Berita
Beranda » Berita » Mendobrak Dinding Patriarki: Gagasan “Gender Writing” dalam Tafsir Al-Qur’an

Mendobrak Dinding Patriarki: Gagasan “Gender Writing” dalam Tafsir Al-Qur’an

Mendobrak Dinding Patriarki: Gagasan “Gender Writing” dalam Tafsir Al-Qur’an
Mendobrak Dinding Patriarki: Gagasan “Gender Writing” dalam Tafsir Al-Qur’an

Surau.co Dalam pidato guru besarnya berjudul Menafsir Ulang Gender dalam Al-Qur’an (2025), Nur Arfiyah Febriani mengajukan kritik tajam terhadap stereotip yang melekat bahwa Islam adalah agama patriarkis. Ia menyebut bahwa anggapan ini tidak sepenuhnya bersumber dari teks Al-Qur’an, melainkan dari metode penafsiran yang belum ramah gender. Penafsiran tekstual yang tidak menyentuh dimensi kebahasaan, sosial, dan historis menjadi akar bias gender dalam tafsir.

Mengutip pemikiran Helene Cixous tentang phallocentrism, Febriani menilai bahwa tradisi tulisan laki-laki sering kali melanggengkan cara pandang patriarkis. Maka, untuk melawan dominasi ini, perlu pendekatan baru dalam penulisan dan penafsiran Al-Qur’an.

Gender Writing: Metodologi Baru dalam Tafsir Al-Qur’an

Sebagai solusi, Febriani memperkenalkan Metode Gender Writing—sebuah pendekatan sistematis dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an agar bebas dari bias gender tanpa mengorbankan orisinalitas makna. Ia merumuskan tujuh langkah utama dalam metode ini:

  1. Menentukan tema penelitian.
  2. Mengidentifikasi istilah terkait relasi gender, biologis, dan seksual.
  3. Menelaah latar historis dan filosofis ayat.
  4. Menafsirkan dengan kaidah kebahasaan Al-Qur’an.
  5. Membandingkan dengan teori-teori kontemporer.
  6. Menimbang prinsip keadilan, kooperatif, dan komplementer.
  7. Menyimpulkan dengan narasi kesetaraan yang bebas stereotip.

Untuk menjamin objektivitas, Febriani menetapkan empat tolok ukur, seperti keadilan penafsiran, koherensi dengan ilmu naqliyah dan ‘aqliyah, serta sifat solutif dan tidak provokatif.

Aplikasi pada Konsep Kepemimpinan

Febriani menerapkan metode ini untuk menafsirkan konsep kepemimpinan dalam Al-Qur’an. Ia mengkaji kata-kata kunci seperti khalifah, qawwam, dan imra’ah, dengan menelaah tiga karya tafsir: an-Nur (Hasbi ash-Shiddieqy), al-Azhar (Hamka), dan al-Misbah (Quraish Shihab).

Peduli Sumatera: Saat Saudara Kita Menjerit, Hati Kita Harus Bangkit

Dalam menafsirkan ayat QS. an-Nisa/4:34, ketiganya menunjukkan pendekatan yang seimbang dan tidak patriarkis. Hasbi melihat kepemimpinan laki-laki sebagai bentuk tanggung jawab dan perlindungan. Hamka menggambarkan kepemimpinan sebagai kerja sama antar bagian tubuh. Quraish Shihab menekankan aspek pemeliharaan, perhatian, dan tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki dalam semua konteks.

Analisis juga dilakukan pada penyebutan Ratu Balqis sebagai imra’ah, bukan malikah, untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak terikat pada gelar formal, melainkan kualitas pribadi dan kebijaksanaan dalam bertindak.

Rekonstruksi Stereotip Tafsir Patriarki

Hasil penelitian Febriani menunjukkan bahwa tidak semua mufasir laki-laki menghasilkan tafsir yang patriarkis. Tafsir bercorak al-Adab al-Ijtima’i (sosial kemasyarakatan) dan tafsir sufi justru cenderung lebih adil terhadap perempuan. Bias gender dalam tafsir lebih disebabkan oleh latar belakang budaya, pendidikan, dan sumber rujukan yang digunakan mufasir, bukan karena niat atau kebencian terhadap perempuan.

Dengan demikian, metode Gender Writing mampu menawarkan ruang kritis untuk menguji ulang karya tafsir yang selama ini dianggap bias. Ia mengajak untuk tidak men-generalisasi semua mufasir laki-laki sebagai patriarkis, melainkan menilai secara metodologis dan objektif.

Kontribusi dan Tantangan

Metode ini memberikan kontribusi penting bagi pengembangan kajian tafsir Al-Qur’an. Pertama, ia membuka jalan bagi pendekatan yang komprehensif dalam memahami ayat-ayat relasi gender. Kedua, ia mengarahkan pada budaya tafsir yang lebih inklusif, egaliter, dan dialogis. Ketiga, ia menjawab tantangan stagnasi metodologis dalam kajian Ulumul Qur’an kontemporer yang selama ini dianggap repetitif.

Asosiasi Ma’had Aly Dorong PenguatanDirektorat Jenderal Pesantren

Namun demikian, Gender Writing juga menghadapi tantangan: resistensi dari kalangan tradisional, tantangan penerapan dalam berbagai konteks budaya, serta jurang antara teori dan praktik yang harus dijembatani. Meski begitu, metode ini membuka peluang besar untuk menghadirkan dialog baru antara teks suci dan keadilan sosial.

Penutup

Melalui Metode Gender Writing, Nur Arfiyah Febriani bukan hanya menawarkan cara baru menafsirkan Al-Qur’an, tetapi juga mengajak kita merombak cara berpikir tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam. Metode ini tidak menentang agama, tetapi justru menggali ruh kesetaraan yang sudah terkandung dalam Al-Qur’an.

Pidato pengukuhan guru besar ini menegaskan bahwa tafsir bukan warisan beku, melainkan medan dinamis yang bisa terus dikembangkan. Dan di sinilah, Gender Writing berdiri sebagai jembatan menuju penafsiran yang adil, reflektif, dan manusiawi.

Referensi

Febriani, Nur Arfiyah. 2025. Menafsir Ulang Gender dalam Al-Qur’an: Kritik Falosentrisme dan Rekonsiderasi Stereotipe Tafsir Patriarki. Jakarta: Young Progressive Muslim.

Hikayat yang Menggetarkan: Menyelami Kitab Al-Mawa’idhul Ushfuriyah

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement