SURAU.CO – Indonesia memiliki warisan toleransi antaragama yang sangat kuat sejak masa silam. Salah satu buktinya dapat ditemukan dalam Kakawin Sutasoma, karya agung Mpu Tantular dari abad ke-14. Kakawin ini menggambarkan bagaimana masyarakat Majapahit hidup dalam keragaman agama, khususnya antara penganut Hindu dan Buddha.
Tokoh utama dalam cerita ini, Sutasoma, merupakan titisan Buddha. Namun, ia tetap menjalin hubungan harmonis dengan tokoh-tokoh dari ajaran Siwa. Mpu Tantular tidak sekadar menyusun cerita epik, melainkan menyampaikan pesan moral: bahwa perbedaan keyakinan bukan hambatan untuk persatuan.
Prinsip Pluralisme dalam Teks Sastra
Pemahaman pluralisme dalam Kakawin Sutasoma sejalan dengan teori Harold Coward. Coward mengemukakan tiga prinsip utama pluralisme agama. Pertama, bahwa Tuhan adalah satu meskipun muncul dalam berbagai bentuk. Kedua, bahwa pengalaman spiritual merupakan jalan sah menuju kebenaran. Ketiga, bahwa setiap agama memiliki sistem sendiri dalam mengenali kebenaran.
Ketiga prinsip ini tampil nyata dalam kakawin. Dalam pupuh CXXXIX, tertulis:
“Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Namun, kebenaran yang mereka ajarkan sesungguhnya satu jua.”
Kutipan ini memperlihatkan bahwa meskipun penamaan dan ritual berbeda, tujuan spiritual tetap sama. Ajaran Buddha dan Siwa tidak dipertentangkan, melainkan disatukan dalam makna terdalamnya.
Kesadaran Spiritual Lebih Penting dari Simbol
Pupuh VI menyampaikan bahwa ukuran kebenaran agama tidak terletak pada penampilan lahiriah. Dalam dialognya, Raja Mahaketu berkata:
“Yang dianggap pandita bukanlah yang memakai kulit kayu, menggunduli kepala, atau menjalin rambut.”
Pernyataan ini menekankan bahwa makna spiritual lebih dalam dari sekadar simbol. Kakawin ini mengajak pembaca untuk tidak terjebak pada tampilan luar, tetapi menilai dari kesadaran rohaniah seseorang.
Pengakuan Lintas Keyakinan
Dalam pupuh LIII dan CXXXIV, dewa-dewa dalam kakawin menyamakan tokoh-tokoh Buddha dengan figur-figur dari ajaran Hindu. Akshobya dianggap setara dengan Iswara, Ratnasambhawa dengan Datta, dan Amitabha dengan Mahamara. Ini menegaskan bahwa setiap sistem kepercayaan mengandung kebenaran berdasarkan caranya masing-masing.
Alih-alih memperdebatkan siapa yang paling benar, Kakawin Sutasoma justru menyatukan semua pemahaman dalam satu prinsip: ketuhanan yang esa.
Makna Asli “Bhinneka Tunggal Ika”
Frasa terkenal Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa muncul dalam Kakawin ini. Kalimat itu memiliki makna yang jauh lebih religius dibandingkan versi nasionalnya. Artinya: berbeda-beda namun satu jua, karena tidak ada kebenaran yang mendua.
Dalam cerita, frasa ini disampaikan saat para dewa menasihati raksasa Porusada agar tidak memusnahkan manusia hanya karena perbedaan keyakinan. Dengan tegas, kakawin menyatakan bahwa Siwa dan Buddha adalah jalan yang berbeda menuju Tuhan yang sama.
Toleransi yang Tercermin dalam Tindakan
Pluralisme dalam kakawin ini tidak berhenti pada teori. Ia mewujud dalam tindakan para tokohnya. Sutasoma tetap menghormati Dewi Bhairawa dari panteon Hindu, meskipun ia adalah titisan Buddha. Ia juga melakukan perjalanan spiritual bersama tokoh-tokoh dari berbagai latar keyakinan.
Kehidupan religius masyarakat Hastina dan Widharba dalam cerita menggambarkan kerukunan nyata antara para pendeta Siwa dan Buddha. Mereka tidak hanya hidup berdampingan, tetapi juga saling menghargai dan melengkapi.
Perbedaan Makna dalam Konteks Modern
Sayangnya, makna Bhinneka Tunggal Ika dalam konteks modern sering dipersempit hanya sebagai semboyan kebangsaan. Padahal, dalam Kakawin Sutasoma, ungkapan ini menyimpan makna teologis yang sangat mendalam. Mpu Tantular tidak hanya berbicara tentang persatuan bangsa, tetapi tentang penyatuan makna kebenaran dalam perbedaan spiritual.
Dengan memahami konteks asli ini, kita dapat melihat bahwa semangat toleransi Indonesia sudah tertanam jauh sebelum era modern. Kakawin ini adalah sumber nilai yang tak ternilai dalam membentuk budaya damai dan harmonis.
Relevansi Kakawin Sutasoma Saat Ini
Nilai-nilai pluralisme dalam Kakawin Sutasoma tetap relevan untuk zaman sekarang. Di tengah meningkatnya polarisasi dan konflik karena perbedaan, ajaran dari karya Mpu Tantular mengingatkan bahwa perbedaan bukan ancaman, tetapi kekayaan.
Kita perlu membaca ulang warisan sastra ini bukan sebagai cerita masa lalu, melainkan sebagai cermin dan petunjuk untuk masa depan. Kakawin ini bisa menjadi dasar pendidikan multikultural, dialog antariman, dan pembentukan karakter toleran.
Kesimpulan
Kakawin Sutasoma adalah karya sastra yang tak hanya indah secara estetika, tetapi juga agung secara etika. Mpu Tantular mengajarkan bahwa pluralisme bukan sekadar sikap sosial, melainkan pilihan spiritual yang luhur.
Melalui kisah Sutasoma, kita diajak untuk melihat bahwa agama dan keyakinan bisa hidup berdampingan, bahkan saling menguatkan. Inilah pesan utama dari pluralisme agama dalam Kakawin Sutasoma: bahwa perbedaan tidak perlu dipersatukan secara paksa, karena dalam keberagaman itu sendiri telah tercipta kesatuan. (AE).
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
