Khazanah
Beranda » Berita » Membangun Interaksi dalam Metode Iqra dan Turutan di Era Digital

Membangun Interaksi dalam Metode Iqra dan Turutan di Era Digital

Ilustrasi Interaksi Pembelajaran Iqra dan Turutan

SURAU.CO – Di zaman ini, teknologi telah menyajikan kemudahan yang luar biasa. Hanya dengan beberapa ketukan di layar gawai, beragam aplikasi pembelajaran Al-Qur’an siap memandu anak-anak kita. Namun, di tengah kemudahan akses digital ini, sebuah pertanyaan mendasar muncul: apakah kilau layar mampu menggantikan kehangatan tatapan seorang guru? Apakah umpan balik instan dari sebuah aplikasi dapat menandingi sentuhan lembut yang membenarkan posisi bibir saat melafalkan huruf?

Dunia digital yang serba cepat sering kali menawarkan solusi instan, tetapi juga menciptakan jarak impersonal. Oleh karena itu, kita justru perlu berhenti sejenak dan meninjau kembali kekuatan metode tradisional seperti Iqra dan Turutan. Kekuatan utama metode-metode ini tidak hanya terletak pada kurikulumnya, tetapi pada esensi interaksi manusiawi yang membentuk adab, menanamkan empati, dan membangun karakter. Khususnya bagi anak-anak yang berada dalam fase emas pembentukan kepribadian, nilai-nilai ini tidak bisa ditawar lagi.

TPQ: Benteng Terakhir Pembentukan Karakter Qur’ani

Di tengah masyarakat, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) berdiri sebagai salah satu benteng pertahanan utama. Lembaga pendidikan non-formal ini memegang peran yang jauh lebih besar dari sekadar tempat belajar baca-tulis Al-Qur’an. TPQ adalah kawah candradimuka di mana anak-anak pertama kali mengenal adab terhadap guru, belajar sabar mengantre giliran mengaji, dan merasakan indahnya persahabatan dalam bingkai nilai-nilai keislaman.

Seperti yang ditekankan oleh Olevia Nia Saputri dkk. (2022) dalam jurnalnya, “TPQ merupakan sarana atau tempat bagi anak-anak untuk meningkatkan kualitas baca tulis Al-Qur’an.” Akan tetapi, jika kita gali lebih dalam, TPQ sejatinya adalah ekosistem yang menanamkan karakter. Di sanalah seorang anak belajar bahwa Al-Qur’an bukan sekadar teks, melainkan sumber akhlak yang harus tecermin dalam perilaku sehari-hari.

Permasalahan Nyata di Akar Rumput: Saat Metode Unggul Terbentur Realitas

Meskipun demikian, cita-cita luhur TPQ sering kali berhadapan dengan tantangan berat di lapangan. Sebuah studi kasus yang mendalam di empat TPQ di Desa Paron, Kabupaten Nganjuk, secara gamblang memotret permasalahan krusial yang menghambat efektivitas pembelajaran Al-Qur’an. Masalah ini bukan soal metode mana yang lebih baik, melainkan tentang fondasi yang rapuh.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Pertama, minimnya SDM guru yang berkualitas. Banyak guru ngaji mengabdi dengan tulus, tetapi tidak semuanya memiliki bekal metodologi pengajaran yang memadai. Mereka mengajar berdasarkan pengalaman pribadi, yang terkadang kurang terstruktur. Akibatnya, transfer ilmu menjadi tidak maksimal dan sering kali tidak mampu menjawab tantangan belajar setiap anak yang unik.

Kedua, inkonsistensi dalam penerapan metode. Studi tersebut menemukan beberapa TPQ yang sering berganti-ganti antara metode Iqra dan Turutan tanpa arah yang jelas. Bayangkan kebingungan seorang anak, yang baru mulai memahami logika sistematis Iqra, kemudian tiba-tiba harus beradaptasi dengan pendekatan Turutan yang runut. Kondisi ini tidak hanya memperlambat kemajuan, tetapi juga dapat memadamkan semangat belajar anak.

Ketiga, pengajaran yang dangkal pada aspek esensial. Banyak santri hanya diminta meniru ucapan guru tanpa pernah benar-benar memahami kaidah di baliknya. Akibatnya, pengetahuan tentang tajwid dan makharijul huruf menjadi sangat lemah. Mereka mungkin bisa membaca dengan cepat, tetapi sering kali dengan pelafalan yang keliru, sebuah masalah yang akan sulit diperbaiki saat dewasa.

Terakhir, minimnya dukungan dari wali santri. Banyak orang tua yang memandang TPQ hanya sebagai tempat “menitipkan anak” untuk belajar mengaji. Mereka belum sepenuhnya sadar bahwa peran mereka dalam mendampingi dan memotivasi anak di rumah adalah kunci keberhasilan. Tanpa sinergi ini, usaha guru di TPQ menjadi seperti menabur benih di tanah yang kering.

Menggali Kembali Harta Karun: Mengapa Iqra dan Turutan Masih Sangat Penting?

Di tengah berbagai masalah tersebut, mengapa kita harus tetap mempertahankan Iqra dan Turutan? Karena kedua metode ini, pada dasarnya, adalah sebuah sistem pedagogis yang jenius.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

  • Metode Iqra, dengan pendekatan bertahap dari jilid satu hingga enam, mengajarkan anak untuk aktif mengenali pola, bukan sekadar menghafal huruf. Inilah inti dari cara belajar aktif yang modern.

  • Metode Turutan, meskipun lebih klasik, menanamkan fondasi pengenalan huruf yang sangat kuat dan detail. Ia mengajarkan ketelitian dan kesabaran.

Masalahnya, seiring waktu, kita sering kali hanya menjalankan metode ini sebagai rutinitas tanpa menghidupkan kembali ruhnya. Oleh karena itu, tugas kita bukanlah memilih salah satu, melainkan memperkaya dan memperkuat keduanya dengan pendekatan yang lebih modern dan relevan.

Langkah Nyata Menghidupkan Kembali Pembelajaran Tatap Muka

Di tengah dominasi pembelajaran digital yang cenderung dingin, kita perlu secara sadar memperkuat kembali metode belajar tatap muka. Berikut adalah langkah-langkah konkret yang dapat kita terapkan, seperti yang telah diinisiasi oleh mahasiswa IAIN Kediri di TPQ Paron.

1. Menghadirkan Pendampingan Langsung oleh Pengajar Terlatih
Keterlibatan mahasiswa yang memiliki bekal ilmu pedagogi memberikan angin segar. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga membimbing santri secara personal. Mereka dapat duduk di sebelah anak, mencontohkan gerakan mulut, dan memberikan koreksi lembut yang membangun kepercayaan diri, bukan menciutkan nyali.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

2. Membangun Interaksi Dua Arah yang Hidup
Guru harus bergeser dari peran sebagai “penyimak” menjadi “fasilitator dialog”. Alih-alih hanya berkata “Lanjut” atau “Ulangi”, guru dapat bertanya, “Menurutmu, mengapa bacaan ini harus panjang?” atau “Apa bedanya bunyi huruf Sin dan Syin?”. Dialog semacam ini merangsang pemikiran kritis dan memastikan santri benar-benar paham, bukan sekadar meniru.

3. Mengajarkan Adab Melalui Praktik dan Keteladanan
Materi esensial seperti wudhu, shalat, dan adab sehari-hari akan jauh lebih meresap jika diajarkan melalui peragaan langsung dan lagu yang menyenangkan. Anak-anak melihat langsung bagaimana guru mereka berwudhu dengan tertib, dan mereka menirunya. Inilah proses internalisasi nilai melalui keteladanan, sesuatu yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh video tutorial.

4. Menciptakan Forum Silaturahmi yang Memberdayakan Orang Tua
Mengadakan pertemuan rutin dengan wali santri bukanlah formalitas, melainkan sebuah investasi. Dalam forum ini, guru dapat menjelaskan progres anak, berbagi tips pendampingan di rumah, dan yang terpenting, menyamakan visi. Ketika orang tua sadar bahwa mereka adalah mitra guru, sebuah ekosistem pendidikan yang kuat mulai terbentuk.

Inovasi yang Memperkuat, Bukan Menggantikan Tradisi

Apakah ini berarti kita harus anti-teknologi? Tentu saja tidak. Inovasi digital harus kita posisikan sebagai alat bantu yang memperkuat interaksi manusiawi, bukan menyingkirkannya.

  • Bayangkan seorang guru menggunakan proyektor untuk menampilkan halaman Iqra Digital, sehingga ia bisa menjelaskan kaidah tajwid secara klasikal sebelum membimbing siswa satu per satu.

  • Bayangkan guru merekam bacaan santri, lalu memutarnya kembali bersama orang tua saat forum silaturahmi untuk mendiskusikan kemajuan anak.

  • Bayangkan kelas tatap muka yang disiarkan secara daring (hybrid), memungkinkan anak yang sakit untuk tetap mengikuti pelajaran dari rumah, sambil tetap merasakan atmosfer kelas.

Kuncinya adalah menempatkan teknologi sebagai pelayan bagi tujuan pedagogis, di mana sang guru tetap menjadi sutradara utama dalam proses pembelajaran.

Penutup: Saatnya Kita Kembali ke Inti Pendidikan

Pada akhirnya, perdebatan antara Iqra melawan Turutan, atau tradisional melawan digital, sering kali mengaburkan isu yang paling fundamental. Masalah utamanya bukanlah “metode apa”, melainkan “bagaimana cara kita mengajarkannya” dan “siapa yang mengajarkannya”.

Kita membutuhkan lebih banyak TPQ yang tidak hanya membuka kelas, tetapi juga membuka mata, telinga, dan hati anak-anak terhadap kemuliaan Al-Qur’an. Dan hal itu hanya mungkin terjadi jika kita berinvestasi pada tiga pilar utama:

  1. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru ngaji.

  2. Pemberdayaan orang tua sebagai mitra aktif.

  3. Menempatkan interaksi manusiawi dan pembentukan adab sebagai jantung dari setiap metode yang kita gunakan.

Mari kita bersama-sama mendorong pembaruan TPQ yang menghargai warisan tradisi, tetapi cukup berani untuk beradaptasi. Karena tujuan tertinggi kita bukanlah mencetak generasi yang sekadar bisa membaca Al-Qur’an, melainkan generasi yang menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam setiap helaan napas kehidupannya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement