SURAU.CO. Keagungan Imam Ghazali sebagai Hujjatul Islam telah terpatri kuat dalam sejarah. Namanya tidak hanya abadi melalui karya-karyanya. Kedudukannya juga terabadikan dalam kisah-kisah spiritual yang menakjubkan. Salah satu kisah paling masyhur menunjukkan betapa istimewanya beliau di mata Rasulullah SAW. Kisah ini menjadi bukti nyata mengapa gelar Hujjatul Islam begitu melekat pada dirinya.
Saat Rasulullah Membanggakan Imam Ghazali
Sebuah kisah karomah luar biasa datang dari Imam Abu Hasan Asy-Syadzili. Beliau adalah pendiri Tarekat Syadziliyah yang sangat dihormati. Dalam sebuah mimpi, Imam Asy-Syadzili menyaksikan sebuah pemandangan agung. Ia melihat Rasulullah SAW berkumpul dengan dua nabi besar, yaitu Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS.
Dalam pertemuan mulia itu, ternyata ada sosok ulama lain yang hadir, yaitu Imam Al-Ghazali. Imam Asy-Syadzili melihat Rasulullah SAW dengan bangga menampilkan Imam Ghazali di hadapan kedua nabi tersebut. Rasulullah kemudian mengajukan sebuah pertanyaan yang menegaskan keilmuan umatnya.
Nabi Muhammad berkata, ”Apakah ada di antara umat kalian berdua ada orang alim seperti al Ghazali ini?”
Kedua nabi itu pun memberikan jawaban yang sama. Mereka mengakui kehebatan sang ulama.
“Tidak ada umat kami, seorang alim seperti Al Ghazali ini,” ungkap keduanya.
Kisah menakjubkan ini dinukil oleh Imam Ibnu As-Subuki. Beliau mendapatkannya langsung dari Imam Abu Hasan Asy-Syadzili. Kisah tersebut termuat dalam buku Kisah-Kisah Ajaib Imam Al Ghazali karya Mukti Ali ini sebagai penanda tingginya derajat sang imam.
Mengenal Hujjatul Islam, Sang Pembaru Abad Kelima
Imam Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i. Beliau lahir di Such, Iran, pada tahun 1058 M (450 H). Ia wafat di kota kelahirannya pada tahun 1111 M (505 H). Sosoknya dikenal sebagai filsuf, teolog, dan pemikir besar dari Persia.
Kontribusinya sangat besar bagi peradaban Islam dan dunia. Beliau pernah memegang jabatan prestisius di Madrasah Nizhamiyah, Bagdad. Madrasah ini merupakan pusat pendidikan tinggi paling terkemuka di masanya. Karya-karya Imam Ghazali terus hidup hingga kini. Para santri di berbagai belahan dunia masih mengkajinya.
Karya monumentalnya,Ihya Ulumuddin, menjadi referensi utama bagi ulama lintas generasi. Kitab ini membahas penyucian jiwa, fikih, akidah, dan akhlak secara mendalam. Pengaruhnya yang begitu kuat membuat banyak ulama besar memberikan bukti atas kehebatannya.
Gelombang Pujian dari Para Ulama Terkemuka
Pujian untuk Imam Ghazali tidak hanya datang dari mimpi spiritual. Para ulama besar setelahnya secara terang-terangan mengakui keluasan ilmunya. Mufasir masyhur, Ibnu Katsir, memberikan sanjungan tinggi. Beliau bersabda, “Al Ghazali adalah ulama yang paling cerdas dalam segala bidang keilmuan dan pimpinan para pemuda.”
Sementara itu, Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Asakir menegaskan sebagai pembaharu. Beliau berkata: “Abu Hamid Al-Ghazali adalah seorang mujaddid abad ke lima hijriyah.” Imam Ibnu Al-Jauzi mengakui kualitas karya tulis Al-Ghazali yang tak tertandingi. Beliau berkata: “Al-Ghazali telah banyak menulis buku dalam bidang usul fikih dan fikih. Sulit mencari padanannya dalam hal kualitasnya, runutnya sistematika dan validitas sumber-sumbernya,” ungkapnya.
Murid seniornya, Muhammad bin Yahya, bahkan memberinya julukan agung. Ia menyebut Al-Ghazali adalah “Syafi’i kedua”, menyandingkannya dengan Imam Syafi’i sendiri.
Kritik yang Objektif: Pandangan Seimbang Para Ulama
Meski dipuja para ulama, namun Imam Ghazali tidak luput dari kritik. Namun, kritik yang datang justru menunjukkan objektivitas para ulama. Perbedaan pandangan ini umumnya muncul karena perbedaan sumber bacaan, metodologi, dan lingkungan keilmuan.
Para pengkritik pun tetap mengakui kecerdasan dan keutamaan sang Imam. Mereka mampu membedakan antara kekaguman pribadi dengan catatan ilmiah. Abu Bakar At-Turtusyi, misalnya, pernah berkata setelah bertemu dengannya. “Aku melihat seorang lelaki, lalu aku mengajaknya berbicara. Lalu aku melihat bahwa ia adalah seorang ahli ilmu, dan karena itu ia memiliki keutamaan, ia adalah orang yang cerdas dan pintar serta semangat dalam mencari ilmu.”
Bahkan Ibnu Taimiyah, yang sering memberikan catatan kritis, memberi pandangan seimbang terhadap kitabIhya Ulumuddin. Beliau mengatakan bahwa “apa yang bermanfaat dalam kitab Ihya’ itu masih lebih banyak dari apa yang harus ditolak.”
Pandangan ini membuktikan bahwa keagungan Imam Ghazali diakui secara luas. Bahkan oleh mereka yang memiliki pandangan berbeda sekalipun. Sikap tujuan ini menjaga tradisi keilmuan Islam tetap hidup, di mana pujian tidak membuat buta dan kritik tidak menghilangkan rasa hormat. ( Dari berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
