Khazanah
Beranda » Berita » Iqra dan Turutan Lebih dari Sekedar Buku. Kenangan, Tuntunan dan Simbol Kolaborasi NU-Muhammadiyah

Iqra dan Turutan Lebih dari Sekedar Buku. Kenangan, Tuntunan dan Simbol Kolaborasi NU-Muhammadiyah

Ilustrasi anak-anak belajar ngaji dengan gurunya. AI
Ilustrasi anak-anak belajar ngaji dengan gurunya. AI

Surau.co -Di serambi masjid kecil di sudut sebuah kampung di Sumber, Cirebon, Jawa Barat, anak-anak mengeja huruf hijaiyah dengan suara yang bertalu-talu. Kadang mereka bersuara nyaring, kadang pelan karena ragu-ragu. Sesekali, guru ngaji mengoreksi bacaan mereka. Meski peristiwa itu terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu, saya masih mengingatnya dengan sangat jelas.

Anak-anak seusia kelas 1 SD memegang buku kecil berjilid spiral dengan sampul bergambar masjid dan tulisan besar. Mereka membaca buku bertuliskan “Iqra 1” di bagian atas sampulnya.

Di sebelah mereka, anak-anak yang lebih tua membuka buku Turutan. Mereka menyimak tanda waqaf dan panjang pendek harakat dengan serius. Meskipun suasana ramai oleh suara bertalu-talu, mereka tetap bisa berkonsentrasi bersama

Iqra dan Turutan Lebih dari Sekedar Buku

Suara yang dulu terdengar bising, anehnya kini menenangkan dan membangkitkan kerinduan mendalam saat saya mengingatnya kembali. Karena itu, bagi banyak muslim generasi milenial—termasuk saya—Iqra dan Turutan bukan hanya alat bantu belajar. Kami menganggap keduanya sebagai bagian dari nostalgia masa kecil, dari suasana sore selepas asar di musala kampung. Kami mengenangnya lewat suara lembut guru ngaji yang membetulkan bacaan, serta dari usaha tekun kami mengeja satu huruf demi satu ayat.

Tak heran jika banyak orang memilih menyimpan jilid Iqra mereka sebagai kenangan spiritual pertama. Saya bahkan percaya, beberapa orang masih bisa mengingat bagaimana rasanya naik dari jilid 2 ke jilid 3, atau betapa harunya momen saat pertama kali mereka berhasil membaca ayat Al-Qur’an tanpa bantuan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Kita harus mengakui bahwa dua buku itu—Iqra dan Turutan—telah membuka jalan awal bagi banyak muslim Indonesia dalam belajar membaca Al-Qur’an. Meski menggunakan pendekatan berbeda, keduanya membawa cerita dan sejarah masing-masing yang turut membentuk wajah pendidikan keislaman kita hari ini.

Lebih dari sekadar buku, Iqra dan Turutan mencerminkan perpaduan ideal dari dua organisasi besar—Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama—dalam mendorong kemajuan Islam di Indonesia. Tokoh Muhammadiyah menciptakan Iqra, sementara Nahdlatul Ulama mewariskan tradisi Turutan yang sudah lebih dulu ada.

Muhammadiyah dan NU memang berbeda dalam banyak hal, termasuk metode belajar. Namun keduanya memiliki tujuan yang sama: menumbuhkan kecintaan pada Al-Qur’an. Seperti kata Soe Hok Gie, “Berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta”—kutipan yang sangat pas untuk menggambarkan hal ini.

Iqra: Revolusi Belajar Ngaji di Era Modern

Menurut laman resmi Muhammadiyah, Kyai Haji As’ad Humam mengembangkan metode Iqra. Beliau adalah tokoh Muhammadiyah yang bersama Tim Tadarus AMM (Angkatan Muda Masjid dan Mushalla) di Yogyakarta mulai mengkaji metode ini pada awal 1990-an. Mereka memulai kajian tersebut karena merasa prihatin dengan metode pembelajaran membaca Al-Qur’an yang saat itu masih bersifat tradisional. Metode lama dianggap terlalu memakan waktu dan sulit dipahami.

Anak-anak harus menghafal nama huruf satu per satu terlebih dahulu. Ketika mulai membaca ayat Al-Qur’an, mereka sering kesulitan menghubungkan huruf dengan harakat. Melihat hal ini, Kiai As’ad menyadari adanya kebutuhan mendesak untuk menciptakan metode belajar membaca Al-Qur’an yang lebih efisien, sistematis, dan sesuai dengan cara belajar anak-anak masa kini.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Dari situ, beliau dan timnya melahirkan metode Iqra. Metode ini terdiri dari enam jilid dan menggunakan pendekatan fonetik. Anak-anak langsung membaca huruf yang sudah diberi harakat, tanpa harus menghafal nama huruf terlebih dahulu.

“Iqra ini cepat. Anak-anak bisa mulai baca Al-Qur’an dalam waktu 3 sampai 6 bulan kalau rutin belajar,” ujar Bu Asiyah, salah satu pengajar di TPA Jakarta Barat—tempat anak saya belajar ngaji dua tahun lalu.

Metode ini juga memudahkan para pengajar. Mereka dapat membimbing anak sesuai level masing-masing karena setiap anak membawa bukunya sendiri dan belajar secara individual. Ada yang masih di Iqra 1, ada yang sudah di Iqra 2, dan seterusnya.

Iqra menjadi populer bukan hanya karena efektivitasnya, tetapi juga karena tampilannya yang sederhana dan mudah dipahami—bahkan oleh anak-anak usia di bawah 4 tahun. Saat ini, buku Iqra sangat mudah didapatkan, harganya terjangkau, dan tersedia dalam berbagai versi: dari cetakan biasa hingga versi digital interaktif.

Turutan: Warisan Tradisi Pesantren yang Tetap Hidup

Jauh sebelum hadirnya Iqra, para guru di pesantren dan madrasah sudah lebih dulu mengenalkan metode Turutan. Mereka menyebutnya turutan karena metode ini mengajarkan huruf hijaiyah dan harakat secara berurutan dan bertahap. Proses belajarnya dimulai dengan mengenalkan huruf hijaiyah, lalu dilanjutkan dengan harakat (fathah, kasrah, dhammah), tanwin, sukun, tasydid, hingga akhirnya anak-anak atau santri mulai membaca ayat-ayat pendek dari Al-Qur’an.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Para pengajar menggunakan metode turutan untuk menanamkan ketelitian dan memperkuat dasar bacaan. Banyak guru memilih metode ini terutama saat mengajar orang dewasa, terutama generasi yang lebih tua dan terbiasa dengan pendekatan yang pelan dan sistematis. Tak sedikit pula santri yang memulai perjalanan belajarnya dengan turutan sebelum melanjutkan ke pelajaran Al-Qur’an dan tafsir yang lebih mendalam.

Buku turutan juga hadir dalam berbagai variasi, tergantung daerah dan penerbitnya. Beberapa guru menggunakan model Baghdadiyah, yang merupakan warisan dari sistem pengajaran Al-Qur’an di Timur Tengah. Buku ini memadukan metode hafalan nama huruf dengan praktik membaca berulang-ulang. Dengan cara ini, generasi Indonesia terdahulu berhasil belajar membaca Al-Qur’an secara perlahan tapi pasti.

Perbandingan Mana yang Lebih Baik?

Pertanyaan yang sering muncul di tengah masyarakat adalah: mana metode yang lebih baik, Iqra atau Turutan? Membenturkan dan membandingan kedua metode yang sama-sama berkontribusi rasanya tidak tepat. Namun jika dipaksa harus menjawab, jawabannya tergantung pada konteks, kebutuhan, dan karakter peserta didik.

Saya menilai metode Iqra cocok bagi anak-anak usia dini yang ingin cepat bisa membaca. Sedangkan metode Turutan lebih tepat untuk mereka yang ingin membangun pondasi kuat dalam bacaan tajwid dan struktur bahasa Arab. Bahasa sederhanya, cocok untuk tingkat lanjut.

Terbukti, kini banyak lembaga pendidikan Islam, seperti TPA dan madrasah diniyah, menggabungkan keduanya. Anak-anak mulai dengan Iqra untuk mempercepat kemampuan membaca, lalu setelah menyelesaikan jilid 6, mereka lanjut ke buku Turutan. Saya termasuk yang menggunakan metode campuran ini dulu, 25 tahun lalu.

Meski kedua metode itu lahir dari Rahim dua organisasi islam yang berbeda, pada praktiknya dikotomi itu nyaris tidak lagi ditemukan. Di sekolah-sekolah NU, Iqra banyak digunakan sebagai metode pembelajaran. Sebaliknya, turutan juga masih di temui di masjid yang berafiliasi Muhammadiyah.

Mungkin Tergantikan, Namun Tak Terlupakan

Apakah kedua instrumen ini akan abadi? Bisa jadi tidak. Sebagaimana sunatullah, dunia akan terus mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman. Hal ini, juga mungkin akan terjadi dalam metode belajar ngaji, berevolusi seiring waktu. Misalnya metode Ummi yang sekarang sedang tren.

Namun demikian, namun nilai-nilai yang dibawanya harus tetap terjaga: ketekunan, kesabaran, dan kecintaan pada Al-Qur’an. Entah melalui Iqra, Turutan, atau aplikasi digital, tujuannya tetap sama: mendekatkan umat pada kalam Ilahi.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Dan selama masih ada anak yang mengucap “Alif, ba, ta…” di bawah langit-langit langgar desa, selama itu pula semangat belajar ngaji akan terus hidup. Baik bersama Iqra dan Turutan, atau penggantinya kelak.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement