Mengadu Ayam: Antara Tradisi dan Penyakit Jiwa
Mengadu ayam, atau sabung ayam, adalah praktik lama yang telah ada sejak zaman kuno di berbagai kebudayaan. Di beberapa daerah di Indonesia, sabung ayam bahkan dianggap bagian dari tradisi atau warisan budaya. Namun, jika ditelaah dari sisi moral, hukum, dan kesehatan jiwa, aktivitas ini dapat menunjukkan indikasi gangguan psikologis serta menyuburkan kekerasan dalam masyarakat.
⚖️ Sabung Ayam dan Hukum Agama
Dalam Islam, sabung ayam diharamkan. Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Janganlah kalian menjadikan binatang sebagai sasaran (untuk bertarung atau bermain-main dengannya).”
(HR. Muslim)
Sabung ayam bukan sekadar permainan, tapi sebuah pertarungan hingga salah satu binatang terluka parah atau bahkan mati. Ini bertentangan dengan nilai-nilai rahmah (kasih sayang) terhadap makhluk Allah, termasuk hewan. Rasulullah ﷺ bahkan memarahi sahabat yang membuat burung resah karena diambil anaknya.
🧠 Mengadu Ayam dan Gangguan Kejiwaan
Dari perspektif psikologis, kesenangan terhadap tontonan kekerasan — terlebih terhadap makhluk hidup yang tak bisa membela diri — bisa menjadi indikasi gangguan empati, bahkan gejala awal dari antisosial personality disorder. Beberapa aspek gangguan jiwa yang bisa melekat dalam hobi menyaksikan atau mengikuti sabung ayam antara lain:
1. Desensitisasi terhadap kekerasan
Terbiasa melihat ayam saling mencabik bisa membuat seseorang makin kebal terhadap penderitaan makhluk hidup lainnya.
2. Kecanduan Adrenalin Negatif
Sensasi melihat perkelahian, darah, dan adu kekuatan menjadi candu tersendiri — mirip dengan pecandu game kekerasan atau tontonan sadis.
3. Pemindahan agresi
Orang yang tak bisa mengelola kemarahan atau stres, terkadang menyalurkannya dalam bentuk “kepuasan” melihat pertarungan, meskipun melalui hewan.
4. Gangguan kompulsif berjudi
Karena sabung ayam identik dengan taruhan, banyak yang terlibat di dalamnya karena kecanduan judi. Ini sudah masuk kategori penyakit mental menurut klasifikasi gangguan jiwa internasional (ICD dan DSM-5).
🎭 Mengadu Ayam Sebagai Tradisi: Benarkah Layak Dilestarikan?
Sebagian orang beralasan bahwa sabung ayam adalah bagian dari budaya lokal, bahkan menjadi daya tarik wisata. Namun, apakah semua budaya harus dilestarikan?
Tradisi yang mengandung kekerasan, eksploitasi, atau bertentangan dengan kemanusiaan tidak boleh dipertahankan hanya karena “sudah dari dulu”. Dalam Islam dan nilai-nilai kemanusiaan universal, sesuatu dikatakan baik bukan karena ia lama, tapi karena ia membawa maslahat dan tidak menyakiti.
> “Al-‘Adah Muhakkamah” – Kebiasaan itu bisa menjadi hukum jika tidak bertentangan dengan syariat dan akal sehat.
🐔 Dampak Sosial dari Sabung Ayam
Lingkungan yang permisif terhadap kekerasan
Anak-anak yang melihat sabung ayam bisa tumbuh dengan asumsi bahwa kekerasan itu biasa, bahkan seru untuk disaksikan.
Pusat perjudian ilegal
Hampir semua arena sabung ayam terlibat praktik taruhan uang, bahkan bisa menjadi pintu masuk pada kriminalitas dan mafia lokal.
Pemborosan harta dan waktu
Banyak yang rela habis-habisan membeli ayam jago, ramuan, jampi-jampi, dan taruhan — padahal keluarga kekurangan.
📚 Alternatif Kesehatan Jiwa dan Tradisi Positif
Daripada menonton atau mengikuti sabung ayam, banyak alternatif tradisi dan aktivitas yang lebih sehat bagi jiwa dan sosial:
Lomba ayam hias atau suara ayam kokok
Lebih aman, damai, dan tanpa kekerasan.
Budi daya unggas
Bisa menjadi kegiatan ekonomi dan ketahanan pangan keluarga.
Olahraga bela diri manusiawi
Seperti silat atau pencak dor, di mana manusia yang sadar dan dewasa bertarung secara adil, bukan memaksa hewan.
🔚 Penutup: Kembali pada Akal dan Nurani
Seseorang yang menikmati sabung ayam, apalagi sampai terobsesi, perlu introspeksi dan evaluasi batin. Apakah yang dinikmati itu benar-benar hiburan, atau justru pelampiasan jiwa yang terluka dan butuh pertolongan?
Mengadu ayam bukan hanya dosa, tapi bisa jadi tanda jiwa yang butuh penyembuhan.
> “Allah tidak menyayangi orang yang tidak menyayangi makhluk-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mari berhenti menjadikan kekerasan sebagai tontonan. Gantikan dengan cinta, welas asih, dan kegiatan yang membawa kedamaian bagi manusia dan hewan. (Tengku Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
