Belakangan ini, media sosial ramai kembali oleh tren Cleopatra. Riasan mata yang khas, busana glamor, dan aura misterius ratu Mesir ini menjadi inspirasi banyak orang. Pesonanya seakan tak lekang oleh waktu. Namun, di balik tren ini, muncul pertanyaan yang lebih dalam. Siapa sebenarnya Cleopatra? Apakah ia pernah ada dalam Al-Qur’an? Dan bagaimana pandangan tentang Cleopatra dalam Islam?
Membedakan Dua Narasi: Cleopatra Versi Barat dan Islam
Dalam catatan sejarah Barat, Cleopatra VII adalah seorang figur yang sangat dikenal. Ia merupakan ratu terakhir dari Dinasti Ptolemeus. Ia memerintah Mesir Kuno pada periode 51–30 Sebelum Masehi (SM). Sejarah mengenangnya sebagai pemimpin yang cerdas secara politik. Ia juga terkenal karena hubungannya dengan dua jenderal Romawi, Julius Caesar dan Mark Antony. Citranya adalah perempuan kuat, karismatik, dan ahli strategi ulung.
Namun, jika kita mencari sosok Cleopatra dalam Islam, kita tidak akan menemukannya. Namanya tidak disebut secara eksplisit dalam Al-Qur’an maupun hadis. Alasannya sangat jelas jika dilihat dari linimasa sejarah. Periode hidup Cleopatra berada di antara dua zaman kenabian besar. Ia hidup jauh setelah era Nabi Musa AS dan sebelum kelahiran Nabi Isa AS. Karena itu, ia tidak memiliki kaitan langsung dengan kisah-kisah para nabi.
Meluruskan Mitos: Cleopatra Bukan Istri Firaun
Tren Cleopatra mengantarkan kesalahpahaman yang paling umum yakni menganggap Cleopatra sebagai istri Firaun. Banyak yang mengira dialah ratu yang menentang dakwah Nabi Musa AS. Ini adalah kekeliruan sejarah yang sangat besar. Mari kita luruskan faktanya.
-
Firaun di Zaman Nabi Musa: Diperkirakan hidup pada abad ke-13 SM, dari Dinasti Ramessid.
-
Cleopatra VII: Hidup pada abad ke-1 SM, dari Dinasti Ptolemeus yang berkuasa setelah penaklukan oleh Alexander Agung.
Ada jarak lebih dari seribu tahun di antara keduanya. Jadi, mustahil Cleopatra adalah istri Firaun yang ada dalam Al-Qur’an. Sosok istri Firaun yang sesungguhnya justru merupakan teladan iman yang agung. Ia adalah Asiyah binti Muzahim. Allah SWT mengabadikan doanya dalam Al-Qur’an sebagai contoh bagi orang-orang beriman.
“…Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga…”
(QS. At-Tahrim: 11)
Asiyah adalah simbol keteguhan iman di tengah lingkungan yang zalim. Sementara itu, Cleopatra adalah seorang ratu politikus yang hidup di era yang sama sekali berbeda.
Pandangan Sejarawan Muslim tentang Cleopatra
Meskipun Cleopatra dalam Islam bukan figur religius, beberapa sejarawan Muslim klasik tetap membahasnya. Sosok seperti Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya mengkaji berbagai peradaban. Dalam konteks ini, sejawaran banyak sejarawan mengakui Cleopatra sebagai figur historis. Cleopatra merupakan simbol kekuatan politik dan kecerdasan seorang perempuan penguasa.
Namun, para sejarawan ini seringkali membahasnya dengan catatan kritis. Kisahnya menjadi pelajaran tentang dinamika kekuasaan, strategi politik, dan terkadang sebagai contoh moralitas yang kompleks. Ia bukanlah figur yang beruhubungan dengan teladan akhlak dalam islam, melainkan sebagai studi kasus dalam sejarah peradaban.
Fokus Islam: Keteladanan Perempuan Berbasis Iman
Islam tidak membangun mitos tentang Cleopatra. Sebaliknya, Islam memberikan tempat yang sangat terhormat bagi tokoh-tokoh perempuan lain yang menjadi teladan abadi. Mereka dihormati bukan karena kekuasaan atau legenda romantismenya, melainkan karena iman, ilmu, dan kontribusinya.
-
Asiyah binti Muzahim: Teladan keimanan yang tak tergoyahkan oleh tirani.
-
Maryam binti Imran: Simbol kesucian, ketabahan, dan kepasrahan total kepada Allah.
-
Khadijah binti Khuwailid: Wanita pebisnis sukses, istri yang setia, dan orang pertama yang beriman kepada risalah Nabi Muhammad SAW.
-
Aisyah binti Abu Bakar: Seorang ulama perempuan yang cerdas, meriwayatkan ribuan hadis, dan menjadi rujukan ilmu bagi para sahabat.
Fokus Islam dalam sejarah perempuan sangat jelas. Nilai utama terletak pada ketakwaan, kontribusi positif, dan kekuatan karakter yang berlandaskan iman.
Dari Tren Kecantikan Menuju Keteladanan Hakiki
Meskipun Cleopatra dalam Islam tidak memiliki tempat khusus, tren yang mengangkat namanya bisa menjadi momentum positif. Ketertarikan publik pada sosok ratu Mesir ini dapat kita arahkan. Jadikan ini sebagai pintu untuk mengenalkan kembali siapa pahlawan perempuan sejati dalam sejarah Islam.
Mereka bukan hanya cantik atau berkuasa. Mereka adalah perempuan-perempuan hebat yang kekuatannya bersumber dari iman dan ilmu. Pada akhirnya, tren kecantikan datang dan pergi. Namun, keteladanan akhlak dan kekuatan iman adalah warisan yang abadi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
