Islam Sebagai Pilar Identitas dan Perlawanan
SURAU.CO – Sejak abad ke-7, Islam telah hadir di Nusantara melalui perdagangan, dakwah ulama, dan budaya. Identitas sosial-politik masyarakat lokal pun terbentuk berdasarkan nilai-nilai Islam. Maka, ketika penjajah Eropa datang, umat Islam tidak tinggal diam. Islam telah mengakar kuat di kerajaan-kerajaan lokal seperti Demak, Aceh, dan Mataram, yang secara aktif menolak kolonialisasi.
Islam dalam konteks ini tidak hanya agama, tetapi kekuatan sosial, politik, dan spiritual. Nilai-nilai jihad, amar ma’ruf nahi munkar, dan cinta tanah air menjadi pemantik perlawanan terhadap kekuasaan asing yang menindas.
Kolonialisme Eropa dan Respons Umat Islam
Beragam bangsa kolonial datang ke Nusantara, mulai dari Portugis, Spanyol, Belanda, Prancis, Inggris hingga Jepang. Masing-masing membawa agenda dominasi politik dan misi penyebaran agama, terutama Kristen.
1. Portugis dan Spanyol
Portugis menguasai Malaka sejak 1511 dan memonopoli perdagangan rempah. Namun, umat Islam segera merespons. Kesultanan Demak, melalui Adipati Unus, melancarkan serangan ke Malaka. Sementara itu, di Sunda Kalapa, Fatahillah berhasil mengusir Portugis pada 1527.
Spanyol juga menduduki Maluku, bersaing dengan Portugis melalui Kesultanan Tidore dan Ternate. Konflik ini menunjukkan bahwa Islam bukan sekadar korban kolonialisme, melainkan kekuatan aktif yang mengorganisasi perlawanan.
2. Belanda dan VOC
VOC datang dengan semangat dagang namun berujung pada penjajahan. Belanda menghapus sistem Islam dan adat demi kepentingan ekonomi. Namun, mereka menghadapi perlawanan kuat, seperti dari Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Diponegoro, hingga para ulama Banten dalam Geger Cilegon.
Belanda menyadari kekuatan Islam sebagai ancaman serius. Mereka pun mengeluarkan kebijakan politik Islam untuk mengawasi umat Islam. Namun, perlawanan terus berlanjut di bawah kepemimpinan ulama dan tokoh rakyat.
3. Inggris dan Prancis
Inggris sempat menguasai Jawa (1811–1816) di bawah Raffles. Ia menghapus tanam paksa dan sistem monopoli. Namun, literasi masyarakat yang rendah membuat dampak reformasi terbatas. Sebelumnya, Prancis melalui Daendels membangun Jalan Anyer–Panarukan demi mobilitas militer, bukan untuk rakyat.
4. Jepang: Pembebas yang Menindas
Jepang datang sebagai ‘saudara tua’ dan menjanjikan kemerdekaan. Namun, kenyataan berbeda. Jepang memaksa rakyat menjadi Romusha dan melatih pemuda menjadi tentara. Pada akhirnya, penderitaan rakyat meningkat hingga Jepang menyerah pada 1945.
Ulama dan Rakyat: Garda Terdepan Perlawanan
Islam tidak hanya hadir dalam kerajaan, tetapi juga dalam gerakan rakyat. Ulama menjadi pemimpin perjuangan yang menyatukan umat dalam jihad melawan kolonialisme.
Contohnya adalah Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien di Aceh, Imam Bonjol dalam Perang Paderi, dan KH. Hasan di Sulawesi. Di Jawa, KH. Wasit di Cilegon dan KH. Jenal Ngarib di Kudus juga memimpin perlawanan. Mereka menolak ketidakadilan atas dasar iman dan prinsip keadilan Islam.
“Tidak ada kewajiban bagi kami hanyalah penyampai (Islam) yang nyata.” – QS. Yasin: 17
Ayat ini menjadi inspirasi spiritual bahwa umat Islam harus menyampaikan dan menegakkan kebenaran, termasuk dalam melawan penjajah.
Perlawanan Islam Sebagai Gerakan Nasionalisme
Perlawanan umat Islam tidak terpisah dari semangat nasionalisme. Bahkan, tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, HOS Tjokroaminoto, dan Ki Hajar Dewantara memiliki akar kuat dalam tradisi Islam.
RA Kartini, misalnya, mengalami transformasi spiritual dari kegelapan menuju cahaya. Ia menulis bahwa perjuangannya lahir dari nilai-nilai Islam, bukan sekadar feminisme Barat. Patimura pun disebut oleh beberapa sumber sebagai Muslim yang menggunakan nama asli Kapten Ahmad Lussy.
Warisan Jihad dan Nasionalisme Islam
Jihad fi sabilillah menjadi benang merah perlawanan umat Islam di berbagai era. Dimulai dari Sultan Pati Unus di Malaka, hingga ulama dan rakyat biasa di berbagai pelosok negeri.
Bahkan, kolonial Belanda mencatat bahwa tiga perang besar—Perang Aceh, Perang Paderi, dan Perang Diponegoro—menyebabkan kerugian besar. Dalam laporan resminya, Belanda kehilangan ribuan tentara dan dana negara.
Belanda kemudian menerapkan Politik Etis, tapi di balik itu mereka melancarkan perang ideologi untuk melemahkan umat Islam. Namun, umat Islam tetap konsisten membela tanah air dan iman.
Kesimpulan
Perlawanan umat Islam terhadap penjajah bukan sekadar sejarah kekerasan. Ia adalah cermin dari identitas, spiritualitas, dan nasionalisme. Ajaran Islam tentang jihad, keadilan, dan cinta tanah air menjadi landasan gerakan pembebasan.
Islam di Indonesia tidak hanya membangun peradaban, tapi juga menjadi benteng pertahanan rakyat dalam melawan penjajahan. Dari kerajaan hingga rakyat kecil, dari ulama hingga pemuda, semua menyatu dalam satu cita: kemerdekaan yang bermartabat. (AE).
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
