, kita perlu secara aktif membangun tiga pilar utama:
-
Memberikan Pelatihan Berkelanjutan bagi Guru. Guru perlu kita bekali tidak hanya dengan penguasaan metode, tetapi juga dengan pemahaman psikologi anak dan cara memanfaatkan teknologi secara efektif.
-
Melibatkan Orang Tua sebagai Mitra Strategis. Kita harus secara proaktif mengedukasi orang tua bahwa peran mereka dalam mendampingi dan memberikan motivasi di rumah adalah faktor penentu keberhasilan.
-
Menggunakan Media Visual dan Evaluasi yang Memotivasi. Manfaatkan alat bantu visual untuk membuat pembelajaran lebih menarik dan terapkan sistem evaluasi harian atau mingguan yang fokus pada apresiasi kemajuan, bukan sekadar mencari kesalahan.
Kesimpulan: Merawat Api Warisan untuk Generasi Mendatang
Iqra dan Turutan bukanlah sekadar alat atau metode. Keduanya adalah jembatan yang menghubungkan ilmu, iman, dan budaya bangsa. Generasi hari ini mungkin tumbuh di tengah kepungan gawai, namun fondasi spiritual dan karakter mereka tetap harus kita bangun melalui metode yang telah teruji oleh waktu dan terbukti menanamkan nilai-nilai luhur.
Tugas besar kita bersama bukanlah sekadar mengajarkan, tetapi juga merawat dan mengembangkan warisan berharga ini. Kita perlu menjaga apinya agar terus menyala terang, bukan hanya menyembah abunya yang dingin. Dengan cara inilah, kita memastikan bahwa cahaya Al-Qur’an akan terus relevan dan menerangi jalan bagi generasi-generasi yang akan datang, sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
