SURAU.CO – Pemerintah Indonesia mengambil sebuah langkah bersejarah. Mereka secara resmi mengajukan jamu ke UNESCO untuk diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Pengajuan ini merupakan puncak dari perjalanan ribuan tahun. Sebab, budaya sehat jamu telah menyatu dengan denyut nadi masyarakat nusantara. Tradisi ini terus diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari identitas bangsa.
Untuk mendukung pengajuan ini, pemerintah melakukan riset mendalam. Prosesnya melibatkan ratusan pelaku budaya dari seluruh penjuru negeri. Mereka terdiri dari perajin, penjual jamu gendong, hingga para konsumen setia. Hasilnya membuktikan bahwa jamu lebih dari sekadar minuman. Jamu adalah pengetahuan, tradisi, dan cara hidup yang berkelanjutan. Lantas, bagaimana sebenarnya perjalanan panjang jamu di Indonesia?
Jejak Awal dari Zaman Prasejarah
Ternyata, sejarah jamu jauh lebih tua dari yang kita duga. Para arkeolog menemukan petunjuk penting dari zaman Mesolitikum. Penemuan fosil lumpang dan alu batu mengindikasikan adanya aktivitas meramu tanaman. Alat-alat kuno ini diduga kuat berfungsi untuk menumbuk bahan-bahan herbal. Artinya, tradisi meracik jamu kemungkinan sudah ada sejak 10.000 tahun sebelum masehi. Sejak dulu, manusia purba di nusantara telah aktif memanfaatkan alam untuk menjaga kesehatan.
Bukti Nyata di Era Kerajaan Kuno
Selanjutnya, memasuki era kerajaan, bukti penggunaan jamu menjadi semakin konkret. Salah satu bukti termegah terukir abadi di dinding Candi Borobudur. Relief di sana secara jelas menggambarkan adegan orang sedang meracik ramuan. Selain itu, terdapat pula ukiran pohon Kalpataru yang melambangkan kehidupan abadi. Para ahli juga menemukan relief serupa di Candi Prambanan dan Candi Penataran. Bukti visual ini menunjukkan betapa mapannya tradisi jamu sejak abad ke-8.
Kemudian, dokumen tertulis turut memperkuat sejarah jamu. Naskah kuno Usada Bali yang ditulis di atas daun lontar menguraikan berbagai resep ramuan. Para sejarawan memperkirakan naskah ini berasal dari abad ke-10. Istilah “Djamoe” sendiri mulai tercatat secara resmi dalam Primbon Kartasuro pada abad ke-15. Hal ini menegaskan bahwa jamu bukan hanya praktik lisan, tetapi juga ilmu yang didokumentasikan secara serius.
Puncak Kejayaan di Masa Kolonial
Menariknya, pada masa kolonial, jamu justru mengalami perkembangan pesat. Kala itu, para dokter Eropa kesulitan menangani penyakit tropis. Obat-obatan dari negara asal mereka sering kali terlambat datang dan rusak di perjalanan. Oleh karena itu, mereka mulai melirik kearifan lokal. Banyak peneliti dari Belanda, Inggris, hingga Jerman menaruh minat besar. Mereka meneliti dan mendokumentasikan khasiat tanaman obat nusantara secara sistematis.
Salah satu buku penting dari era ini adalah Practical Observations on a Number of Javanese Medications (1829). Penulisnya, dr. Carl Waitz, menjelaskan bahwa ramuan Jawa bisa menggantikan obat-obatan Eropa. Setelah itu, penelitian ilmiah berlanjut di Kebun Raya Bogor. Pada akhirnya, para ahli berhasil membuktikan efek farmakologis dari berbagai tanaman obat nusantara.
Tantangan dan Kebangkitan Industri Modern
Meskipun begitu, penggunaan jamu sempat menurun pada awal abad ke-20. Penemuan bakteri oleh Louis Pasteur menjadi salah satu pemicunya. Teknologi Sinar-X juga turut menggeser pengobatan tradisional. Namun, era ini justru melahirkan para perintis industri jamu modern. Merek-merek legendaris seperti Jamoe Iboe (1910), Jamu Jago (1918), Nyonya Meneer (1919), dan Sido Muncul (1940) berdiri pada masa penuh tantangan ini.
Pasca kemerdekaan, pemerintah mulai menaruh perhatian lebih. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bahkan mengadakan konferensi khusus tentang jamu. Puncaknya, pada 28 Mei 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Hari Kebangkitan Jamu Indonesia. Kini, jamu kembali populer. Kafe-kafe jamu kekinian berhasil menarik minat anak muda. Inovasi produk juga membuat jamu lebih mudah diakses oleh semua kalangan.
Jamu Adalah Milik Seluruh Nusantara
Pada akhirnya, jelaslah bahwa jamu adalah warisan bersama. Meskipun identik dengan Jawa, budaya sehat ini hidup subur di seluruh Indonesia. Di Kalimantan, Suku Dayak memiliki pengetahuan ribuan tanaman obat. Di Minahasa, masyarakat meracik ramuan segar untuk pengobatan. Kekayaan inilah yang membuat jamu menjadi aset budaya tak ternilai yang pantas kita jaga dan dunia akui.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
