Kalam
Beranda » Berita » Turutan dan Iqra’: Narasi Budaya dalam Tradisi Mengaji Anak Nusantara

Turutan dan Iqra’: Narasi Budaya dalam Tradisi Mengaji Anak Nusantara

Belajar Mengaji
Ilustrasi Belajar Mengaji

SURAU.CO Tradisi mengaji di Indonesia bukan semata-mata praktik keagamaan, melainkan juga warisan budaya yang membentuk karakter, spiritualitas, dan jati diri anak-anak bangsa. Di balik sunyi surau, langar, dan serambi rumah di pelosok Nusantara, sejarah literasi Islami tumbuh dari suara lirih anak-anak yang mengeja: alif, ba, ta…. Bukan dari ruang ber-AC atau kelas bergelar digital, melainkan dari tikar pandan dan pelita minyak—simbol kesederhanaan dan ketekunan.

Di tengah atmosfer itulah, dua kitab kecil bernama Turutan dan Iqra’ menjadi pintu pertama yang membuka dunia Al-Qur’an bagi jutaan anak Muslim Indonesia. Keduanya bukan hanya alat bantu membaca, melainkan juga cerminan nilai, budaya, dan sistem pendidikan Islam yang khas dan membumi.

Turutan dan Iqra’ lebih dari sekedar buku panduan mengaji, keduanya menyimpan warisan berharga. cinta para kiai kampung terhadap ilmu, ketekunan dalam mendidik, dan pengabdian yang nyaris tanpa pamrih.

Kiai Kampung dan Ruh Pengabdian

Tak lengkap membicarakan Turutan dan Iqra’ tanpa menyebut peran sentral kiai kampung—sosok sederhana yang memikul beban besar dalam membina generasi. Salah satunya adalah Kiai Fauzi dari Dusun Krajan, Bondowoso. Sejak 1960-an, ia mengajar mengaji tanpa pernah meminta imbalan. “Yang penting mereka bisa baca Al-Qur’an. Saya tak membawa harta ke kubur, tapi mungkin ini jadi bekal nanti,” ujarnya sambil tersenyum, tubuh renta yang terus dibakar semangat.

Para kiai kampung tak sekadar guru. Mereka adalah penjaga adab, penyambung sanad keilmuan, dan penyala cahaya iman di tengah keterbatasan. Dengan ketulusan, mereka membuka rumah sebagai tempat mengaji, menyesuaikan jadwal anak-anak, dan mengawasi perkembangan satu per satu. Nilai yang mereka tanam bukan hanya soal makhraj dan tajwid, melainkan juga kisah para nabi, etika pergaulan, dan nasihat hidup yang sederhana namun mengakar.

Manajemen Waktu: Refleksi Mendalam Bab Bersegera dalam Kebaikan

Turutan: Jembatan Tradisi dan Religi

Turutan, atau yang sering disebut “kitab turutan”, telah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Buku ini berisi huruf-huruf hijaiyah yang disusun secara bertahap dan dilengkapi dengan harakat. Proses belajar dengan Turutan biasanya berlangsung di surau, langgar, atau rumah-rumah guru ngaji di kampung. Anak-anak duduk bersila, satu per satu maju menghadap kiai atau ustaz, membaca dengan suara pelan sambil diawasi ketat.

Metode ini sangat sederhana, tetapi efektif. Anak-anak belajar membaca dengan irama dan pengulangan, satu halaman diulang hingga lancar. Ketika salah, guru akan membetulkan secara langsung. Tak jarang, sapu lidi tipis ikut bicara, bukan untuk melukai, tetapi untuk mendisiplinkan dengan penuh kasih.

Turutan menciptakan suasana belajar yang tidak terburu-buru. Anak diajarkan untuk sabar, teliti, dan menghormati proses. Lebih dari itu, turutan memperkenalkan nilai penting: adab. Sebelum pandai membaca, anak diajari cara duduk yang baik, memberi salam, dan mencium tangan guru sebagai bentuk ta’dzim.

Iqra’: Inovasi dalam Pendidikan Qur’ani

Lahirnya metode Iqra’ pada akhir abad ke-20 menandai titik penting dalam pendidikan Al-Qur’an di Indonesia. Disusun oleh KH As’ad Humam dari Yogyakarta, metode Iqra’ menawarkan pendekatan yang lebih sistematis, modular, dan mandiri. Buku Iqra’ dibagi menjadi enam jilid yang memungkinkan siswa belajar dengan progresif sesuai kemampuan mereka.

Metode ini mempercepat proses pembelajaran dan memperluas akses bagi mereka yang tidak sempat mengaji di pesantren tradisional. Guru hanya perlu mengajar dan mengoreksi, sementara anak-anak bisa membaca sendiri. Dalam konteks masyarakat perkotaan dan mobilitas tinggi, Iqra’ menjadi jawaban atas kebutuhan zaman yang menuntut efisiensi.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Berbeda dengan Turutan yang berbasis interaksi langsung, Iqra’ memungkinkan anak belajar sendiri di rumah, dengan bimbingan ringan dari guru atau orang tua. Bahkan mereka yang bukan lulusan pesantren pun bisa mengajarkan. Meski lebih efisien, Iqra’ tetap menekankan pentingnya adab dan cinta terhadap Al-Qur’an. Buku ini menjadi jembatan spiritual yang praktis namun tidak kehilangan ruh pendidikan Islam.

Warisan Budaya dalam Dua Kitab Kecil

Turutan dan Iqra’ bukan sekadar buku bacaan, melainkan narasi budaya. Turutan mewakili akar tradisi yang menjunjung kesabaran dan penghormatan terhadap guru. Iqra’ mencerminkan semangat zaman: struktur, kecepatan, dan otonomi belajar. Meski berbeda dalam pendekatan, keduanya menyatu dalam tujuan—mengantarkan anak pada pemahaman Al-Qur’an dan nilai-nilai luhur Islam.

Dampak Besar Bagi Anak Muslim Indonesia

Di balik kesederhanaan metode Turutan dan sistematisnya Iqra’, terdapat dampak besar yang membentuk generasi Muslim Indonesia dari berbagai sisi:

  1. Penanaman Adab Sejak Dini
    Anak-anak diajarkan menghormati guru, menghargai waktu, menjaga kebersihan, dan bersikap tenang. Proses ini menjadi fondasi akhlak mereka di masa depan.
  2. Penguatan Iman dan Spiritualitas
    Mereka terbiasa dengan lafaz-lafaz suci sejak kecil. Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, tapi bagian dari memori dan cinta sejak usia dini  Ini memperkuat fondasi iman mereka. Banyak anak yang mulai mencintai Al-Qur’an sejak mengenal huruf hijaiyah, karena pengalaman mengaji menjadi kenangan manis yang penuh makna.
  3. Perkembangan Literasi dan KognitifMembaca Al-Qur’an sejak kecil mendorong anak untuk terbiasa membaca dan mengeja, yang secara tidak langsung mengembangkan kemampuan literasi mereka. Anak menjadi terbiasa dengan proses belajar dan terbuka terhadap ilmu baru.
  4. Pembentukan Karakter IslamiTradisi mengaji mengajarkan anak untuk menghormati guru, menjaga kebersihan, bersikap sabar, dan tidak mudah menyerah. Karakter ini menjadi bekal dalam kehidupan sosial.
  5. Pemberdayaan Sosial dan Keluarga
    Di banyak kampung, tradisi mengaji menjadi pengikat sosial. Anak-anak dari berbagai latar belakang duduk bersama, belajar bersama, tanpa memandang status ekonomi. Ini menciptakan semangat persaudaraan dan rasa tanggung jawab kolektif dalam membina generasi.

Merawat Warisan, Menyambut Masa Depan

Di era digital, godaan terhadap perhatian anak-anak semakin besar. Namun justru saat inilah kita perlu menghidupkan kembali semangat tradisi mengaji. Turutan dan Iqra’ bukan metode usang. Keduanya adalah warisan berharga yang bisa dikembangkan dengan pendekatan teknologi: video interaktif, aplikasi mengaji, hingga platform daring yang tetap menjunjung nilai luhur Islam.

Yang perlu dijaga adalah ruh-nya: keikhlasan dalam mengajar, kedekatan antara guru dan murid, serta semangat cinta terhadap Al-Qur’an. Dengan begitu, adaptasi tak menghilangkan esensi.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Sebuah Harapan: Menjaga Ruh Tradisi, Menyambung Amal

Turutan dan Iqra’ mungkin hanya buku tipis, namun di tangan para kiai kampung, keduanya menjadi pelita yang menerangi jalan hidup anak-anak negeri. Di dalamnya tersimpan nilai-nilai luhur: kesabaran, keikhlasan, rasa hormat, dan semangat dakwah dari para kiai kampung. Mereka tidak mengejar dunia, tapi membangun peradaban dari akar rumput.

Kini, ketika anak-anak lebih tertarik pada layar gawai daripada halaman mushaf, peran keluarga dan menjadi masyarakat sangat penting. Menghidupkan kembali semangat mengaji di rumah, mengajak anak ke langgar, dan menghormati guru ngaji lokal adalah cara kita menjaga warisan ini tetap menyala.

Ketika kita mengajak anak mengaji, sejatinya kita sedang menyambung amal yang tak terputus. Setiap huruf yang mereka baca, setiap adab yang mereka serap, adalah cahaya yang berpijar—bagi mereka, bagi orang tua, bagi guru, dan bagi masyarakat.

“Barang siapa mengajarkan satu huruf dari Al-Qur’an, maka baginya pahala yang tidak akan terputus.”
— (HR. Tirmidzi)

 

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement