Surau.co – Gaya hidup frugal living kini menjadi tren di kalangan masyarakat, tidak hanya di Indonesia, melainkan di berbagai belahan dunia. Banyak orang, termasuk di lingkungan saya yang menilai cara ini relevan dengan kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian. Masyarakat dapat menjadikannya strategi untuk bertahan hidup dalam situasi krisis sekalipun. Setidaknya, itu yang saya dengar dari edukasi finansial di banyak referensi.
Konsep yang Lahir Secara Alami
Frugal living adalah konsep hidup hemat dan bijak, namun bukan berarti pelit. Mulanya, tak ada satu tokoh yang secara spesifik memperkenalkannya. Sebaliknya, masyarakat berbagai budaya telah mempraktikkan konsep ini secara alami berdasarkan nilai-nilai tradisional dan praktik kehidupan mereka. Ajaran agama seperti Islam, Buddhisme, dan Stoikisme juga mengajarkan nilai-nilai serupa. Di Jawa, juga ada prinsip “eling lan waspodo”. Ajaran untuk hati-hati dan memiliki kesadaran.
Para ahli finansial seperti Vicki Robin dan Joe Dominguez kemudian mengenalkan praktik ini dalam bentuk konsep frugal living. Salah satunya lewat buku mereka berjudul “Your Money or Your Life.”
Namun, dalam wacana populer, sejumlah tokoh dan aliran pemikiran juga turut memopulerkan konsep ini. Misalnya, Benjamin Franklin dikenal sebagai tokoh awal yang sering dikaitkan dengan prinsip frugalitas. Lewat bukunya Poor Richard’s Almanack, Franklin menekankan pentingnya hidup hemat, bekerja keras, dan hidup produktif. “Beware of little expenses; a small leak will sink a great ship,” katanya.
Tokoh lain seperti Henry David Thoreau juga pernah menuliskan pengalamannya dalam menjalani hidup sederhana demi menemukan makna hidup yang lebih dalam.
Prinsip Utama Frugal Living
Frugal living berpegang pada beberapa prinsip utama. Hidup sesuai kebutuhan, menghindari pemborosan (anti-israf), membeli berdasarkan nilai guna, dan memaksimalkan penggunaan barang. Gaya hidup ini juga menekankan pentingnya perencanaan keuangan jangka panjang, seperti menabung dan berinvestasi.
Relevansi dengan Ajaran Islam
Meskipun banyak tokoh Barat memperkenalkannya, secara substansi frugal living sangat relevan dengan nilai-nilai dalam ajaran Islam. Nilai-nilai dalam konsep ini sejalan dengan prinsip-prinsip kehidupan Islami.
Islam, misalnya, mengajarkan prinsip tidak berlebihan (israf). Allah memerintahkan umat-Nya untuk menggunakan harta secara efisien dan menjauhi pemborosan:
“Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra: 27)
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Islam juga mengajarkan agar umatnya mengelola rezeki dengan bijaksana. Konsep frugal living yang menolak sikap pelit namun tetap mendorong keseimbangan sangat selaras dengan prinsip wasathiyah (moderat) dalam Islam:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)
Dalam konteks masa depan, frugal living yang menekankan perencanaan keuangan juga mencerminkan nilai-nilai Islam. Misalnya, dalam kisah Nabi Yusuf, Allah memerintahkannya untuk menyusun strategi penyimpanan pangan sebagai persiapan menghadapi masa paceklik:
“Yusuf berkata, ‘Hendaklah kamu menanam tujuh tahun sebagaimana biasa; maka apa yang kamu panen hendaklah kamu tinggalkan dalam bulirnya, kecuali sedikit untuk kamu makan.’” (QS. Yusuf: 47)
Bagi seorang Muslim, menjalani frugal living bukan hanya mengikuti tren gaya hidup. Lebih dari itu, ia mencerminkan nilai-nilai Islam seperti hemat, tidak boros, seimbang, dan qana’ah. Dengan menerapkannya, seorang Muslim bisa menjadi lebih bijak dalam mengelola keuangan sekaligus lebih dekat dengan nilai-nilai spiritual ajaran Islam.
“Pakai barang sesuai kebutuhan itu bukan pelit, tapi cerdas. Hidup bukan lomba pamer dan gengsi,” begitu kata netizen zaman now. !
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
