SURAU.CO – Di tengah masyarakat Muslim Indonesia, kemampuan membaca Al-Qur’an memiliki makna yang mendalam. Aktivitas ini bukan sekadar keterampilan teknis. Ia adalah sebuah literasi spiritual yang membentuk fondasi moral dan identitas kultural. Karena itu, cara seseorang mempelajari Kitab Suci menjadi sangat penting. Sebuah metode pembelajaran idealnya tidak hanya efisien, tetapi juga berakar pada kearifan lokal seraya mampu menjawab tantangan zaman.
Selama puluhan tahun, dua metode besar mengisi dunia pendidikan Qur’ani di nusantara: metode Turutan (Baghdadiyah) dan metode Iqra. Keduanya membawa tujuan mulia untuk memberantas buta aksara Al-Qur’an. Namun, keduanya lahir dari era yang berbeda dan mewakili pendekatan yang sangat kontras. Perdebatan antara keduanya seolah mencerminkan dua wajah masyarakat kita: wajah yang khusyuk menjunjung tradisi dan wajah yang dinamis menyambut inovasi.
Mari kita kupas tuntas kedua metode ini, mulai dari teknis, filosofi, hingga dampak sosial-budaya yang keduanya hasilkan.
Metode Turutan: Pilar Tradisi, Kesabaran, dan Kedalaman
Warisan Klasik yang Teruji Zaman
Metode Turutan, atau Baghdadiyah, adalah metode klasik yang telah mengakar selama berabad-abad. Para ulama di seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia, telah lama menggunakan pendekatan ini. Hingga hari ini, madrasah-madrasah tradisional seperti Madin Al-Farabi di Cabean, Salatiga, terus mempertahankan metode ini sebagai warisan keilmuan yang tak ternilai.
Membedah Cara Kerja Metode Turutan
Pendekatan Turutan bersifat sintetik-analitik. Artinya, metode ini memulai dari elemen terkecil sebelum merangkainya menjadi satu kesatuan. Prosesnya sangat terstruktur dan menuntut ketekunan tinggi dari para santri.
-
Mengenal Huruf Tunggal: Pertama, santri menghafal 29 huruf hijaiyah secara terpisah, dari Alif hingga Ya’.
-
Mengeja Suku Kata (Hija’): Inilah inti dari metode Turutan. Santri belajar mengeja setiap huruf yang telah mendapat harakat. Mereka mengucapkannya secara verbal, seperti, “Alif fathah berbunyi ‘a’, Ba’ fathah berbunyi ‘ba'”. Mereka mengulang proses ini hingga pelafalannya benar-benar fasih.
-
Menggabungkan Kata: Setelah mahir mengeja suku kata, santri mulai belajar merangkai dua atau tiga huruf menjadi satu kata yang utuh.
-
Membaca Kalimat Sempurna: Pada tahap akhir, santri berlatih membaca kalimat pendek yang umumnya diambil dari Juz ‘Amma.
Filosofi di Balik Proses yang Mendalam
Metode Turutan tidak sekadar mengajarkan cara membaca. Ia secara aktif menanamkan nilai-nilai fundamental dalam tradisi pesantren. Kesabaran menjadi kebajikan utama. Proses belajar yang lambat dan berulang-ulang para santri anggap sebagai bentuk latihan spiritual (riyadhah).
Relasi guru-santri pun menjadi sangat sentral. Santri biasanya duduk melingkar (halaqah), menyimak bacaan guru, lalu menirukannya bersama-sama. Interaksi langsung ini memastikan setiap kesalahan makhraj (tempat keluarnya huruf) dan tajwid bisa segera guru koreksi.
“Dengan metode Turutan, santri belajar sabar dan disiplin. Mereka benar-benar paham huruf sebelum masuk ayat,” ujar Ustadz Trimakno dari Madin Al-Farabi.
Ucapan ini menegaskan keunggulan utama Turutan: kualitas pelafalan yang terjaga sejak dini. Namun, di era modern, prosesnya yang lambat bisa menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak yang terbiasa dengan stimulasi instan.
Metode Iqra: Inovasi, Kecepatan, dan Kemandirian
Inovasi Cerdas yang Menjawab Kebutuhan Zaman
Memasuki akhir abad ke-20, masyarakat Indonesia mengalami perubahan sosial yang pesat. Keluarga urban membutuhkan pendekatan belajar yang lebih praktis. Menjawab kebutuhan ini, KH. As’ad Humam dari Yogyakarta melahirkan sebuah terobosan fenomenal pada era 1990-an: metode Iqra.
Mekanisme Praktis dan Cepat
Metode Iqra menggunakan pendekatan sintetik global. Artinya, metode ini langsung memperkenalkan bunyi tanpa perlu mengeja nama huruf. Inovasi ini secara drastis mengubah cara belajar mengaji.
-
Langsung Belajar Bunyi: Anak tidak perlu menghafal “Alif, Ba’, Ta'”. Mereka langsung belajar mengucapkan “a, ba, ta”.
-
Sistem Jilid yang Progresif: KH. As’ad Humam menyusun materi dalam 6 jilid tipis yang sangat sistematis. Setiap jilid memperkenalkan konsep baru secara bertahap, mulai dari harakat dasar, bacaan panjang, hingga aturan tajwid yang lebih rumit.
-
Mendorong Santri Aktif Belajar (CBSA): Iqra sengaja dirancang agar santri bisa belajar lebih mandiri. Guru atau orang tua lebih berperan sebagai fasilitator. Santri aktif membaca dan mengulang sendiri hingga lancar sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.
Filosofi Efisiensi untuk Generasi Modern
Filosofi Iqra adalah demokratisasi pendidikan Al-Qur’an. KH. As’ad Humam ingin agar siapa pun bisa belajar membaca Al-Qur’an dengan cepat, tanpa memandang latar belakang atau kesibukan. Kecepatan menjadi daya tarik utamanya. Seorang anak bisa menyelesaikan 6 jilid dan mulai membaca Al-Qur’an hanya dalam beberapa bulan.
Pencapaian yang cepat ini sangat memotivasi anak. Sifatnya yang terstandardisasi juga membuatnya mudah diterapkan di berbagai institusi. Akan tetapi, kecepatan ini menuntut peran aktif fasilitator. Jika kurang jeli, detail tajwid dan makhraj bisa terlewatkan, sehingga santri lancar membaca namun kualitasnya kurang terjaga.
Harmonisasi Dua Kekuatan di Era Digital
Bukan Membenturkan, Melainkan Melengkapi
Membenturkan kedua metode ini bukanlah pendekatan yang bijak. Keduanya hadir untuk mengisi kebutuhan yang berbeda. Turutan mencerminkan budaya komunal yang menghargai proses, sementara Iqra adalah cerminan budaya urban yang mengutamakan efisiensi.
| Aspek | Metode Turutan (Baghdadiyah) | Metode Iqra |
| Fokus Utama | Kualitas pelafalan & tajwid sejak awal. | Kelancaran dan kecepatan membaca. |
| Peran Guru | Sentral, sumber ilmu dan adab. | Fasilitator, motivator, korektor. |
| Proses Belajar | Komunal, klasikal, berulang-ulang. | Individual, mandiri, progresif. |
| Konteks Ideal | Pesantren, TPA desa, komunitas dengan waktu luang. | Sekolah formal, TPA kota, keluarga sibuk. |
Tren Hibridisasi Masa Kini
Di era sekarang, banyak lembaga pendidikan cerdas yang menggabungkan keunggulan keduanya. Misalnya, sebuah TPA mungkin menggunakan metode Iqra untuk tahap awal agar anak cepat termotivasi. Setelah lancar, mereka membuka kelas lanjutan Tahsin (perbaikan bacaan). Di kelas Tahsin inilah mereka menerapkan prinsip-prinsip detail ala Turutan.
Transformasi digital juga mempercepat tren ini. Banyak aplikasi belajar mengaji yang mengadopsi struktur jilid Iqra. Namun, aplikasi tersebut menyisipkan fitur di mana anak bisa mengklik satu huruf untuk mendengar cara pengejaan klasiknya. Ini adalah bentuk harmonisasi yang sangat efektif.
Panggilan Aksi: Wujudkan Generasi Qur’ani yang Utuh
Kesimpulan: Memilih Jalan yang Paling Tepat
Pada akhirnya, tidak ada metode yang paling unggul secara mutlak. Pertanyaannya bukanlah “mana yang lebih baik?”, melainkan “mana yang lebih cocok untuk anak dan lingkungan kita?” Pilihan metode harus mempertimbangkan karakter anak, ketersediaan waktu, dan tujuan akhir yang ingin kita capai.
Jika Anda ingin menanamkan kecintaan pada proses dan memastikan penguasaan tajwid yang mendalam, metode Turutan menawarkan fondasi yang kokoh. Namun, jika prioritas Anda adalah efisiensi dan membangun kepercayaan diri anak dengan cepat, metode Iqra menyediakan solusi yang brilian.
Tujuan Akhir: Membentuk Manusia Qur’ani
Yang terpenting dari semuanya, kita harus sadar bahwa mengajarkan Al-Qur’an adalah proses menanamkan cinta. Apa pun metodenya, kita wajib mengiringi proses belajar dengan pengajaran adab, kisah-kisah inspiratif, dan teladan yang baik. Karena tujuan tertinggi kita bukanlah sekadar melahirkan generasi yang fasih membaca, melainkan generasi yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pemandu dalam setiap langkah hidupnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
