Beranda » Berita » Kerja untuk Ibadah, Bukan Ibadah Dikalahkan oleh Kerja

Kerja untuk Ibadah, Bukan Ibadah Dikalahkan oleh Kerja

Kerja untuk Ibadah, Bukan Ibadah Dikalahkan oleh Kerja

“Kerja untuk Ibadah, Bukan Ibadah Dikalahkan oleh Kerja”

 

Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan sibuk ini, kita sering kali terjebak dalam rutinitas dunia kerja hingga tanpa sadar menjadikan pekerjaan sebagai poros utama kehidupan kita. Kita bangun pagi-pagi, tergesa-gesa berangkat kerja, dan pulang dalam keadaan lelah. Sering kali waktu shalat dilalaikan, membaca Al-Qur’an tidak sempat, menghadiri majelis ilmu ditinggalkan, bahkan akhir pekan pun diisi dengan urusan pekerjaan. Padahal, pekerjaan hanyalah sarana, bukan tujuan utama. Tujuan utama kita adalah beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sebagaimana diingatkan oleh almarhum Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas rahimahullah dalam kutipan yang sangat mengena:

> “Anda kerja untuk tujuan beribadah kepada Allah, jangan terbalik! Ibadah dikorbankan demi kerja.”

Mengenal Perbedaan Hijab, Jilbab, dan Khimar dalam Tren Fashion Muslimah

Ungkapan ini sangat penting direnungkan, terutama oleh umat Islam yang hidup di era kapitalisme, di mana kerja keras dan produktivitas sering dijadikan tolok ukur keberhasilan hidup. Sayangnya, jika tidak disertai pemahaman yang lurus, kerja justru bisa menjadi hijab yang menghalangi kita dari tujuan penciptaan hidup: yaitu untuk beribadah kepada Allah.

Pekerjaan sebagai Sarana, Bukan Tujuan

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

> “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Ayat ini menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Semua aktivitas hidup yang halal dan bermanfaat bisa menjadi bagian dari ibadah jika diniatkan karena Allah dan dilakukan sesuai syariat. Termasuk di dalamnya adalah bekerja mencari nafkah untuk keluarga.

Namun, ketika pekerjaan mulai menggeser posisi ibadah dalam hati kita—ketika pekerjaan menjadi alasan meninggalkan shalat tepat waktu, mengabaikan Al-Qur’an, atau menghindari majelis ilmu—maka saat itulah kita sedang terbalik dalam menata prioritas hidup.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Menjadikan Kerja sebagai Ibadah

Islam tidak menolak kerja. Bahkan Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja, berdagang, bertani, berdakwah, dan membangun peradaban. Dalam banyak hadits, Rasulullah ﷺ memuji tangan yang bekerja, memuliakan orang yang mencari nafkah halal, dan memberi peringatan kepada orang yang malas atau suka menggantungkan hidup kepada orang lain.

Akan tetapi, semua itu harus kembali kepada niat dan adab syar’i. Niat bekerja bukan semata mencari dunia, tapi untuk menunaikan amanah, menafkahi keluarga, berbuat baik kepada sesama, dan menghindari meminta-minta. Dengan niat yang benar, pekerjaan kita bisa bernilai ibadah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jangan Korbankan Ibadah Wajib

Masalah utama yang diangkat dalam nasihat Ustadz Yazid adalah ketika ibadah dikorbankan demi pekerjaan. Hal ini bisa berupa:

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Menunda-nunda shalat karena sibuk kerja atau rapat.
Tidak shalat berjamaah padahal sedang berada di lingkungan yang memungkinkan.
Lupa membaca Al-Qur’an karena terlalu lelah usai kerja.
Menolak ajakan ke kajian karena menganggap pekerjaan lebih penting.
Memilih lembur kerja daripada meluangkan waktu untuk keluarga dalam bimbingan agama.
Padahal, ibadah adalah sumber keberkahan dalam hidup dan pekerjaan kita. Shalat lima waktu, dzikir, membaca Al-Qur’an, puasa sunnah, dan menghadiri majelis ilmu adalah sarana penguat ruhiyah yang justru akan memberi ketenangan hati, kejernihan berpikir, dan keberhasilan dunia-akhirat.

Kisah Para Salaf dan Ulama dalam Menjaga Ibadah

Para ulama terdahulu yang sangat produktif menulis, berdakwah, bahkan bekerja dalam profesi duniawi sekalipun, tidak pernah mengorbankan ibadah. Imam Abu Hanifah, misalnya, dikenal sebagai pedagang kain yang sukses, tapi tidak pernah meninggalkan shalat malam selama 40 tahun.

Imam Malik, Imam Ahmad, dan banyak ulama lainnya, mereka hidup di tengah masyarakat dan kesibukan, namun shalat berjamaah di masjid, puasa sunnah, dan majelis ilmu tetap menjadi prioritas utama. Hal ini menunjukkan bahwa kesibukan dunia tidak menjadi penghalang ibadah jika hati telah menempatkan Allah di posisi tertinggi.

Keseimbangan: Dunia dan Akhirat

Islam adalah agama yang menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Allah berfirman:

> “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)

Ayat ini menunjukkan bahwa kita boleh bekerja, meraih penghasilan, dan menikmati dunia—tapi semua itu harus dalam kerangka taqwa dan jangan sampai melalaikan tujuan akhirat.

Evaluasi Diri

Mari kita renungkan:

Apakah pekerjaan kita selama ini mendekatkan atau menjauhkan kita dari Allah?
Apakah waktu-waktu utama seperti Subuh dan Maghrib masih bisa kita jaga?
Apakah kita masih punya waktu membaca Al-Qur’an dan menghadiri kajian?
Apakah pekerjaan menjadi alasan kita mengurangi amal shalih?
Jika jawabannya banyak yang mengarah pada pengabaian ibadah, maka inilah saatnya untuk meluruskan kembali niat dan manajemen waktu.

Solusi dan Tips Menjaga Ibadah di Tengah Kesibukan

Berikut beberapa tips agar kita tetap menjaga ibadah meski sibuk bekerja:

1. Niatkan setiap pekerjaan sebagai ibadah: “Aku bekerja untuk menafkahi keluarga, agar tidak meminta-minta, dan untuk bisa bersedekah.”
2. Jaga waktu shalat tepat waktu: Jadikan shalat sebagai penentu jadwal kerja, bukan sebaliknya.
3. Buat target harian ibadah: Misalnya, minimal satu halaman Al-Qur’an per hari, dzikir pagi-petang, dan sedekah harian.
4. Ikut kajian rutin: Walau seminggu sekali, tetap hadiri majelis ilmu agar ruhaniyah tetap hidup.
5. Manfaatkan teknologi: Dengarkan ceramah saat berkendara, pasang pengingat shalat, gunakan aplikasi Qur’an, dan sebagainya.
6. Buat batas waktu kerja: Jangan semua waktu dihabiskan untuk kerja dunia. Sisihkan waktu untuk keluarga dan ibadah.
7. Berdoa agar Allah mudahkan urusan dunia dan akhirat: “Rabbana aatina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah wa qina ‘adzaaban naar.”

Penutup: Hidup yang Berorientasi Akhirat

Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas rahimahullah adalah salah satu ulama yang tegas dalam mengajak umat kembali kepada pemurnian tauhid dan ibadah. Nasihat beliau ini sangat penting di zaman sekarang, agar kita tidak terjerumus pada kehidupan duniawi yang menipu.

Mari kita jadikan pekerjaan sebagai kendaraan menuju akhirat, bukan sebagai jebakan yang membuat kita lupa kepada Allah. Jangan sampai kita sukses di dunia namun gagal di akhirat. Jangan sampai kita dikenal sebagai pekerja keras, tapi tidak dikenal oleh para malaikat karena jarang sujud kepada Allah.

Allah berfirman:

> “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)

Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang kuat bekerja, namun lebih kuat lagi dalam ibadah. Aamiin. (Tengku I.)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement