Apa Itu Hedonic Adaptation?
SURAU.CO – Hedonic adaptation adalah istilah psikologi yang menggambarkan kecenderungan manusia untuk cepat terbiasa pada perubahan positif. Setelah mendapatkan hal yang sangat diinginkan—seperti promosi jabatan, mobil baru, atau liburan impian—kita memang merasa sangat bahagia.
Namun, kebahagiaan itu seringkali tidak bertahan lama. Setelah beberapa waktu, sensasi bahagia mereda. Kita mulai melihat hal baru itu sebagai “biasa saja.” Inilah inti dari hedonic adaptation: kita kembali ke level kebahagiaan semula, seperti sebelum perubahan itu terjadi.
Istilah ini juga dikenal dengan nama treadmill hedonis, karena menggambarkan situasi seperti berjalan di atas treadmill. Kita terus berusaha maju—mengejar lebih banyak pencapaian, barang, atau pengalaman—tapi perasaan puas dan bahagia tetap stagnan.
Fenomena ini membuat kita merasa seolah-olah harus terus membeli hal baru, mengejar target berikutnya, atau memperbaiki sesuatu yang sudah baik. Padahal, pencapaian yang kita bayangkan akan membawa kebahagiaan jangka panjang ternyata hanya memberikan efek sementara.
Menariknya, hedonic adaptation bukan hanya berlaku pada hal-hal positif. Penelitian menunjukkan bahwa orang juga bisa beradaptasi terhadap peristiwa negatif. Misalnya, seseorang yang mengalami kecelakaan besar mungkin akan merasa terpukul di awal, namun setelah beberapa waktu, tingkat kebahagiaannya bisa kembali mendekati kondisi semula.
Dengan kata lain, manusia memiliki sistem psikologis yang fleksibel. Tapi sayangnya, fleksibilitas ini juga membuat kita terus mencari kepuasan baru tanpa pernah merasa benar-benar cukup. Di sinilah pentingnya memahami konsep ini. Karena jika tidak, kita bisa terus-menerus merasa kurang bahagia, bahkan ketika hidup kita terlihat sangat baik dari luar.
Maka, menyadari bahwa kebahagiaan bersifat sementara adalah langkah awal untuk membangun kebahagiaan yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Kenapa Kita Cepat Terbiasa?
Manusia punya kecenderungan beradaptasi terhadap hal-hal baru. Ini disebut adaptation-level phenomenon. Ketika otak sudah terbiasa dengan rangsangan tertentu, kita butuh pengalaman yang lebih intens untuk kembali merasa bahagia.
Misalnya, makanan favorit mungkin terasa luar biasa di gigitan pertama, tapi jadi biasa saja di gigitan kesepuluh.
Contoh Nyata Hedonic Adaptation
Hedonic adaptation bisa kita temukan dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari. Berikut beberapa contoh konkret yang sering tidak kita sadari:
1. Barang Konsumtif
Misalnya, kamu membeli smartphone terbaru setelah menabung berbulan-bulan. Di hari pertama, kamu merasa sangat puas dan terus mengeksplor fitur-fitur baru. Tapi setelah beberapa minggu, sensasinya berkurang. Perangkat itu menjadi “biasa” dan tak lagi memicu kebahagiaan seperti di awal.
2. Media Sosial dan Pengakuan Diri
Ketika unggahan pertama kamu mendapatkan banyak “like”, kamu merasa senang dan dihargai. Namun seiring waktu, jumlah like yang sama terasa kurang memuaskan. Kamu ingin lebih. Ini mendorong kebutuhan akan validasi yang terus meningkat, tapi rasa puasnya tidak pernah bertahan lama.
3. Gaya Hidup dan Kenaikan Penghasilan
Setelah mendapatkan gaji yang lebih tinggi, kamu mungkin merasa hidup lebih nyaman. Tapi kemudian, pengeluaranmu ikut meningkat. Kamu terbiasa makan di restoran, liburan lebih mahal, atau membeli pakaian bermerek. Kebahagiaan dari kenaikan gaji pun mereda karena standar hidup ikut naik.
Faktor Kontrol dan Pengaruh Genetik
Peneliti seperti Sonja Lyubomirsky menunjukkan bahwa sekitar 50% kebahagiaan dipengaruhi oleh genetik, 10% oleh keadaan hidup, dan 40% oleh tindakan yang kita ambil.
Namun, riset terbaru menyoroti bahwa faktor sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan dukungan sosial mungkin lebih besar dari 10%. Jadi, meski genetik berperan, kita tetap punya ruang untuk meningkatkan kebahagiaan.
Jenis Kebahagiaan: Pleasure vs Gratification
Psikolog Martin Seligman membedakan antara:
- Pleasures: Menikmati kopi, menonton film lucu, atau membeli baju baru. Efeknya cepat, tapi tidak tahan lama.
- Gratifications: Aktivitas yang membuat kita larut dan merasa bermakna, seperti melukis, belajar, atau bermeditasi. Ini tahan terhadap hedonic adaptation.
Menariknya, semakin sering kita terlibat dalam gratifications, semakin besar efek positifnya.
Peran Altruisme dan Aktivitas Bermakna
Kegiatan sosial yang bermakna seperti membantu teman atau menjadi relawan punya efek luar biasa. Walau melelahkan, mereka memperkuat rasa makna dan kebahagiaan jangka panjang. Altruisme terbukti bisa “menyalip” efek treadmill hedonis.
Cara Mengurangi Hedonic Adaptation
Berikut beberapa strategi untuk memperpanjang rasa bahagia:
- Variasikan kebahagiaan kecil
Ganti rutinitas seperti jenis kopi, rute jogging, atau musik favorit agar tidak cepat membosankan. - Libatkan diri dalam hobi yang menantang
Aktivitas seperti menulis, bermain alat musik, atau ikut kelas online bisa memberi rasa gratifikasi. - Sediakan waktu untuk orang lain
Membantu orang lain memperkuat makna dan keterhubungan sosial. - Catat pengalaman positif dalam jurnal syukur
Tuliskan tiga hal menyenangkan setiap hari agar kamu lebih menghargai kebahagiaan kecil. - Savoring—nikmati momen
Latih kesadaran penuh saat menikmati sesuatu, misalnya saat minum teh atau melihat matahari terbenam.
Kesimpulan
Hedonic adaptation memang bagian alami dari cara kerja otak manusia. Namun, kita tetap bisa melatih diri untuk mengelola dampaknya. Dengan mengenali perbedaan antara pleasures dan gratifications, menyusun kegiatan bermakna, serta mempraktikkan syukur dan variasi dalam aktivitas, kita bisa menyesuaikan treadmill hedonis menjadi pijakan untuk pertumbuhan emosi yang lebih sehat. (AE).
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
