SURAU.CO. Cirebon menyimpan banyak peninggalan bersejarah. Salah satu yang paling monumental adalah Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah. Ia merupakan masjid ijn menjadi saksi penyebaran Islam di Tanah Jawa khususnya Cirebon dan sekitarnya. Selain bersejarah, masjid Agung Sang Cipta Rasa mempunyai arsitektur yang menyimpan filosofi dakwah yang mendalam.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa juga dikenal sebagai Masjid Agung Kasepuhan. Lokasinya sangat dekat dengan Keraton Kasepuhan. Keduanya hanya dipisahkan oleh sebuah alun-alun. Hal ini menunjukkan hubungan erat antara pusat pemerintahan dan keagamaan di masa lalu.
Sejarah Pendiriannya
Sejarah masjid ini sangat erat kaitannya dengan Syekh Syarif Hidayatullah. Beliau lebih populer dengan nama Sunan Gunung Jati. Beliau merupakan salah satu dari sembilan wali (Walisongo). Sunan Gunung Jati memimpin Cirebon setelah Pangeran Cakrabuana.
Menurut catatan Atika, mahasiswa Dakwah IAIN Purwokerto, dalam skripsinya berjudul Makna Simbolik Arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa Sebagai Media Dakwah pada Masyarakat Cirebon, menulis Sunan Gunung Jati memulai dakwahnya di Cirebon pada tahun 1470. Saat itu, ia berusia sekitar 27 tahun. Sembilan tahun kemudian, pada tahun 1479, beliau menikahi Nyi Ratu Pakungwati. Ia adalah putri dari Pangeran Cakrabuana, penguasa Cirebon saat itu.
Adapun pembangunan masjid dimulai pada tahun 1480 M. Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan salah satu Masjid tertua di Indonesia karena telah dibangun pada tahun 1480 M . Pembangunan ini terjadi pada masa keemasan dakwah Walisongo di Jawa. Nama “Sang Cipta Rasa” sendiri memiliki arti yang agung. Kata ‘Sang’ berarti keagungan. ‘Cipta’ bermakna dibangun. Sementara ‘Rasa’ memiliki arti yang digunakan. Jadi, maksudnya menyiratkan sebuah bangunan agung yang dibangun untuk digunakan oleh umat.
Kolaborasi Arsitek Hebat di Masanya
Pembangunan masjid ini melibatkan tenaga ahli dari berbagai daerah. Kabarnya, sekitar 500 pekerja datangkan. Mereka berasal dari Majapahit, Demak, dan Cirebon. Sunan Gunung Jati menunjuk arsitek ternama untuk proyek besar ini. Sunan Kalijaga terpilih menjadi arsitek utama. Beliau mendapatkan bantuan Raden Sepat seorang arsitek dari Kerajaan Majapahit. Ia menjadi tawanan perang dalam konflik Demak-Majapahit. Kolaborasi keduanya menghasilkan sebuah arsitektur mahakarya. Bangunan ini memadukan berbagai gaya. Ada sentuhan arsitektur Demak, Majapahit, dan Cirebon. Hal ini mencerminkan keberagaman etnik masyarakat Cirebon kala itu.
Setiap detail arsitektur masjid ini memiliki makna simbolis. Raden Sepat merancang ruang utama berbentuk bujur sangkar. Luasnya mencapai 400 meter persegi. Sebelum memasuki ruang utama, jamaah akan melewati sembilan pintu. Jumlah ini melambangkan Walisongo, sembilan wali penyebar Islam. Di bagian mihrab, Sunan Kalijaga membuat ukiran bunga teratai yang indah. Namun, yang lebih istimewa adalah tiga buah ubin di depan mihrab. Pada masa awal berdirinya Masjid, konon ubin yang ada di dalam Masjid di pasang langsung oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ubin ketiga ini melambangkan tiga pokok ajaran agama: Iman, Islam, dan Ihsan. Hingga kini, ruang utama masjid masih terjaga keasliannya. Tidak ada perubahan signifikan sejak bangunan awal berdiri. Ini menunjukkan upaya pelestarian yang luar biasa.
Fitur Unik dan Daya Tarik Lainnya
Di sisi utara masjid terdapat sumur bernama Banyu Cis Sang Cipta Rasa. Masyarakat selalu ramai mengunjungi sumur tersebut. Terutama saat bulan Ramadhan, pengunjung datang dari Cirebon hingga luar kota. Masyarakat meyakini air dari sumur ini memiliki khasiat penyembuhan. Bahkan ada yang percaya sumur tersebut dapat membuktikan kebenaran seseorang.
Tembok masjid yang berwarna merah bata memberikan kesan wibawa. Tembok setebal 40 cm ini berdiri kokoh dengan pagar setinggi 1,5 meter. Suwardi Alamsyah dalam catatan yang berjudul Nilai Budaya Arsitektur Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon Propinsi Jawa Barat”, Jurnal ilmiah Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Vol, 2. No, 02. Juni, 2010.menjelaskan detail pagar tersebut.
“Masjid Agung Sang Cipta Rasa, terdapat pagar dinding berhiaskan cetakan belah ketupat dan bentuk segi enam bergerigi (motif bingkai cermin). Pada bagian atas dinding terdapat pelipit rata dari susunan batu bata yang pada bagian atas dan bawah mengecil. Sedangkan pada bagian tengah melebar, istilah setempat menyebutnya dengan candi laras. Untuk ketinggian 70 sentimeter dan bertambah 20 buah dan pada puncaknya terdapat lampu penerang. Pada pagar dinding tersebut, terdapat 6 buah pintu yang masing-masing 3 buah pintu di sisi sebelah timur, 1 buah di sisi sebelah utara, dan 2 buah di sisi sebelah timur (tengah). Bentuk pintu atau gerbang maksudnya seperti Gapura Paduraksa. Pintu gerbang utama di sebelah timur bagian tengah, berhiaskan sayap bersusun tiga pada bagian puncak, kemudian pada ujungnya terdapat hiasan candi laras.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa adalah warisan yang tak bernilai. Ia menjadi pusat spiritual dan destinasi wisata religi penting di Cirebon. Aura kebesarannya dari masa lalu masih sangat terasa hingga saat ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
