Pada hari Sabtu, Tanggal 28 Juni 2025, bakda sholat subuh, saya buka HP tiba-tiba berseliweran kabar bahwa Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah wafat di RS. Dharmais Jakarta +/- Jam 04.50 WIB. Posisi saya sekeluarga sedang di Kudus, acara hurmat Haji Ibu, menghadiri undangan Mantenan dan menjemput putri saya di Pesantren Kudus yang mau liburan. Akhirnya, kita putuskan pulang lebih cepat. Pagi itu kembali ke Jogja supaya bisa ikut nderek hurmat terakhir kepada Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah.
Saya mengenal beliau, sejak saya jadi pengurus Ma’had Aly Al-Munawwir dan menjadi asisten di Ndalem Mbah KH. Zainal Abidin Munawwir. Terkadang saya didawuhi sowan atau mengantar sesuatu ke Ibu Nyai Hasyimah (Kakak Mbah Zainal, Ibunda Ibu Nyai Nafisah).
Waktu lebaran Idul Fitri, sowan Ibu Nyai Hasyimah dan Ibu Nyai Durroh Nafisah termasuk yang disenangi para santri, karena disamping mendapatkan nasehat dan doa, juga mendapat suguhan makanan yang lezat.
Pernah suatu hari, saya diutus nderekke Ibu Nyai Ida Fatimah, Ibu Nyai Nafis dan Ibu Nyai Umi Salamah mantenan di Surabaya sekaligus silaturahmi ke beberapa Alumni. selama perjalanan, beliau bertiga bercerita tentang banyak hal, baik tentang Pesantren, keluarga, Alumni dan lainnya.
Saya mulai agak sering sowan, ketika saya menikah dengan santri beliau. Istri saya adalah santri beliau, setoran dan mengkhatamkan tahfidz Al-Qur’an kepada beliau. Pernah menjadi ketua Komplek Hindun dan sekarang didawuhi khidmah sebagai Ketua IHFADHNA DIY (Ikatan Hafidzat Alumni Ibu Nyai Durroh Nafisah).
Setelah menikah, saya juga didawuhi beliau untuk ngajar sekaligus belajar kitab di komplek Hindun Beta. Diantara kitab yang sudah diaji bareng para santri adalah Kitab At-Tibyan Fi Adab Hamalat Al-Qur’an karya Imam Nawawi Ad-Dimasyqi, Bidayatul Hidayah Karya Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Matan Al-Ghayah Wat Taqrib Karya Syaikh Abu Syuja’ dan Sekarang sedang balagh ngaji Kitab Fathul Mu’in Karya Syaikh Zainudin Al-Malibari. Saya ngaji setiap hari Kamis Pagi setelah para santri setoran hafalan dan murojaah Al-Qur’an.
Saya merusaha menulis sepihan kecil dari mata air keteladanan Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah, seorang Ahli Al-Qur’an yang Istiqomah, grapyak, rendah hati dan mandiri. Hidupnya betul-betul diabdikan untuk Al-Qur’an, baik menghafal, menjaga, mengajarkan kepada para santri dan mengamalkan dalam laku kehidupan.
Tulisan ini hanya bagian kecil dari perjalanan keteladanan hidup beliau, untuk i’tibar/ibrah dan teladan bagi kita para santri dan Masyarakat pada umumnya.
Biografi dan Perjalanan Pendidikannya
Al-Maghfurlaha Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah lahir di Bantul pada tanggal 18 Agustus 1954. Secara nasab, baik dari jalur Bapak maupun Ibu, beliau keturunan dari orang-orang yang mulia.
Dari jalur Bapak, beliau adalah putri keempat dari KH. Ali Maksum bin KH. Maksum Ahmad Lasem. Sementara dari jalur Ibu, beliau adalah putri Ibu Nyai Hj. Hasyimah binti KH. M. Moenawwir bin KH. Abdullah Rosyad bin KH. Hasan Bashori.
Bapak beliau, KH. Ali Maksum adalah ulama’ yang ‘alim ‘alamah, terkenal dengan jukukan sebagai kamus Munjid berjalan dan seorang pakar atau fakih dalam berbagai fan ilmu Islam. Beliau pernah menjadi Dosen tafsir di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga dan menjadi anggota Tim Penerjemah dan Tim Tafsir Al-Qur’an Kementrian Agama. Beliau juga aktif di Ormas NU hingga dipercaya menjabat sebagai Rais ‘Amm PBNU Pada tahun 1981-1984.
Sedangkan sang Ibu, Ibu Nyai Hasyimah adalah sosok seorang ibu Nyai yang Tangguh, pemberani, inovatif, sabar dan telaten. Beliau dididik langsung oleh Mbah KH. M. Moenawwir dalam bidang Al-Qur’an dan belajar tulis menulis dengan pamannya, Romo Salim. Semangat belajar beliau luar biasa, padahal pada waktu itu akses Perempuan masih sangat terbatas. Diantara amal jariyah Ibu Nyai Hasyimah adalah Gedung Mushola Komplek N tanpa soko (tiang) yang berbeda dengan Gedung lainnya, TK Ndasari Budi, Madrasah Diniyah dan Komplek Khusus Putri untuk Siswi Mts dan MA Ali Maksum.
Sementara kakek beliau dari jalur ibu yaitu KH. M. Moenawwir adalah ulama’ besar Ahli Al-Qur’an dan termasuk 5 (lima) Ulama’ pembawa sanad Tahfidz Al-Qur’an dan Qiroah Sab’ah pada awal abad 20 ke Indonesia. Dari KH. M. Moenawwir, lahir lah santri-santri Ahli Al-Qur’an di Indonesia, diantaranya adalah KH. R. Abdul Qodir Munawwir, KH. Arwani Amin (Pendiri PP. Yanbu’ul Qur’an Kudus), KH. Umar (Pendiri Pesantren Mangkuyudan Solo), KH. Muntaha (Pendiri Pesantren Al-Asy’ariyyah dan Kampus UNSIQ Wonosobo), KH. Murtadha (Buntet Cirebon), KH. Ma’shum (Gedongan Cirebon), KH. Badawi (Kaliwungu Kendal), KH. Zuhdi (Kertosono) dan lainnya.
Sedangkan kekek dari jalur Bapak adalah KH. Maksum Ahmad, pendiri Pesantren Al-Hidayah Lasem, seorang ulama’ kharismatik pengembara dan pengabdi ilmu yang banyak melahirkan ulama’ besar Indoensia. Diantara muridnya adalah KH. Abdullah Faqih (Langitan), KH. Abdul Hamid (Pasuruan), KH. Bisri Musthofa (Rembang, sang penulis tafsir Al-Ibriz) dan lainnya.
Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah mempunyai delapan saudara yaitu Gus Adib Ali (Wafat Ketika kecil), KH. Atabik Ali (Wafat 2021), KH. Jurjis Ali, Ibu Nyai Hj. Hanifah Ali (Wafat tahun 2020), Ning Nafi’ah Ali (Wafat Masih Kecil), KH. Muhamamd Rifqi Ali atau Gus Kelik (wafat 2016) dan Ibu Nyai Hj. Ida Rufaida Ali.
Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah dinikahi oleh KH. Muhammad Nasikh Hamid, putra dari KH. Abdul Hamid Pasuruan, seorang ulama’ sekaligus terkenal sebagai waliyullah. Dari pernikahan ini, beliau melahirkan Ning Dr. Hindun Anisah, MA., putri semata wayangnya.
Ning Dr. Hindun Anisah kemudian menikah dengan KH. Nurudin Amin bin KH. Amin Sholeh, Pengasuh Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara dan mempunyai 5 cucu yang hebat-hebat sedang menimba ilmu di Tunisia, Maroko dan Inggris.
Nama Nafisah, menurut cerita ponakan beliau, Dr. KH. Hilmy Muhammad, merupakan bentuk pengharapan (tafa’ulan) sang Ayah, KH. Ali Maksum, agar putra-putrinya bisa menjadi penerus dakwah dan perjuangan Rasulullah seperti Sayyidah Nafisah, cucu Sayyidina Hasan bin Ali dan Fathimah binti Rasulullah. Sayyidah Nafisah adalah ulama Perempuan yang ahli dalam bidang Al-Qur’an (Hafidzah dan Ahli tafsir), Muhadits (Ahli hadis) serta mendalam ilmu agamanya (faqih) yang menjadi guru dari Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, pendiri Madzhab Syafi’I, Madzhab Fiqh yang banyak dianut di Mesir, India hingga Asia Tengara termasuk Indonesia.
Pendidikan Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah dimulai dari Pesantren Krapyak, belajar kepada Abah beliau KH. Ali Maksum dan Ibu beliau, Ibu Nyai Hasyimah dan Paman beliau untuk menghafal Al-Qur’an dan belajar kitab. Setelah itu, beliau berkelana ngaji ke Pesantren Al-Hidayah, Soditan Lasem, Rembang dan Pesantren Kempek Cirebon, Jawa Barat.
Nyai Hj. Durroh Nafisah: Al-Qur’an Berjalan Yang Istiqomah Murajaah dan Mulang Ngaji
Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah adalah seorang hafidhoh sekaligus ulama’ Perempuan ahli Al-Qur’an. Hidup beliau diabdikan dan didedikasikan untuk untuk membimbing dan mengajar para santri penghafal Al-Qur’an di Komplek Hindun dan Komplek Beta (Bayt Tahfidz An-Nafisa). Komplek Hindun diperuntukkan untuk santriwati tahfidz yang kuliah diluar krapyak, sementara komplek BETA untuk santri takahsus tahfidz.
Beliau tidak pernah libur deres/murojaah, dimana pun dan dalam situasi apa pun, baik sambil nyetir mobil atau aktifitas lainnya, beliau senantiasa deres Al-Qur’an. Termasuk Ketika mengantarkan santri atau memberikan hadiah santri, beliau juga senantiasa deres. Setiap santri yang memperoleh hafalan dalam jumlah juz tertentu dan mampu disimak glondongan hingga perolehan juz-nya, beliau memberikan hadiah kepada para santri tersebut seperti makan di restoran, pergi ke Mall atau tempat wisata atau pun menginap di hotel.
Selama beliau Bersama santri tersebut, baik dijalan sambil nyetir, di hotel maupun ditempat wisata, maka beliau senantiasa istiqomah deres Al-Qur’an, sehingga sangat layak jika banyak orang yang mengelari beliau sebagai Al-Qur’an berjalan. Beliau adalah ahlul Qur’an wa Khoshotuhu serta hafal Al-Qur’an secara mutqin Lafdhon wa maknan wa ‘amalan.
Diantara dawuh beliau, “jika diberikan anugerah didalam dada berupa Al-Qur’an, maka wajib disyukuri dalam bentuk murojaah sepanjang masa sampai meninggal dunia”.
Beliau sangat disiplin dalam mendidik para santrinya. Para santri tahfidz harus sudah bangun dan mandi serta bersiap di Musholla sebelum subuh. Mereka sudah tidak dibolehkan membawa Mushaf Al-Qur’an. Santri harus siap setoran “musyafahah” hafalannya dengan lancar tanpa melihat mushaf. Jika tidak lancar langsung disuruh mundur. Beliau mendidik santri untuk sungguh-sungguh persiapan deres supaya hafalannya mutqin.
Salah satu pesan beliau “Jika dianugerahi hafalan Al-Qur’an berapa pun jumlah ayatnya, wajib mensyukuri, menjaga hafalannya dengan murajaah sepanjang hidupnya (Flayer JMQH)”.
Ketika beliau sakit, perhatian kepada para santri juga tidak berkurang. Beliau tetap mengecek presensi laporan perkembangan hafalan para santrinya. Dalam salah satu flayer yang tersebar, ada dawuh beliau “Anak-anakku, Alhamdulilah setiap hari aku terima absenmu, berarti sampeyan semua dalam keadaan sehat. Mumpung kalian semua dalam keadaan sehat, terus lah murajaah, murajaah, murajaah. Saat ini aku dalam keadaan sakit, sakit yang tidak sehari atau dua hari, tapi dalam hitungan bulan, kepingin poll murajaah setiap hari, sampai nelongso, menggebu-gebu kepingin murajaah tapi mulut dan lidah kelu tidak mampu mengeluarkan suara, rasanya besat sekali. Akhirnya, hanya mendengarkan dan mendengarkan (Al-Qur’an) sepanjang hari. Berkali-kali aku berusaha minta disima’ baru setengah juz, sudah terasa berat. Sampai sekarang aku masih menunggu-nunggun saat kapan entheng (ringan) murajaah”. Dalam kondisi sakit pun, yang dirindukan oleh beliau adalah murajaah atau deres Al-Qur’an.
Beliau sangat hafal para santrinya serta memanggil santri dengan panggilan khusus untuk mengakrabkan. Hafal nama santri ini nampaknya menurun dari Abah beliau, KH. Ali Maksum. Mbah Ali, Walau pun santrinya ribuan, beliau hafal nama santri, orang tuanya dan asal-usulnya. Para santri wajib sorogan dengan kitab masing-masing yang berbeda-beda tingkatan kitabnya, tanpa presensi. Akan tetapi Mbah Ali hafal santri yang ngaji dan bolos. Kebiasaan ini nampaknya menurun ke Ibu Nyai Durroh Nafisah. Disamping setoran dengan beliau, para santri juga wajib setoran ke guru-guru pembimbing. Ketika ngajar di Mushola Beta, saya selalu melihat nama-nama guru pembimbing yang ditempel di tembok barat, dari ujung utara sampai Selatan.
Santri Beta juga mendapatkan dasar-dasar ilmu-ilmu keislaman atau ngaji kitab kuning. Diantara Guru kitab di Komplek Beta adalah Dr. KH. Hilmy Muhammad, KH. Zaki M. Hasbullah, Lc., Dr. KH. Abdul Jalil, Ibu Nyai Hj. Fauziyyah dan lainnya. Di Komplek Beta ini, saya didawuhi ngaji Fiqh, awalnya Matan Al-Ghayah Wat Taqrib Karya Syaikh Abu Syuja’ dan sekarang naik ke Kitab Fathul Mu’in karya Syaikh Zainudin Al-Malibari.
Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah: Tawadhu’, Grapyak dan Senang Nyuguh Tamu
Ibu Nyai Hj. Durrah Nafisah terkenal sangat grapyak dan ramah dengan siapa pun. Walau pun beliau seorang Ibu Nyai dari Pesantren yang besar, beliau sangat tawadhu’, rendah hati dan menghormati semua orang. Semua orang disapa dengan baik, bahkan beliau masih sempat ikut nyambung silaturrahmi dengan teman-teman SD-nya.
Walau pun beliau seorang bu Nyai besar, beliau menghormati semua tamu. Setiap tamu yang sowan beliau, pasti disuguh. Dulu waktu di rumah Selatan, ruang makannya ada di barat ruang tamu, setelah ada renovasi, ruang makannya disebelah utara ruang tamu. Begitu juga di Beta, ada ruang makan di Tengah, samping ruang tamu.
Setiap tamu, disuguhi minum dan snack, setelah itu pasti didawuhi untuk makan. Tamu belum boleh pulang, jika belum makan. Bahkan yang luar biasa, setiap tamu yang pamit, sering beliau kasih oleh-oleh buat dibawa pulang.
Tradisi grapyak dan nyuguh tamu ini sudah dari dulu Ketika beliau masih bersama sang ibunda, Ibu Nyai Hasyimah. Waktu saya jadi santri krapyak, sowan Ibu Nyai Hasyimah termasuk yang favorit dikalangan santri, karena pasti disuguh dan didawuhi makan alias mayoran enak bagi para santri.
Waktu saya jadi Pengurus Pondok Krapyak maupun waktu jadi asisten Ndelem Mbah Kyai Zainal, waktu lebaran harus piket sementara warung-warung makan sekitar pondok tidak buka, maka Ketika santri sowan dibuat jam tertentu. Waktu Dhuha misalnya, sowan Ke Bu Nyai Hasyimah supaya dapat sarapan pagi. Kemudian setelah ashar sowan ke Kyai atau bu Nyai yang lain untuk dapat makan malam. Biasa lah, santri supaya dapat makan enak sekaligus ngalab barokah para kyai dan Ibu Nyai karena mendapatkan nasehat (mauidhoh) sekaligus doa dan makan enak.
Setiap beliau bepergian, baik untuk menghadiri haflah khotmil Qur’an di Pesantren lain, mantenan atau acara-acara lainnya, beliau selalu menyiapkan oleh-oleh untuk tuan rumah yang dikunjungi dan disilaturahimi.
Beliau sangat entengan melakukan silaturrahmi kepada Alumni Krapyak, khususnya santri beliau, dan dalam perjalanan ini lah beliau senantiasa deres atau murajaah hafalan Al-Qur’annya.
Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah: Perempuan Harus Mandiri
Ibu Nyai Durroh Nafisah senantiasi mendorong dan menginspirasi bahwa Perempuan harus mandiri dalam hidupnya. Beliau membuktikan mampu mengasuh Pesantren Tahfidz putri dengan sangat disiplin. Beliau juga biasa nyetir (mensopiri) mobilnya sendiri, sekaligus ngajak santri untuk simaan selama diperjalanan. Beliau nyetir sekaligus deres Al-Qur’an disimak oleh para santrinya.
Pernah suatu hari, ada santri ke rumah saya, Ketika keluar pamit, saya tanya, “lho jalan kaki apa pakai motor? Santri tersebut menjawab, “diantar Ibu”. Ternyata beliau di mobil disebelah barat rumah saya. Saya sowan ke mobil, tapi beliau dawuh bahwa sengaja mengantarkan santri sekedar jalan-jalan sekaligus simaan Al-Qur’an di mobil.
Disamping mengasuh pesantren, Beliau juga mempunyai bisnis. Dulu di depan rumah Selatan, ada toko “An-Nisa”, sebuah toko yang menyediakan kebutuhan Muslimah. Sekarang juga ada barang dagangan disamping Mushola Beta. Beliau juga sering jual beli berlian dikomunitas ibu-ibu tertentu. Salah satu pesan yang diingat para santri dan alumni Hindun-Beta adalah jadilah Perempuan yang mandiri, cantuk fisik, sekaligus keilmuan dan prestasi. Perempuan tidak hanya “swargo nunut atau keramat gandul, tetapi perempuan harus membangun prestasi amal sholeh sendiri sebagimana Sayyidah Nafisah, Cucu Sayyida Hasan, yang menjadi Guru Imam Syafi’i dan seterusnya naik hingga seperti Sayyidah Khadijah, Istri Rasulullah.
Ketika pemberangkatan jenazah di depan utara Masjid Al-Munawwir, Ponakan, beliau Dr. KH. Hilmy Muhammad, menyampaikan pesan Bu Nyai Nafis bagi para Perempuan,”Dadio wong wedok sing mandiri, dadio sing ayu, ayu ojo gur penampilane, tetapi ayu batine, ayu prestasine”.
Beliau sangat senang dan mendukung putrinya, Ibu Dr. Hj. Hindun Anisah, baik dalam bidang pendidikan, kegiatan sosial, maupun politik. Ning Dr. Hindun, disamping seorang hafidhoh dan ahli kitab kuning, juga mengenyam Pendidikan hingga S3. Ning Hindun Pernah Kuliah Di Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Fisipol UGM dan Antropologi Kesehatan Amsterdam, dan barusan Promosi Doktoralnya.
Ning Hindun juga seorang aktifis bidang pendidikan dan sosial, diantara aktfifitasnya adalah Sekretaris RMI Pusat, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Anggota Kaukus Politik Perempuan, Sekreteris SC Konggres Ulama Perempuan Indonesia dan lainnya.
Ning Dr. Hindun juga aktif dalam politik dan kebijakan, diantaranya pernah menjadi Staff Khusus Kementrian Tenaga Kerja (2020-2024) dan Anggota DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah yang meliputi Demak-Kudus dan Jepara (2024-2029).
Pengalaman saya pernah bekerja bareng Ning Dr. Hindun, bahwa walau pun beliau putri dan cucu seorang ulama’ besar, Ning Hindun tetap kerja professional dan pembelajar sejati yang tidak pernah puas.
Prestasi Ning Hindun ini tentu atas dukungan ibundanya dan juga suaminya, Gus Nuruddin Amin.
Prestasi sang putri ini, juga menurun ke cucu-cucu beliau, dimana cucu-cucu beliau disamping tetap melanjutkan sebagai hafidz-hafidhoh, tetapi juga melanjutkan Pendidikan lintas benua. Cucu beliau ada yang sedang kuliah di Maroko, Tunisia dan Inggris.
Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah: Cinta Kebersihan, Kerapian dan Keindahan
Ibu Nyai Durroh Nafisah adalah sosok Ibu Nyai yang sangat cinta dengan kebersihan dan kerapian. Setiap santri mau setoran Al-Qur’an, sebelum subuh harus sudah mandi dan rapi pakainnya. Jika santri belum mandi, maka santri tersebut tidak diperbolehkan untuk setoran Al-Qur’an kepada beliau. Diantara rahasia santri harus mandi sebelum subuh adalah santri menjadi semangat ngajinya dan tidak ngantuk, serta kelihatan bersih dan rapi. Beliau tidak suka dengan santri yang umbrus-umbrus alias tidak rapi.
Setiap ngaji dan acara resmi Komplek Hindun-Beta seperti peringatan hari besar Islam atau Pelantikan Pengurus Komplek Hindun-Beta, para santri harus berseragam. Seragam ini, disamping untuk kerapian dan kekompakan para santri, juga terlihat indah.
Setiap acara resmi, santri harus sudah siap di aula Mushola Beta atau pun di Aula SMA Ali Maksum dengan berseragam rapi dan sudah masuk ruangan sebelum acara dimulai alias tidak boleh terlambat. Salah satu tampilan tasliyah (hiburan) yang ditampilkan selain sholawatan dengan diiringi hadroh/rebana adalah angklung yang dimainkan oleh para santri Komplek Hindun-Beta dengan sangat kompak dan apik.
Dalam hal kebersihan, beliau sangat perfect. Beliau memantau dan mengecek kebersihan dan kerapian rumah, pesantren dan mushola hindun-Beta.
Hal Ini bisa disaksikan, setiap saya ngajar di Mushola Beta, hampir tidak ada debu atau kotaran lainnya. Ini menunjukkan selalu disapu dan dipel secara rutin.
Ibu Nyai Durroh Nafisah sangat suka dengan keindahan. Dalam memenuhi perabot rumah tangga, beliau senantiasa memilih sendiri, yang biasanya sangat indak dan artistik. Diruang tamu beliau, ada banyak bunga-bunga yang indah menambah artistiknya ruang tamu.
Beliau pernah berceria, bahwa suatu hari ketika ke Mall di Jalan Solo, beliau diperintah kakak beliau, KH. Attabik Ali, untuk memilih barang-barang untuk perabot untuk rumah Komplek Beta. Ketika beliau sudah lihat-lihat barang keliling Mall tersebut ditemani santri, dilihat harganya sangat mahal, akhirnya beliau urung membelinya. Ternyata, esuknya, beliau di-surprise oleh kakak beliau, KH. Atabik Ali, karena semua barang yang beliau senangi sudah dikirim ke rumah Beta.
Beliau bercerita, bahwa bangunan Beta ini juga dibangunkan oleh Kak Bik (KH. Attabik Ali), sebagai wujud tanggung jawab dan kasih sayang kakak kepada sang adik.
Wafat Beliau
Pada sabtu pagi, 28 Juni 2025 terasa sekali rasa kehilangan bagi para santri, alumni dan masyarakat sekitar krapyak atas kepergian beliau, Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah. Pelataran Pesantren Ali Maksum dan Pesantren Al-Munawwir hingga jalan-jalan depan pondok penuh dengan para pentakziyah untuk memberikan penghormatan kepada beliau.
Setelah disholati di Mushola Komplek N berkali-kali, kemudian disholati terakhir di Masjid Al-Munawwir, Jenazah beliau diantarkan ke peristirahatan terakhir di Makam Dongkelan dengan cara dipikul oleh para santri, alumni dan Masyarakat.
Wafatnya beliau laksana matinya lentera alam dan dicabutnya ilmu dari bumi karena mautul ‘alim mautul ‘alam (meninggalnya orang alim, sama dengan matinya ‘alam).
Sebagai ahli Al-Qur’an, Kita yakin beliau sudah bahagia di alam kubur, karena menjadi taman surga (raudhoh min riyadhil jinan) dan mendapatkan syafaat Al-Qur’an, serta berkumpul dengan Abah beliau, KH. Ali Maksum, Ibu beliau, Ibu Nyai Hasyimah dan kakek beliau, KH. Muhammad Moenawwir dan KH. Maksum Ahmad.
Akhirnya, semoga kita mampu meneladani uswah hasanah dan keteladanan beliau dalam hidup ke depan, menjadi santri yang senantiasa berkhidmah dan berjuang untuk membumikan Al-Qur’an dengan berbagai bentuk programnya.
Wallahu a’lam bi showab.
Joglo Madaniya, 30 Juni 2025
Oleh: M. Ikhsanudin
(Alumni Ma’had Aly Al-Munawwir, Guru Fiqh di Komplek Hindun-Beta)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
