Pendidikan
Beranda » Berita » Fatherless: Luka Hening yang Menggema Seumur Hidup

Fatherless: Luka Hening yang Menggema Seumur Hidup

Fatherless, luka seorang anak
Luka masa kecil yang diwariskan

Surau.co. Ketika kita membicarakan luka masa kecil, tak semua terlihat dalam bentuk tangisan atau kekerasan. Ada luka yang begitu hening, begitu dalam, hingga tak mampu dijelaskan dengan kata-kata. Salah satunya adalah menjadi fatherless, bukan hanya karena ditinggal secara fisik, tetapi karena sosok ayah hadir tanpa benar-benar hadir. Luka ini sunyi, tetapi menggema seumur hidup.

Sejak kecil, ia sering melihat teman-temannya digendong ayah mereka. Sementara itu, ia hanya bisa menatap dari kejauhan. Meskipun ayahnya ada, kehadiran itu tak pernah benar-benar terasa. Maka, ia belajar, mungkin aku memang tidak cukup layak untuk dipeluk ayah. Kemudian, saat ia mulai bertanya kepada ibunya, “Ma, ayah ke mana?”, ibunya hanya terdiam atau mengalihkan topik pembicaraan. Karena itu, ia belajar untuk tidak bertanya lagi. Ia mengira, “jika aku bertanya tentang ayah, semua jadi sedih. Mungkin lebih baik aku simpan sendiri.” Ia pun belajar untuk diam.

Seiring waktu, ia tumbuh dan merasa bingung tentang siapa dirinya. Ia tidak menemukan sosok panutan yang bisa dijadikan contoh. Akhirnya, ia mencari figur ayah di luar rumah, pada guru, teman, bahkan lingkungan yang keliru. Ketika dewasa, ia tampak mandiri. Namun sesungguhnya, ia menyimpan kekosongan yang belum terselesaikan. Ia mudah cemas, sulit percaya diri, dan bingung saat harus menjadi pemimpin. Kemudian, ketika ia menikah dan menjadi ayah, ia panik saat anaknya menangis. Ia tersadar, ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak kecil, ia memang tidak pernah melihat rekaman nyata tentang bagaimana menjadi seorang ayah.

Apa itu Fatherless?

Secara umum, banyak orang memahami fatherless secara sempit, yaitu sebagai kondisi anak yang tumbuh tanpa ayah karena perceraian atau kematian. Namun, dalam konteks yang lebih luas, fatherless juga menggambarkan anak yang dibesarkan oleh ayah yang secara emosional absen. Ayah tersebut hadir secara fisik, tetapi tidak pernah membangun koneksi batin, tidak memberikan dukungan emosional, dan tidak menemani dalam proses tumbuh kembang anak.

Fenomena ini cukup umum, terutama di masyarakat yang masih memegang citra maskulinitas yang kaku. Masyarakat menanamkan bahwa laki-laki tidak boleh lemah, tidak boleh menangis, dan tidak perlu menunjukkan kasih sayang secara verbal. Akibatnya, banyak anak laki-laki tumbuh dalam kekeringan emosional yang mereka warisi dari ayah mereka sendiri.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Fatherless Bukan Sekadar Kehilangan Sosok

Kehilangan ayah bukan hanya soal kepergian fisik. Fatherless juga berarti kehadiran yang kosong. Sosok itu hidup bersama kita, tetapi tak pernah menyapa hati kita. Ia mungkin sibuk, kaku, atau bahkan dingin. Ia tidak berperan sebagai pelindung, teladan, maupun penguat.

Dalam Islam, Allah menyebut laki-laki sebagai pemimpin dan pelindung dalam keluarga:

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.” (QS. An-Nisa: 34)

Namun, bagaimana mungkin seseorang mampu memimpin dengan kasih jika sejak kecil ia tidak pernah dipimpin oleh kasih? Bagaimana bisa ia melindungi jika tak pernah merasa aman? Dan bagaimana bisa menjadi ayah jika ia tak pernah disentuh oleh kasih seorang ayah?

Efek Jangka Panjang yang Nyata

Studi dari The Journal of Marriage and Family (2020) menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa keterlibatan emosional dari ayah cenderung mengalami gangguan kepercayaan diri, kesulitan dalam regulasi emosi, dan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi saat dewasa.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Selain itu, peneliti psikologi dari University of Maryland, Dr. Kevin Shafer, menyampaikan bahwa fatherlessness merupakan “trauma psikososial yang tidak selalu disadari, tetapi berpengaruh pada hampir semua aspek perkembangan identitas diri dan kapasitas hubungan jangka panjang.”

Pentingnya Memutus Rantai Luka

Jika luka ini tidak disembuhkan, maka luka itu bisa diwariskan. Anak-anak dari ayah yang hanya hadir secara fisik tetapi tidak secara emosional, berpotensi menjadi ayah yang juga tidak mampu membangun koneksi emosional. Dengan kata lain, laki-laki yang tumbuh dalam pola seperti itu kemungkinan besar akan mengulangi pola yang sama saat mereka menjadi orang tua. Mereka menjadi ayah yang sulit terhubung secara emosional dengan anak-anaknya.

Namun, kabar baiknya: rantai ini bisa kita putus.

Langkah pertama adalah menyadari bahwa luka itu ada. Bahwa masa kecil yang sunyi tidak harus menjadi penjara seumur hidup. Kita bisa belajar, berubah, dan menjadi sosok ayah yang dulu kita harapkan.

Menjadi ayah bukan soal tahu segalanya, melainkan tentang berani hadir sepenuhnya.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Menjadi Ayah yang Baru

  1. Belajar mendengar anak tanpa buru-buru menghakimi.
  2. Hadir dalam momen-momen kecil yang sederhana, misalnya mendengarkan cerita anak sepulang sekolah, menemani bermain, makan bersama, atau sekadar menjawab pertanyaan polos seperti, “Kenapa langit biru?”.
  3. Membiasakan pelukan dan kata sayang, memberi validasi bahwa mereka dicintai dan berharga tanpa syarat, bukan hanya karena nilai sempurna, prestasi tinggi, atau karena menjadi “anak baik.”
  4. Membuka diri untuk belajar, baik dari psikolog maupun komunitas parenting, agar terus bertumbuh sebagai orang tua.

Fatherless adalah luka sunyi yang menjejak sepanjang hidup. Kita bisa memilih: membiarkan luka itu terus berlanjut, atau mengubahnya menjadi pelajaran. Mungkin kita tak pernah tahu rasanya dipeluk ayah. Namun hari ini, kita bisa memilih untuk memeluk anak-anak kita dan berkata: “Kamu cukup. Kamu berharga. Dan Ayah di sini.”

Daftar Referensi

  1. Edufic.id. (2025, Juni 17). Fatherless: Luka hening yang menggema seumur hidup [Foto]. Instagram. https://www.instagram.com/p/DK_3vafSp__/?utm_source=ig_web_copy_link
  2. Qur’an Surah An-Nisa [4]: Ayat 34
  3. Rohner, R. P., & Veneziano, R. A. (2001). The importance of father love: History and contemporary evidence. Review of General Psychology, 5(4), 382–405.
  4. Shafer, K., Jensen, T. M., & Holmes, E. K. (2020). Father absence, father involvement, and children’s psychological adjustment: A meta-analysis. Journal of Marriage and Family, 82(3), 1102–1120.

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement