Sosok
Beranda » Berita » Ibnu Sina: Antara Langit Filsafat dan Daging Kehidupan

Ibnu Sina: Antara Langit Filsafat dan Daging Kehidupan

Foto Ilustari Ibnu Sina

SURAU.CO – Di sebuah desa kecil bernama Afsyanah, Uzbekistan, sekitar seribu tahun silam, lahirlah seorang anak yang kelak mengguncang dunia pemikiran: Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina. Dunia mengenalnya sebagai Ibnu Sina, dan Barat menyebutnya Avicenna. Seorang filsuf, dokter, ilmuwan, dan penyair yang menulis lebih dari 270 karya dalam usia yang bahkan tak sampai 60 tahun.

Namun, Ibnu Sina bukan sekadar pria dengan pena. Ia adalah pengelana akal dan jiwa, yang berjalan dalam semesta ide dengan keberanian seorang pencari. Baginya, ilmu bukan sekadar hafalan, melainkan cahaya yang menyinari jalan kehidupan.

Filsafat Emanasi: Tuhan dan Pancaran Cahaya-Nya

Ibnu Sina tidak hanya memandang Tuhan sebagai pengatur, tetapi juga sebagai sumber wujud—yang darinya semua realitas memancar. Ia menyebutnya emanasi atau al-faidh. Seperti matahari yang memancarkan cahaya, atau api yang menghembuskan panas, begitulah cara Tuhan menciptakan semesta.

Menurut Ibnu Sina, alam semesta tidak muncul dari “ketiadaan absolut”, melainkan dari keberadaan yang melimpah. Tuhan tidak menciptakan dengan tangan, tapi dengan kehendak dan pengetahuan. Dalam pikirannya, penciptaan bukanlah tindakan satu kali, melainkan pancaran yang abadi.

Namun, ia bukan tanpa kritik. Al-Ghazali—sang pemikir ortodoks—menolak gagasan itu. Baginya, jika alam memancar dari Tuhan seperti cahaya dari matahari, maka alam pun abadi seperti Tuhan. Itu bertentangan dengan keyakinan Islam bahwa hanya Tuhan yang qadim. Maka, debat pun meletup, menggema hingga hari ini di ruang-ruang kuliah filsafat Islam.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Filsafat Wujud: Dari Mungkin ke Wajib

Ibnu Sina mengelompokkan wujud menjadi tiga: wajib, mumkin, dan mumtani’. Wujud wajib (wajib al-wujud) adalah sesuatu yang pasti ada dan tidak mungkin tidak ada—itulah Tuhan. Sementara wujud mumkin adalah segala hal yang mungkin ada atau tidak ada—seperti manusia, pohon, atau gunung. Sedangkan wujud mumtani’ adalah wujud yang tidak mungkin ada karena berlawanan dengan hukum dan logika.

Menurutnya, segala sesuatu yang ada bergantung pada wujud wajib. Tuhan tidak butuh sebab, tapi segala sesuatu butuh Tuhan sebagai sebab. Pemikirannya ini menyajikan argumen rasional yang rapi, menjembatani wahyu dan akal dalam bahasa logika yang memikat.

Ibnu Sina seolah berkata, “Jika engkau menolak Tuhan, maka engkau menolak keberadaanmu sendiri.” Karena, keberadaan hanyalah mungkin jika ada yang mewajibkannya.

Jiwa: Bukan Sekadar Nafas yang Keluar Masuk

Dalam dunia Ibnu Sina, jiwa bukanlah bayangan, bukan pula sekadar nyawa. Ia adalah entitas yang hidup, aktif, dan abadi. Jiwa tidak mati saat tubuh hancur. Ia melanjutkan perjalanannya ke ranah yang lebih tinggi—lebih dekat dengan Yang Maha Suci.

Ibnu Sina membagi jiwa menjadi tiga tingkatan:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

  • Jiwa nabatiyah: bertugas memberi makan, tumbuh, dan berkembang—seperti tumbuhan.
  • Jiwa hayawaniyah: memungkinkan gerak dan rasa—seperti binatang.
  • Jiwa insaniyah: mampu berpikir, menimbang, dan mencari makna—itulah manusia sejati.

Menurutnya, manusia yang hanya hidup dengan jiwa nabati dan hayawani akan jatuh dalam naluri. Tapi manusia yang mengasah jiwa insaniyah akan mendekati kesempurnaan, bahkan menyerupai malaikat. Ia tak hanya hidup, tapi juga tercerahkan.

Antara Pena dan Pedang: Jejak Langkah Ibnu Sina

Ibnu Sina hidup di zaman yang penuh pergolakan. Di siang hari, ia menjadi pejabat istana. Di malam hari, ia mengajar, menulis, dan merenung. Ia menulis ketika orang tidur, dan merenung ketika dunia sibuk berperang.

Karyanya yang paling monumental, Kitab al-Qanun fi al-Tibb, menjadi rujukan kedokteran hingga ratusan tahun di Eropa. Sementara karya filsafatnya seperti Al-Isyarat wa al-Tanbihat dan Al-Najat, menjadi tonggak pemikiran rasional dalam Islam.

Ia meninggal di Hamadan pada usia 58 tahun. Tapi warisan intelektualnya tak ikut dikubur. Ia hidup dalam naskah-naskah, dalam ruang belajar, dan dalam pikiran siapa saja yang bertanya tentang makna kehidupan.

Menutup Pintu, Membuka Pikiran

Ibnu Sina bukan hanya nama dalam sejarah. Ia adalah simbol semangat manusia mencari kebenaran—tanpa takut, tanpa ragu. Filsafatnya memang tidak selalu sejalan dengan teologi ortodoks, tapi justru di situlah kekuatannya: ia mengajarkan kita untuk berpikir, merenung, dan berdialog.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Dalam dunia yang sering gelap oleh kebencian dan prasangka, pemikiran Ibnu Sina seperti lentera: kecil, tapi menyala—dan cukup untuk menemukan jalan pulang.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement