Surau.co – Di Tiongkok, sebuah tren gaya hidup diam-diam berkembang. Mereka menyebut diri mereka Rat People atau manusia tikus. Mengutip pemberitaan newsweek.com, gaya hidup baru ini dilakukan orang-orang muda yang memilih hidup sederhana. Bahkan ‘tersembunyi’, demi menghindari tekanan hidup yang menggila.
Di Tiongkok, istilah ini muncul untuk menggambarkan para pekerja muda yang tinggal di kamar sempit, jauh dari pusat kota, dan menjalani hidup seadanya. Mereka menolak perlombaan karier, tak tergiur gemerlap gaya hidup, dan tak peduli pada citra sosial.
Meski baru menjadi wacana di Tiongkok, gaya hidup ini kini mulai merebak ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di lingkungan sekitar saya bekerja misalnya, mulai muncul orang-orang yang memilik resign dan pulang kampung untuk menjalani gaya hidup ini. “Dapat sedikit, hati tenang,” ujarnya.
Dan di Jakarta, di balik kos-kosan sempit dan kamar kontrakan yang tak seberapa luas, juga tumbuh generasi yang tidak lagi mengejar status sosial, gaji fantastis, atau rumah mewah. Yang mereka cari adalah ketenangan, cukup makan, dan waktu untuk diri sendiri.
Di tengah gempuran kapitalisme, mereka memilih menyelamatkan kesehatan mental. Namun, di balik kesederhanaan yang mereka anut, muncul pertanyaan penting: apakah gaya hidup Rat People sejalan dengan prinsip Islam?
Sederhana Boleh, Anti Tekanan Sosial Jangan
Dalam Islam, hidup sederhana bukan hanya dibenarkan, tapi justru diteladankan. Rasulullah SAW sang pemimpin umat memberi contoh hidup dalam kesahajaan. Kesederhanaan beliau bukan karena keterpaksaan, tapi karena kesadaran akan hakikat dunia yang fana.
Prinsip ini ditegaskan dalam banyak hadits. “Hiduplah di dunia seakan-akan engkau seorang musafir.” (HR. Bukhari).
Tapi ini bukan ajakan untuk mengabaikan dunia, melainkan untuk menempatkannya pada porsi yang tepat. Islam tidak mendorong glamor, tapi menganjurkan cukup.
Problemnya, banyak Rat People memilih gaya hidup ini karena lelah, bahkan menyerah. Sehingga memilih bersembunyi dari struktur social, bahkan cenderung anti sosial. Yang terpenting, semua tercukupi meski sedikit.
Nah, Islam tidak membenarkan sikap apatis dan menarik diri total dari tanggung jawab sosial. Umat Islam diminta aktif dan produktif. Bahkan bila memungkinkan, hidup memberi manfaat.
Bila gaya hidup Rat People membuat seseorang enggan menikah, enggan bekerja, dan enggan berkontribusi, maka itu bertentangan dengan semangat Islam. Hidup di dunia tetap butuh perjuangan. Bukan untuk menumpuk harta, tapi untuk menunaikan amanah.
Pasrah Berbeda dengan Tawakal
Sebagian Rat People bersikap “biarlah hidup begini saja,” pasrah pada keadaan. Dalam Islam, pasrah yang sehat adalah tawakkal. Berserah setelah usaha maksimal.
Rasulullah mengingatkan: “Ikatlah untamu, lalu bertawakkallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi).
Islam tidak membenarkan kepasrahan total tanpa ikhtiar. Maka, pilihan untuk hidup sederhana harus diiringi dengan semangat tanggung jawab. Tetap bekerja, tetap berkarya, dan tetap memberi manfaat bagi sekitar.
Islam dan Rat People, Bisa Sejalan dengan Syarat
Fenomena Rat People adalah respons dari sistem hidup yang semakin menekan. Dalam beberapa hal, mereka mencerminkan nilai Islam: hidup sederhana, menjauhi konsumtivisme, dan menjaga kesehatan mental.
Tapi, bila kesederhanaan itu menjelma menjadi kemalasan, pelarian, atau ketidakpedulian terhadap tugas hidup, maka itu keliru.
Islam tidak mewajibkan kita sukses menurut ukuran dunia. Tapi Islam mewajibkan kita menjadi pribadi yang berusaha, bersyukur, dan bertanggung jawab. Maka, bukan masalah jika kita tinggal di rumah, asal secukupnya dan tetap ikhtiar, bekerja keras dalam hidup serta menjalankan peran sebagai makhluk sosial.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
