Surau.co – Masyarakat global kerap memandang Islam sebagai agama yang lekat dengan jazirah Arab atau Timur Tengah. Tempat ajaran ini lahir, berkembang, dan menjadi pusat penyebaran utama. Jazirah Arab sendiri membentang dari Maroko di ujung barat Afrika hingga Iran di sisi timur. Wilayah yang didominasi oleh gurun pasir tandus.
Namun kini, kawasan itu bukan lagi satu-satunya pusat perkembangan islam. Di luar Timur Tengah, Islam juga tumbuh subur, terutama di wilayah Nusantara dan Tanah Melayu sejak pasca abad ke-7. Wilayah ini menjadi basis utama umat Islam di luar Timur Tengah.
Nusantara mencakup Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan, Jawa, hingga sebagian wilayah timur Indonesia. Kawasan ini menyimpan sejarah panjang sebagai wilayah dengan penduduk mayoritas Muslim.
Meskipun bukan bagian dari Timur Tengah, justru di tanah inilah Islam berkembang sangat pesat. Indonesia, misalnya, telah mencatat diri sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Tanah Melayu menunjukkan bahwa cahaya Islam tidak hanya bersinar di padang pasir, tetapi juga menerangi rimba, pesisir, dan lembah-lembah tropis.
Islam Masuk Nusantara dengan Damai
Cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra, dalam bukunya “Islam Nusantara: Sejarah Sosial dan Intelektual”, menjelaskan bahwa para saudagar membawa Islam ke Melayu melalui pelayaran, bukan penaklukan. Gelombang ombak menjadi saksi bisu kedatangan mereka yang penuh damai. Cara ini pula yang membuat citra Islam di wilayah ini terlihat lebih tenteram dan damai.
Sejak abad ke-7 Masehi, para pedagang Arab dan Gujarat mulai berlabuh di pelabuhan-pelabuhan penting seperti Barus, Lamuri, dan Malaka. Mereka tidak hanya membawa rempah-rempah, kain, dan logam, tetapi juga menyebarkan keimanan. Praktik ini bahkan menginspirasi para misionaris Barat pada masa penjajahan.
Kisah Raja Samudera Pasai yang memeluk Islam menggambarkan bahwa Islam menyebar melalui pendekatan dakwah yang halus, bukan kekuasaan. Umat menjadikan masjid sebagai tempat musyawarah, bukan benteng perang. Islam bertumbuh karena masyarakat menerimanya, bukan karena paksaan.
Islam yang Membaur dengan Budaya
Salah satu ciri khas Islam di Nusantara terletak pada akulturasinya yang kuat dengan budaya lokal. Islam tidak datang untuk mematikan budaya yang ada, tetapi justru mengislamkan nilai-nilai luhur yang telah hidup sebelumnya. Masyarakat melestarikan tradisi kenduri, silat, gurindam, hingga sastra hikayat sebagai bentuk harmonisasi antara ajaran Islam dan budaya lokal.
Hal ini tampak nyata dalam bentuk fisik dan karya sastra. Masjid Agung Sang Cipta Rasa di kampung saya Cirebon misalnya, dibangun dengan arsitektur bergaya nusantara, bukan Arab. Itu tampak dari desainnya yang tanpa kubah. Hikayat-hikayat Melayu pun sarat dengan ajaran tasawuf dan nilai-nilai moral Islam. Di sinilah letak keunikan Islam Nusantara: lembut, spiritual, dan menyatu dengan tanah tempatnya berakar.
Selain pendekatan yang damai, ada beberapa faktor yang membuat masyarakat Jawa dan Melayu begitu mudah menerima Islam. Salah satunya adalah kesamaan nilai. Ajaran Islam tentang gotong royong, musyawarah, dan penghormatan kepada orang tua sejalan dengan nilai-nilai lokal.
Lebih lanjut lagi, Islam juga menawarkan sebuah daya tarik sosial. Ajarannya memberikan sistem hukum, etika perdagangan, dan struktur sosial yang menarik bagi para penguasa maupun rakyat. Hasilnya, lebih dari 85% penduduk Indonesia dan Malaysia kini memeluk Islam. Kawasan ini telah menjadi rumah bagi populasi Muslim terbesar di dunia.
Tantangan Arus Ideologi Baru
Namun, kekayaan Islam Nusantara yang penuh akulturasi kini menghadapi tantangan. Arus ideologi baru mencoba memisahkan hasil akulturasi tersebut dengan alasan ingin memurnikan ajaran Islam.
Kelompok ini mulai menyebarkan ideologinya ke akar rumput. Mereka bergerilya di kampus, majelis masyarakat, hingga lembaga pendidikan. Masyarakat harus mengantisipasi dan menjawab tantangan ini demi menjaga warisan Islam Nusantara yang damai dan membumi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
