SURAU.CO – Pendidikan Islam di Indonesia telah membentuk karakter masyarakat yang religius, inklusif, dan berbudaya. Di tengah beragam metode pembelajaran Al-Qur’an yang berkembang, turutan dan Iqra’ hadir sebagai dua pendekatan populer yang mampu bertahan lintas generasi. Meskipun tampak sederhana, keduanya memainkan peran sentral dalam membumikan literasi keislaman, terutama di daerah pedesaan seperti Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.
Bondowoso dikenal sebagai daerah dengan kekuatan akar tradisi pesantren dan pendidikan langgar yang masih hidup di tengah masyarakat. Di ruang-ruang kecil yang bersahaja, ratusan anak-anak memulai langkah spiritual mereka melalui lembaran turutan atau jilid Iqra’. Melalui proses ini, mereka tidak hanya memperoleh ilmu, tetapi juga mewarisi nilai-nilai luhur dari generasi ke generasi.
Turutan dan Iqra’: Ikhtiar Membumikan Al-Qur’an
Turutan, sebagai lembaran-lembaran yang berisi rangkaian huruf hijaiyah dan tanda baca dasar yang biasa digunakan dalam proses pembelajaran membaca Al-Qur’an secara tradisional. Anak-anak belajar membaca huruf demi huruf, baris demi baris, mulai dari fathah, kasrah, dhammah, hingga tanwin dan sukun. Guru ngaji menyampaikan materi secara langsung (talaqqi), membimbing murid dengan sabar dan konsisten. Dengan cara ini, turutan tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu baca, tetapi juga sebagai simbol perjuangan anak-anak desa dalam menembus dunia literasi Al-Qur’an.
Sementara itu, KH As’ad Humam dari Yogyakarta merancang metode Iqra’ pada awal 1990-an. Ia memperkenalkan sistem pembelajaran Al-Qur’an yang bertahap dan sistematis melalui enam jilid buku kecil. Metode ini mempermudah anak-anak dan guru dalam memahami kaidah bacaan Al-Qur’an secara efektif, cepat, dan aplikatif. Oleh karena itu, metode Iqra’ menjadi inovasi penting dalam pendidikan Islam. Saat ini, para pengelola TPQ dan masjid di seluruh Indonesia, telah menggunakan buku Iqra’ secara luas.
Kontribusi Sosial-Budaya dalam Konteks Lokal
Kiai kampung dan guru ngaji lokal memainkan peran sentral dalam mempertahankan pendidikan turutan dan Iqra’. Mereka tidak hanya mengajarkan Al-Qur’an, tetapi juga menjangkau anak-anak dari keluarga kurang mampu dan memupuk karakter luhur.
Menurut Kiai Khoirul, pengasuh Langgar Al-Barokah di Desa Sukosari, Tamanan, Bondowoso:
“Ngaji turutan se nyatâ’ tak hanya ngajâr bâcâ Qur’an, tapi jhâgâ ngajâr sabâr ben tawâdhu’. Bâlâ bâdhâ se ngaji sabban sore, biasâna badhâ ngembang bâjâ’ se lebi’ alos tingkâ’ laku’na.”
(“Ngaji turutan bukan sekadar melatih membaca Al-Qur’an, tapi melatih jiwa sabar dan rendah hati. Anak-anak yang mengaji setiap sore biasanya menjadi pribadi yang lebih halus tingkah lakunya.”)
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pembelajaran turutan mencakup dimensi kognitif, afektif, dan spiritual. Anak-anak tidak hanya memperoleh ilmu, tetapi juga membentuk kepribadian yang terintegrasi antara ilmu, etika, dan tradisi.
Landasan Nilai dan Psikoedukatif
Lebih lanjut, metode turutan dan Iqra’ membentuk karakter peserta didik secara menyeluruh. Anak-anak yang mengikuti metode ini belajar bersabar, tekun, menghormati guru, serta membiasakan diri dengan budaya antri dan konsentrasi tinggi. Hal ini sejalan dengan konsep ta’dib dalam pendidikan Islam, yakni menanamkan adab sebelum ilmu.
Dalam tinjauan psikologi pendidikan, metode ini juga sesuai dengan teori constructivism, di mana peserta didik secara aktif membangun pengetahuan melalui pengalaman langsung. Keberadaan guru sebagai pendamping langsung (scaffolder) yang membimbing dan mendampingi proses belajar. Interaksi intensif ini menciptakan hubungan emosional yang mendalam—sesuatu yang sulit digantikan oleh sistem pembelajaran daring.
Penelitian yang dilakukan oleh Maulana (2020) di TPQ-TPQ wilayah Tapal Kuda, termasuk Bondowoso, menunjukkan bahwa anak-anak yang menggunakan metode Iqra’ rata-rata mampu membaca Al-Qur’an dengan lancar dalam waktu 6–12 bulan. Sementara itu, metode turutan memang memerlukan waktu lebih lama, tetapi menunjukkan efektivitas dalam pembentukan makharijul huruf dan penguatan hafalan.
Transformasi dan Inovasi: Iqra’ sebagai Titik Balik
Kehadiran Iqra’ membawa transformasi signifikan dalam pendidikan Al-Qur’an. Karena memiliki sistematika yang jelas dan target pembelajaran yang terukur, metode ini menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah. Para guru ngaji dengan mudah mengadopsinya tanpa pelatihan yang rumit. Banyak anak kini mampu membaca Al-Qur’an dalam waktu singkat berkat struktur buku yang progresif.
KH As’ad Humam, sebagai pencetus metode ini, menegaskan bahwa Iqra’ hadir untuk menjawab tantangan zaman. Masyarakat membutuhkan sistem pembelajaran yang cepat dan efektif, tanpa mengorbankan kualitas. Namun, beliau juga mengakui bahwa kehadiran Iqra’ tidak menggantikan turutan. Sebaliknya, di banyak pesantren dan TPQ, keduanya bersanding—turutan sebagai pengantar awal bagi anak-anak yang belum mengenal huruf hijaiyah, dan Iqra’ sebagai tahapan lanjutan hingga ke penguasaan bacaan Al-Qur’an yang lebih baik.
Kisah-Kisah Haru di Balik Lembar Turutan
Berbagai kisah haru muncul dari proses belajar turutan. Seorang kakek berusia 60 tahun memilih belajar bersama cucunya karena ia ingin bisa membaca Al-Qur’an sebelum wafat. Di tempat lain, seorang anak yatim menyalin isi buku Iqra’ ke kertas bekas agar tetap bisa mengikuti pelajaran. Bahkan, seorang guru ngaji yang nyaris buta tetap mengajar setiap sore karena merasa mengajar Al-Qur’an merupakan bentuk cintanya kepada Allah.
Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bahwa semangat pendidikan Islam tidak bergantung pada gedung megah atau teknologi canggih. Justru, ketulusan dan dedikasi para guru ngaji menjadi fondasi utama bagi keberlangsungan pendidikan Qur’ani.
Relevansi dan Tantangan di Era Digital
Kini, metode turutan dan Iqra’ menghadapi tantangan besar di era digital. Anak-anak lebih akrab dengan layar gawai daripada dengan lembaran turutan. Meski demikian, proses pembelajaran langsung tetap relevan dan tidak tergantikan. Proses talaqqi yang menekankan ketepatan makharijul huruf, tajwid, dan nilai adab memerlukan bimbingan langsung dari guru.
Ustad Zainuddin, M.Pd.I., dosen STAI At-Taqwa Bondowoso, menyampaikan:
“Modernisasi pendidikan Islam tidak harus menghilangkan metode tradisional. Justru kita perlu mensinergikan keduanya. Turutan dan Iqra’ mengajarkan sesuatu yang tidak diajarkan oleh teknologi: adab, kesabaran, dan spiritualitas.”
Pernyataan ini menegaskan pentingnya pendekatan blended learning dalam pendidikan Islam, yakni menggabungkan tradisi dan inovasi secara harmonis.
Rekomendasi Penguatan Ke Depan
Agar pendidikan turutan dan Iqra’ tetap relevan, berikut beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan:
- Dukungan Pemerintah Daerah
Pemerintah perlu memberikan bantuan operasional kepada TPQ dan guru ngaji melalui program insentif atau hibah Al-Qur’an dan Iqra’. - Pelatihan Metodologi
Diperlukan pelatihan berkala bagi guru ngaji tentang pedagogi modern, psikologi anak, dan manajemen TPQ. - Kolaborasi dengan Pesantren
Pondok pesantren sebagai pusat pendidikan Islam dapat menjadi mitra pembinaan bagi TPQ-TPQ dalam penguatan kurikulum dan kaderisasi guru. - Digitalisasi Moderat
Pengembangan aplikasi lokal berbasis metode turutan dan Iqra’, misalnya dalam bahasa Madura atau Osing, dapat meningkatkan daya tarik anak-anak terhadap pembelajaran.
Penutup
Turutan dan Iqra’ bukan sekadar metode pembelajaran, melainkan warisan pendidikan Islam yang telah terbukti membentuk generasi Qur’ani. Di Bondowoso, semangat ini terus menyala melalui dedikasi para guru ngaji, langgar-langgar sederhana, dan antusiasme anak-anak desa yang haus akan ilmu.
Dalam arus zaman yang serba cepat, metode ini mengajarkan nilai-nilai abadi: kesabaran, ketekunan, dan ketulusan. Dengan demikian, turutan dan Iqra’ tidak hanya mencetak pembaca Al-Qur’an, tetapi juga membentuk insan yang cinta pada ilmu dan menjunjung tinggi adab—fondasi utama bagi peradaban Islam yang mencerahkan.
Referensi:
- Humam, KH. As’ad. (1990). Metode Iqra’ Jilid 1–6. Yogyakarta: Team Tadarus AMM.
- Maulana, Fajar. (2020). “Efektivitas Metode Iqra’ dalam Pembelajaran Al-Qur’an pada Anak Usia Dini di Wilayah Tapal Kuda.“
- Zuhri, M. (2021). Kiai dan Guru Ngaji di Pedesaan: Studi Sosial Keagamaan di Kabupaten Bondowoso. Surabaya.
- Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
